Semua kisah
ini bermula dari sana. Di salah satu sudut kota, di benua antah berantah.
Tempat di mana berbagai budaya berkumpul. Tempat berbagai warna kulit dan
bahasa menjadi satu. Kota itu bernama kota kedamaian. Kota yang bersih, rapi,
tenang, dan indah. Kota idaman yang hanya ada dalam cerita dari mulut ke mulut.
Kota yang ada dalam ribuan syair dan sajak para sastrawan.
Di salah satu
menara setinggi dua puluh lantai. Di lantai basement,
sebuah ruangan yang kapasitasnya tidak terlalu besar. Namun, mampu menampung
delapan puluh sampai seratus orang. Setelah sepuluh tahun bernegosiasi dengan
pihak pengelola gedung, akhirnya sekelompok orang yang mengatasnamakan
perkumpulan muslim perantauan, mendapatkan ijin penuh untuk menggunakan ruangan
itu sebagai mushola. Memang jauh dari kesan suci. Tak ada kubah berkilau indah.
Tak ada sajadah-sajadah bermotif Turki, Arab Saudi atau negara timur tengah made in China. Ruangan seluas itu, bagi
gedung berlantai empat puluh itu nampak seperti sebuah ruangan “nyempil.”
Ruangan kecil dan tersembunyi.
Layaknya
mushola di mana pun berada. Tempat kecil itu seperti oase di padang gurun
pasir. Kecil namun membawa kesejukan. Pada jam-jam tiba waktu sholat lima
waktu. Berdatanglah beberapa orang berkumpul mendirikan sholat berjama’ah.
Rombongan itu datang silih berganti sepanjang waktu di antara satu waktu dengan
waktu yang lainnya. Tidak semuanya datang di awal waktu sholat. Dan tak ada
suara azan mengalun. Mereka datang begitu saja,bergantian, ketika waktu sholat
telah tiba.
Bertahun-tahun
hal serupa itu terjadi. Kedatangan mereka lebih mirip seperti Jelangkung.
Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Hingga suatu hari, seorang pemuda
gagah dengan jambang lebat. Dan sedikit noda di dahinya. Dari wajahnya, nampak
sekali tanda ketaatan yang menurut kamusnya sendiri wajib adanya. Baginya dia
bangga menjadi apa yang dia citrakan. Di negeri antah berantah itu, dia lah
figur yang memberanikan diri menepuk dada, “Yes, I am a moslem.” Dan dalam
kepala pemuda itu, dia menyimpan sejuta impian yang menurutnya sendiri sungguh revolusioner.
Malam itu sebelum
sholat Isya, sang pemuda gagah berani itu mengumandangkan azan di ruangan itu.
Hal yang menghebohkan di ruangan-ruangan sekitarnya. Selepas azan datanglah
seorang lelaki menjelang usia enam puluhan. Seorang pekerja kebersihan yang
menjalani usia akhir masa kerjanya. Lelaki itu menjabat tangan sang pemuda dan
memperkenalkan diri. Setelah berbasa-basi. Tibalah pada percakapan utama.
“Nak, dengan
segala hormat, besok-besok kamu nggak usah azan lagi.”
“Lho,
bukankah itu sunah Nabi, Pak Amir.”
“Nak, di sini
kita kan minoritas. Nggak enak juga sama tetangga sebelah yang beda agama.”
Dialog dua
orang itu berlanjut hampir satu jam. Tak ada kata sepakat. Pak Amir hanya mampu
menggeleng-gelengkan kepala. Sedang Syaiful tetap dengan keteguhan hatinya yang
mantap. Di dalam hatinya dia berucap. Qulil-haq
walau kana murran. Katakan kebenaran, meski menyakitkan. Baginya ia
berpegang pada petuah murabbinya dulu. Pesan yang konon juga merupakan hadits
Nabi. Dan bagi Syaiful tentunya sudah pasti jaminan kebenaran ada di sana.
Bahwa, Islam itu asing, beruntunglah bagi orang-orang yang terasing.
“Ini adalah
dakwah. Dan aku tak akan mundur dari apa yang akan kuperjuangkan. Akan kubela,
kulakukan, meski dengan tumpahan darah sekalipun.”
Malam itu
Syaiful pulang dengan dada menggema, sudah saatnya kita bangga dengan
ke-Islaman kita. Benar adanya jika sikapnya kukuh layaknya seperti pedang.
Tepat seperti namanya. Syaiful, Pedang; harus kuat dan tajam.
Kejadian itu
berlanjut sampai enam hari. Sebagian jama’ah berdiam diri. Ada satu orang yang
akhirnya memberanikan diri bicara pada Pak Amir.
“Bapak, mohon
maaf, em... anu, Pak Imam. Ini soal pemuda itu?”
Lazimnya
sebuah penghormatan, sebagian jama’ah memanggil Pak Amir dengan sebutan Imam.
Karena dia lah yang selama ini sering menjadi Imam di mushola itu.
“Oh, soal
itu. Nggak usah diteruskan. Nanti biar saya yang bicara pelan-pelan.”
Pada hari
ketujuh, Pak Amir berniat menyampaikan peringatan terakhir. Tentunya sebuah
teguran halus. Lelaki sepuh itu terlalu lembut untuk mengucapkan sebuah kalimat
larangan. Seminggu penuh dia mencari cara untuk menyampaikannya. Dengan cara
yang baik dan lembut.
Siang itu,
tak disangka-sangka. Datanglah seorang pendeta dari gereja yang berdekatan.
“Pak Tua,
bisakah anda mengenalkan saya pada lelaki yang berteriak-teriak sehari lima
kali itu?”
“Oh, ada apa
gerangan, Pak Pendeta? Saya mohon maaf kalau itu mengganggu kekhusyukan ibadah
agama anda.”
“Oh, tidak,
Pak Tua, justru saya datang ke mari karena ingin memberikan hadiah ini.”
Pak Amir
memanggil Syaiful yang sedang menekuri sebuah buku tebal.
“Nak, ada
yang nyari?”
Dengan
ungkapan terima kasih yang tak terhitung sang pendeta memberikan hadiah berupa
sepatu, jas, dan beberapa lembar uang di dalam amplop. Syaiful tak kalah
girangnya. Dia merasa bahwa selama ini apa yang dilakukannya adalah sebuah
kebaikan. Buktinya ada jama’ah yang memberikannya hadiah.
Selesai
urusannya, pendeta itu minta pamit. Pak Amir masih menyimpan pertanyaan di
dalam kepalanya. Demi mengikuti rasa penasarannya Pak Amir mengejar Pendeta
itu. Pak Amir memanggil Pak Pendeta. Di bangku panjang sebuah taman, mereka
duduk.
“Pak Pendeta,
kalau boleh saya tahu, gerangan apa yang membuat anda bahagia sekali dengan
suara pemuda itu.”
“Begini Pak
Tua. Aku punya seorang gadis. Wajahnya cantik sekali. Lembut tutur katanya,
halus perilakunya. Banyak pemuda yang tertarik padanya. Aku sedang
memilih-milih lelaki yang cocok untuknya. Lalu karena membaca sebuah buku, dia
akhir-akhir ini tertarik sekali dengan agama anda. Dia selalu bertanya-tanya
tentang Muhammad, tentang ajaran Ke-Esaan Tuhan menurut agama anda. Tiap hari.
Sampai-sampai aku bingung harus menjawab apa. Dan hampir tiap hari putriku itu
duduk di bangku ini. Karena dari bangku ini dia bisa mengamati, lalu lalang
orang yang datang. Namun, dia malu mau bertanya langsung pada salah satu dari
kalian.”
“Oh...
Terus?”
“Aku takut,
kalau anakku yang cantik itu akhirnya memilih untuk berpindah keyakinan. Bagiku
anakku itu adalah cahaya mata bagiku.”
“Lalu...?”
“Ketertarikan
anakku itu akhirnya buyar karena pemuda itu?”
“Kenapa?
Bukankah pemuda itu cukup tampan.”
“Wajah bukan masalah
bagi putriku. Ada yang lebih penting dari itu. Duduklah sebentar di sini, Pak
Tua. Sebentar lagi kau akan tahu apa yang membuatku bahagia.”
Di penghujung
kalimat itu terdengarlah suara Syaiful.
“Ini maksud
saya, Pak Tua. Suara ini seperti kabar dari Surga bagi saya. Seminggu yang lalu
anak saya bertanya padaku. Ini suara apa? Lalu kujawab kalau ini adalah suara memanggil
umat Islam untuk menunaikan sembahyang.”
“Maksud, Pak
Pendeta?”
Pendeta itu
menjawab dengan senyuman getir. Dalam senyumnya tergambar sebuah pernyataan;
carilah sendiri jawabannya, Pak Imam.
*. Cerita ini
saya tulis kembali dengan bahasa saya. Cerita yang asli sebenarnya ditulis oleh
Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi. Sebuah sindiran yang sangat halus sekali. Saya
sampai membacanya berulang-ulang. Untuk ukuran saya yang bodoh. Saya bahkan tak
sempat menyelesaikan buku itu. Terlalu “berat” buat saya. Sebuah buku yang saya
beli hampir lima tahun yang lalu.
Barangkali
jika saya simpulkan seperti ini. Bukankah seringkali sikap kita sehari-hari
seperti hal yang dilakukan oleh Syaiful. Bukankah kita selalu “bangga” menyeru
pada kebaikan, padahal imbas dari seruan kita itu justru menjauhkan orang lain
dari Tuhan. Kita menegakkan fikih, tapi merusak akhlak. Kita menyeru pada
kebaikan tapi menyakiti hati orang yang kita ajak. Dalam bahasa sederhananya,
seperti perilaku kita ketika sedang makan di warung, kemudian datanglah seorang
pengamen atau pengemis. Berapa kali kita memberi mereka uang receh. Bukan dalam
arti memberi yang sebenarnya. Namun, nilai sebenarnya adalah kita memberi untuk
mengusir mereka secara halus.
Kita melempar
tulang pada seekor kucing bukan karena niat untuk berbagi. Tapi, agar kucing
itu segera enyah dari bawah meja makan. Kita memporak-porandakan tempat
pelacuran. Mengatakan bahwa mereka itu layak masuk Neraka dan sabagainya.
Namun, kita melupakan akar dari masalah kenapa mereka sampai melakukan
perbuatan hina itu.