Social Icons

Halaman

19 Mar 2014

Berguru Pada Rumi



Semua kisah ini bermula dari sana. Di salah satu sudut kota, di benua antah berantah. Tempat di mana berbagai budaya berkumpul. Tempat berbagai warna kulit dan bahasa menjadi satu. Kota itu bernama kota kedamaian. Kota yang bersih, rapi, tenang, dan indah. Kota idaman yang hanya ada dalam cerita dari mulut ke mulut. Kota yang ada dalam ribuan syair dan sajak para sastrawan.

Di salah satu menara setinggi dua puluh lantai. Di lantai basement, sebuah ruangan yang kapasitasnya tidak terlalu besar. Namun, mampu menampung delapan puluh sampai seratus orang. Setelah sepuluh tahun bernegosiasi dengan pihak pengelola gedung, akhirnya sekelompok orang yang mengatasnamakan perkumpulan muslim perantauan, mendapatkan ijin penuh untuk menggunakan ruangan itu sebagai mushola. Memang jauh dari kesan suci. Tak ada kubah berkilau indah. Tak ada sajadah-sajadah bermotif Turki, Arab Saudi atau negara timur tengah made in China. Ruangan seluas itu, bagi gedung berlantai empat puluh itu nampak seperti sebuah ruangan “nyempil.” Ruangan kecil dan tersembunyi.

Layaknya mushola di mana pun berada. Tempat kecil itu seperti oase di padang gurun pasir. Kecil namun membawa kesejukan. Pada jam-jam tiba waktu sholat lima waktu. Berdatanglah beberapa orang berkumpul mendirikan sholat berjama’ah. Rombongan itu datang silih berganti sepanjang waktu di antara satu waktu dengan waktu yang lainnya. Tidak semuanya datang di awal waktu sholat. Dan tak ada suara azan mengalun. Mereka datang begitu saja,bergantian, ketika waktu sholat telah tiba.

Bertahun-tahun hal serupa itu terjadi. Kedatangan mereka lebih mirip seperti Jelangkung. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Hingga suatu hari, seorang pemuda gagah dengan jambang lebat. Dan sedikit noda di dahinya. Dari wajahnya, nampak sekali tanda ketaatan yang menurut kamusnya sendiri wajib adanya. Baginya dia bangga menjadi apa yang dia citrakan. Di negeri antah berantah itu, dia lah figur yang memberanikan diri menepuk dada, “Yes, I am a moslem.” Dan dalam kepala pemuda itu, dia menyimpan sejuta impian yang menurutnya sendiri sungguh revolusioner.

Malam itu sebelum sholat Isya, sang pemuda gagah berani itu mengumandangkan azan di ruangan itu. Hal yang menghebohkan di ruangan-ruangan sekitarnya. Selepas azan datanglah seorang lelaki menjelang usia enam puluhan. Seorang pekerja kebersihan yang menjalani usia akhir masa kerjanya. Lelaki itu menjabat tangan sang pemuda dan memperkenalkan diri. Setelah berbasa-basi. Tibalah pada percakapan utama.

“Nak, dengan segala hormat, besok-besok kamu nggak usah azan lagi.”
“Lho, bukankah itu sunah Nabi, Pak Amir.”
“Nak, di sini kita kan minoritas. Nggak enak juga sama tetangga sebelah yang beda agama.”

Dialog dua orang itu berlanjut hampir satu jam. Tak ada kata sepakat. Pak Amir hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala. Sedang Syaiful tetap dengan keteguhan hatinya yang mantap. Di dalam hatinya dia berucap. Qulil-haq walau kana murran. Katakan kebenaran, meski menyakitkan. Baginya ia berpegang pada petuah murabbinya dulu. Pesan yang konon juga merupakan hadits Nabi. Dan bagi Syaiful tentunya sudah pasti jaminan kebenaran ada di sana. Bahwa, Islam itu asing, beruntunglah bagi orang-orang yang terasing.

“Ini adalah dakwah. Dan aku tak akan mundur dari apa yang akan kuperjuangkan. Akan kubela, kulakukan, meski dengan tumpahan darah sekalipun.”
Malam itu Syaiful pulang dengan dada menggema, sudah saatnya kita bangga dengan ke-Islaman kita. Benar adanya jika sikapnya kukuh layaknya seperti pedang. Tepat seperti namanya. Syaiful, Pedang; harus kuat dan tajam.

Kejadian itu berlanjut sampai enam hari. Sebagian jama’ah berdiam diri. Ada satu orang yang akhirnya memberanikan diri bicara pada Pak Amir.
“Bapak, mohon maaf, em... anu, Pak Imam. Ini soal pemuda itu?”
Lazimnya sebuah penghormatan, sebagian jama’ah memanggil Pak Amir dengan sebutan Imam. Karena dia lah yang selama ini sering menjadi  Imam di mushola itu.
“Oh, soal itu. Nggak usah diteruskan. Nanti biar saya yang bicara pelan-pelan.”

Pada hari ketujuh, Pak Amir berniat menyampaikan peringatan terakhir. Tentunya sebuah teguran halus. Lelaki sepuh itu terlalu lembut untuk mengucapkan sebuah kalimat larangan. Seminggu penuh dia mencari cara untuk menyampaikannya. Dengan cara yang baik dan lembut.

Siang itu, tak disangka-sangka. Datanglah seorang pendeta dari gereja yang berdekatan.
“Pak Tua, bisakah anda mengenalkan saya pada lelaki yang berteriak-teriak sehari lima kali itu?”
“Oh, ada apa gerangan, Pak Pendeta? Saya mohon maaf kalau itu mengganggu kekhusyukan ibadah agama anda.”
“Oh, tidak, Pak Tua, justru saya datang ke mari karena ingin memberikan hadiah ini.”
Pak Amir memanggil Syaiful yang sedang menekuri sebuah buku tebal.
“Nak, ada yang nyari?”

Dengan ungkapan terima kasih yang tak terhitung sang pendeta memberikan hadiah berupa sepatu, jas, dan beberapa lembar uang di dalam amplop. Syaiful tak kalah girangnya. Dia merasa bahwa selama ini apa yang dilakukannya adalah sebuah kebaikan. Buktinya ada jama’ah yang memberikannya hadiah.

Selesai urusannya, pendeta itu minta pamit. Pak Amir masih menyimpan pertanyaan di dalam kepalanya. Demi mengikuti rasa penasarannya Pak Amir mengejar Pendeta itu. Pak Amir memanggil Pak Pendeta. Di bangku panjang sebuah taman, mereka duduk.

“Pak Pendeta, kalau boleh saya tahu, gerangan apa yang membuat anda bahagia sekali dengan suara pemuda itu.”
“Begini Pak Tua. Aku punya seorang gadis. Wajahnya cantik sekali. Lembut tutur katanya, halus perilakunya. Banyak pemuda yang tertarik padanya. Aku sedang memilih-milih lelaki yang cocok untuknya. Lalu karena membaca sebuah buku, dia akhir-akhir ini tertarik sekali dengan agama anda. Dia selalu bertanya-tanya tentang Muhammad, tentang ajaran Ke-Esaan Tuhan menurut agama anda. Tiap hari. Sampai-sampai aku bingung harus menjawab apa. Dan hampir tiap hari putriku itu duduk di bangku ini. Karena dari bangku ini dia bisa mengamati, lalu lalang orang yang datang. Namun, dia malu mau bertanya langsung pada salah satu dari kalian.”
“Oh... Terus?”
“Aku takut, kalau anakku yang cantik itu akhirnya memilih untuk berpindah keyakinan. Bagiku anakku itu adalah cahaya mata bagiku.”
“Lalu...?”
“Ketertarikan anakku itu akhirnya buyar karena pemuda itu?”
“Kenapa? Bukankah pemuda itu cukup tampan.”
“Wajah bukan masalah bagi putriku. Ada yang lebih penting dari itu. Duduklah sebentar di sini, Pak Tua. Sebentar lagi kau akan tahu apa yang membuatku bahagia.”
Di penghujung kalimat itu terdengarlah suara Syaiful.
“Ini maksud saya, Pak Tua. Suara ini seperti kabar dari Surga bagi saya. Seminggu yang lalu anak saya bertanya padaku. Ini suara apa? Lalu kujawab kalau ini adalah suara memanggil umat Islam untuk menunaikan sembahyang.”
“Maksud, Pak Pendeta?”
Pendeta itu menjawab dengan senyuman getir. Dalam senyumnya tergambar sebuah pernyataan; carilah sendiri jawabannya, Pak Imam.

*. Cerita ini saya tulis kembali dengan bahasa saya. Cerita yang asli sebenarnya ditulis oleh Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi. Sebuah sindiran yang sangat halus sekali. Saya sampai membacanya berulang-ulang. Untuk ukuran saya yang bodoh. Saya bahkan tak sempat menyelesaikan buku itu. Terlalu “berat” buat saya. Sebuah buku yang saya beli hampir lima tahun yang lalu.

Barangkali jika saya simpulkan seperti ini. Bukankah seringkali sikap kita sehari-hari seperti hal yang dilakukan oleh Syaiful. Bukankah kita selalu “bangga” menyeru pada kebaikan, padahal imbas dari seruan kita itu justru menjauhkan orang lain dari Tuhan. Kita menegakkan fikih, tapi merusak akhlak. Kita menyeru pada kebaikan tapi menyakiti hati orang yang kita ajak. Dalam bahasa sederhananya, seperti perilaku kita ketika sedang makan di warung, kemudian datanglah seorang pengamen atau pengemis. Berapa kali kita memberi mereka uang receh. Bukan dalam arti memberi yang sebenarnya. Namun, nilai sebenarnya adalah kita memberi untuk mengusir mereka secara halus.

Kita melempar tulang pada seekor kucing bukan karena niat untuk berbagi. Tapi, agar kucing itu segera enyah dari bawah meja makan. Kita memporak-porandakan tempat pelacuran. Mengatakan bahwa mereka itu layak masuk Neraka dan sabagainya. Namun, kita melupakan akar dari masalah kenapa mereka sampai melakukan perbuatan hina itu.
 
 
Blogger Templates