Social Icons

Halaman

14 Okt 2013

Menyulam Hujan



Katamu hujan adalah air mata malaikat
Yang cemburu pada manusia
Pada harapan yang Tuhan titipkan di wajah senja
Juga pada senyummu yang memikat

Kau lihat Edelwise di alun-alun Surya Kencana
Bukan karena aroma ia menjadi istimewa
Hidupnya seperti rumput sederhana
Janjinya setia pada derita

Ingatkah kau pada doa yang kita ucap
Pada butir hujan yang lindap
Saat kita saling mendekap
Diam dalam sepi senyap

Mari kita ambil satu, dua butir
Kita sulam dan kita renda
Sebelum umur kita berakhir
Sebagai hadiah anak cucu kita

Katamu hujan adalah air mata malaikat
Mari kita ambil tiga butir
kita ukir di atas pasir
Katakan bahwa duka tak selamanya melekat.

Mari kita tangkap empat atau lima
kita beri gincu berwarna
Lihatlah betapa hujan tak hanya perlambang duka
Karena dia juga bisa tertawa.
Seperti kita berdua

Kemarilah wahai cinta
Kita dekap luka bersayap
Kita pilin benang asmara










27 Sep 2013

JAGIHO



Undang-undang dirancang untuk menjerat uang. Ayat-ayat disulap untuk mengikat. Pasal-pasal harus dibuat dan direncanakan sebanyak mungkin. Bukan demi ketertiban. Melainkan, agar orang-orang kecil yang tak pernah tahu hukum itu setiap hari kena semprit. Dan kau tentunya sudah tahu kalau harga dari hormat seorang Polisi yang berkata, “Selamat pagi, siang atau sore itu” berarti minimal selembar uang kertas bergambar Otto Iskandar Di Nata harus segera kau keluarkan. Demi sebuah kata indah yang sering diucapkan pengikut setia Bob Marley; Piss men... Damai.

Peraturan tinggal peraturan. Dan kau tahu, buat apa siang-siang hari di Jakarta yang sudah panas, kau harus menyalakan lampu motormu? Bukankah itu peraturan yang lucu. Ya... Begitulah negeriku. Setiap musibah akan diubah menjadi anugrah. Setiap kesempitan akan dibuat menjadi kesempatan. Seumpama satu pasal itu adalah sehelai senar pancing nelayan. Makan ayat-ayatnya pun harus sebanyak mata kail yang terpasang di ujung-ujungnya. Berharap semakin banyak kesempatan ikan yang datang dan terjerat.

Maka dari itu. Jadilah manusia yang sewajarnya saja. Jangan pernah gila pangkat dan hormat. Apalagi dihormati Polisi. 

Jagiho: Jangan Gila Hormat.

17 Sep 2013

Satu Peristiwa di Jakarta



Sepagi tadi, sehabis buka toko, saya seperti terseret dalam mesin waktunya Doraemon. Lalu tiba-tiba saja saya sudah berada di lapangan Tiananmen atau di tengah-tengah pasar di daerah Pecinan. Dua orang bermata sipit berada tak sampai satu meter di depan saya. Was... wes... wos, mereka berdua bercakap-cakap dengan bahasa ibunya. Saya seperti orang dungu yang hanya bisa tersenyum untuk menutupi ketidaktahuannya.

“Ini kalau diganti berapa?” Tanya salah satu pria bermata sipit itu. Saya sebutkan angka sekian-sekian. Keduanya hanya melempar pandang. Dua unit CPU itu teronggok di meja kerja saya. Kemudian mereka kembali bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak saya mengerti sepenggal kata pun. Saya cuma bisa membaca mimik wajah mereka, mengartikan gesture tubuh mereka. “Nggak usah diganti, mahal.” Hehe... dugaan saya benar. Tak lama setelah itu kalimat bernada mirip keluar dari sang penerjemah.

Setengah jam sebelum dua lelaki bermata sipit itu datang, pelanggan pertama di toko sudah datang, Junaedi, seorang tuna wicara yang menurut saya “keren.” Di tengah suaranya yang dicekat Tuhan semenjak lahir, Tuhan memberikan dia kelebihan-kelebihan yang mungkin tidak dipunyai oleh orang lain. Salah satu bukti  adalah mahirnya dia memainkan mouse dan keyboard, menyetting angka dan IP addres di komputer.

Balik lagi ke dua orang asing tadi. Beberapa tahun yang lalu ada seorang Profesor berkebangsaan Malaysia dengan bahasa Indonesia dan Inggris yang terbata-bata datang ke toko. Saya tidak tahu, apakah saya yang nggak bisa menangkap setiap perkataannya atau memang begitu ciri seorang Profesor. Sebut saja namanya Jie An. Meski nama aslinya masih saya ingat, kartu namanya masih saya simpan. Seorang Profesor yang bekerja sebagai wirausahawan, menjual sabut kelapa untuk dibuat rumbai-rumbai atap dan sejenis gapura di tempat-tempat wisata. Jangan salah, jualnya kelas kakap. Dia ekspor barang-barang itu sampai ke Brazil, Brunei dan negara-negara di kawasan Eropa.

Datang dengan muka kikuk dan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Dia berkata, “Insgtall... you olang bisa ingstall.”
“Nanti... saya bayal...”
“Belapa?”

            Singkat cerita ternyata Mr. Jie An ini sudah keliling ruko, dari lantai dasar hingga lantai 1. Tidak ada yang mau menerima dia. Maksud saya tidak ada yang mau mengerjakan komputernya yang rusak. Bahasa menjadi salah satu kendala. Meski, ke depannya baru saya ketahui bukan hanya itu. Ternyata orangnya ribet minta ampun.
           
            Komputer yang diinstal itu minta dimasukkan juga multi languange-nya. Dia minta agar bisa nulis huruf Mandarin di dalamnya. Sekali saya pernah dimaki-maki, karena koneksi internetnya nggak jalan. Sebenarnya bukan nggak jalan. Cuma nama shortcutnya saja yang saya ganti. Saya namai sembarang. Dia tidak tahu kalau nama shortcut itu tidak berpengaruh pada fungsi konektifitasnya.

            Cerita berlalu, hingga Mr. Jie An menjadi salah satu langganan toko. Setelah itu baru saya mengumpulkan cerita yang terlontar secara langsung maupun tidak langsung. Istrinya menjadi warga negara Singapura dan tinggal di sana. Anaknya berapa? Saya tidak tahu.

            Beberapa kali, di kemudian hari, dia datang ke toko untuk menjual beberapa perangkat elektroniknya. Antara lain printer multifungsi (bisa print, scan dan copy), handphone, dan modem. Yang sungguh mengejutkan adalah ketika dia kemudian datang ke toko dengan membawa seorang anak kecil. Saya sebut anak kecil, karena menurut perkiraan saya baru berumur belasan, mungkin masih duduk di SMP, kalau dia sekolah tentunya. Anak itu berjenis kelamin perempuan.

            “Hei, Bos besal, apa kabal?” setelah basa-basi panjang lebar, Mr. Jie An bercerita ke sana kemari. Mulai dari menyebutkan nama-nama klub malam di kawasan Mangga Dua, Mangga Besar dan sekitarnya.

            “Bos besal, you olang mau tidak sama dia?”
            “Tidak mahal...?”
            “Satu juta sajah...”
           
            Makjleb... Seperti tamparan palu godam ke depan cermin. Prak...! cermin itu kemudian hancur menjadi serpihan keping-keping yang tak mungkin dapat disatukan kembali. Oh, ini bukan cerita satu-satunya secara tidak sengaja bersingungan dengan saya. Tak jauh dari warung yang biasa saya makan, terutama jika saya pulang agak larut. Dan ketika sudah terlalu lapar. Dua atau tiga gadis bermata sipit yang tidak bisa cakap berbahasa Indonesia datang ke warung itu. Kadang makan dengan sayur dan telur. Kadang malah masak mie rebus sendiri. Dengan membuang minyak bumbunya. Kupikir mereka vegetarian. Karena setahuku ada dua jenis vegetarian dalam ajaran Budhis. Ada yang boleh makan telur tapi tidak boleh makan bawang, atau tidak boleh kedua-duannya.

            “Sinten, Bu?” (Siapa, Bu)
            “Biasa, Mas? Yang tinggal di situ.” Ucap sang pemilik warung sambil menunjukkan kos-kosan di belakang hotel. Tampaknya bukan hanya komputer, bawang, kedelai yang harus diimpor. Untuk urusan yang satu itupun negeri ini masih impor juga. Meski hal semacam ini sudah menjadi cerita lama. Namun, aku baru sempat menuliskannya hari ini.

11 Sep 2013

Cemburu Adalah...



Cinta itu terkadang memang membutakan. Setidaknya ada tingkatan di mana seseorang yang tampaknya cerdas sekalipun bisa kehilangan nalar berpikirnya, apalagi bagi orang yang tak cerdas. Bila rasa itu akhirnya hanya berlalu seperti sebuah “tos” tanpa lawan, rasanya hambar sekali. Hanya beradu dengan udara. Apalagi jika yang diidam-idamkan ternyata telah menaruh sekeping nama di dalam hatinya. Lalu dari sanalah mucul apa yang dinamakan cemburu.

Karena cemburu, seseorang bisa kehilangan nalar berpikirnya yang jernih. Dalam benak dan kepalanya selalu terpikir cara untuk menjatuhkan lawan, apapun dan bagaimanapun bentuknya. Seperti dongeng Kancil yang melempari seekor kera di atas pohon pisang. Tujuannya adalah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Berharap kera itu terkena batu dan pisang yang digenggamnya itu jatuh ke tanah. Sekali lempar, dua keuntungan didapat.

Demikian pula cara-cara politik kotor di negeri ini. Tak jauh beda. Ikut berkomentar dalam kasus yang lagi booming demi menaikkan citra politiknya. Numpang nampang tenar. Huh... cemburu sebenarnya butuh manajemen tersendiri agar tidak jatuh ke dalam kejahatan yang terselubung dan terencana. Meskipun semuanya terlihat sangat tipis.

Kawan, lupakah kau kisah pembunuhan manusia pertama kali di Bumi? Demi apa Qabil rela menikam Habil, yang serta merta adalah saudaranya sendiri. Dan lupakah kau apa penyebab Setan terusir dari Surga; Cemburu.

Ingatlah Rumi dalam syairnya, Iblis hanya memandang bentuk luar dari Adam, seandainya dia mau menengok ke dalam lumpur itu, niscaya ia akan menemukan jutaan taman dan keindahan di dalamnya. 




20 Jul 2013

Santri Pegadaian.



Ketika pulang kampung, bukan hanya rumah orang tuaku yang selalu kurindukan. Ada satu rumah lagi yang selalu menjadi tempat persinggahanku. Rumah Mas Makruf. Orang-orang sering memanggilnya dengan panggilan Aba Makruf. Seseorang yang sampai saat ini kuanggap sebagai seorang guru, meski aku selalu menjadi murid yang gagal.

Orangnya sederhana. Meski pernah menjadi seorang penasehat pondok pesantren kenamaan di Sragen (Salah satu kabupaten di Jawa tengah). Beliau tetap rendah hati. Dalam kesehariannya tak nampak sekali kalau dia adalah orang alim. Jika ukuran alim adalah baju koko, kopiah dan jenggot. “Aku malu, Gus. Malu sama kanjeng Nabi. Aku belum pantas memakai pakaian seperti itu.”

Jika orang sealim seperti beliau saja merasa tak pantas, lalu bagaimana denganku? Memang sudah sejak lama kutanggalkan kopiah, baju koko dan jarang memelihara jenggot. Bukan karena tidak ingin mengikuti sunah kanjeng nabi, bagiku ada sunah yang lebih utama dibandingkan apa yang nampak dipermukaan saja.

Di rumah itu aku seperti menemukan diriku kembali. Dari sana aku melihat gambaran-gambaran kesalahanku. Satu persatu kesalahan itu dia tunjukkan padaku. Satu kelebihan beliau dibandingkan beberapa guruku di Jakarta adalah tutur katanya yang lembut. Gaya bahasa yang tidak menggurui.

“Belajarlah dari tukang gadai.”
“Maksute pripun, Mas?” (Maksudnya bagaimana?)
“Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Itu ilmu ikhsan. Islam itu terbangun menjadi tiga pilar. Iman-Islam-Ikhsan. Ketiganya tak bisa kau pilah dan pisah. Benar-baik-sopan.”
“Misalnya bagaimana, Mas?”
“Misalnya begini. Ada anak kecil yang bermain-main dengan api. Trus karena itu di daerah yang rawan kebakaran. Kamu menegurnya.”
“Hei, kamu goblok ya! Ini kan daerah rawan kebakaran. Nanti bisa bahaya.”
“Kalimat itu benar. Baik, tapi disampaikan dengan cara yang salah. Kesalahannya lebih dari satu.”
“Pertama, apakah anak kecil itu sudah mencukupi umurnya tentang pengetahuannya tentang bahaya kebakaran?”
“Kedua, secara tidak langsung, kamu mengajarkan kalimat makian. Kata goblok itu akan melukai hatinya. Mungkin hari itu dia akan mematikan api di tangannya. Tapi sebaliknya ia mulai menyalakan api dendam di hatinya.”
“Belajar fikih itu penting. Itu bagus. Tapi jangan lupakan di sana harus ada ilmu akhlaq. Jangan kesampingkan tasawuf. Tak bisa kamu seenaknya membenarkan dan menyalahkan individu atau kelompok lain yang tidak sealiran denganmu.”

Begitulah, rumah sederhana beliau selalu saja menjadi pelabuhan hatiku. Juga sampai saat ini. Kenapa aku masih betah tinggal di Utan Kayu. Meski, separuh dari diriku ingin segera pergi. Penghuni rumah di samping masjid Al-Falah-lah yang membuatku enggan pergi.

Meski tertatih, aku takkan menyudahi pencarian ini. Aku memang berhenti, tapi semua belum berakhir.
           

 
 
Blogger Templates