Berapa kali
saya masuk ke gedung bioskop? Mungkin bisa dihitung dengan jemari, dan bisa
jadi tidak sampai kedua tangan teracung. Bukan berarti saya tidak menyukai
film. Saya bisa jatuh cinta pada satu judul film dan bisa menontonnya berulang
kali. Deretan judul yang sampai membuat saya jatuh hati antara lain; August
Rush, City of Angel, Tare Zamen Par, 3 Idiot, How To Train Your Dragon I, A
Beautiful Mind, Patch Adams.
Sebenarnya
banyak lagi deretan judul film yang saya suka, termasuk film laga. Tapi, entah
mengapa ketika menonton film laga “rasa”
yang saya dapat itu seperti hiburan ke Ancol. Bukan di pantainya, melainkan
ketika menikmati wahananya. Wahana yang rata-rata menawarkan kegembiraan berupa
adrenalin yang dipacu tinggi hingga menghasilkan teriakan parau, menghasilkan
efek sesaat, efek yang melupakan pada masalah yang saya hadapi sekejap, namun
ketika sampai pintu keluar wahana, masalah itu datang lagi, menyergap dari
berbagai arah. Mungkin tak jauh beda dengan efek narkoba. Seperti yang saya
baca di beberapa artikel.
Sabtu (12/7)
seperti biasa, saya menunggu azan Maghrib yang dicintai muslim seluruh dunia,
sembari menunggu seorang ibu menyunggi bakul di belakang punggungnya dan
seorang gadis kecil berumur 9 tahun di sebelahnya. Sepanjang Ramadhan hadir,
hampir setiap hari, ketika hari kerja, santapan buka puasa saya beli dari
seorang ibu yang berasal dari desa Mulur, Sukoharjo. Saya tak pernah merasa
bahwa saya mampu membeli gorengan, pecel, atau kolak yang ibu itu tawarkan,
tapi ibu itulah yang memberikan saya banyak cerita; gratis. Termasuk satu paket
adik kecil yang selama liburan setia menemani sang ibu. Gadis kecil itu lucu,
rambutnya selalu dikuncir dua, gigi gingsulnya menambah kecantikannya. Di saat
sang ibu melayani beberapa pembeli, saya selalu iseng dengan gadis kecil itu,
sekedar menyanyakan dia dapat ranking berapa? Kapan dia ikut mudik? Sekali-dua
kali saya goda dia dengan bahasa jawa, yang dia tanggapi dengan senyum tidak
mengerti.
Sama seperti
kerinduan saya pada rumah, pada ibu saya sendiri. Soal rasa makanan itu mungkin
nomer dua, yang saya ridui adalah berbicara dengan seorang ibu. Maka soal bosan
dengan menu berbuka saya kesampingkan. Sama seperti sore itu saya membeli DVD
bajakan, bisa saja saya download. Tapi, di internet saya tidak bisa ngobrol
dengan “manusia,” sedalam dan sejauh
dengan pedagang DVD dengan pedagang pecel itu.
Selama menunggu
bedug Maghrib, saya iseng browsing, karena bosan dengan time line Facebook dan Twitter yang belum berganti musim. Sembari
ngobrol dengan tukang DVD, saya menunggu download satu film yang tidak bisa
dicarikan tukang DVD, film Patch Adam. Film ini ditayangkan pada tahun 1998, film
yang diangkat dari kisah nyata seorang dokter. Bukunya pernah diterjemahkan
oleh Bentang. Film ini dibintangi oleh Robin Williams yang berperan sebagai
Hunter “Patch” Adams. Seorang lelaki yang pernah depresi dan mencoba sebuah
percobaan bunuh diri. Selama di dalam rumah sakit jiwa, Patch bertemu dengan Arthur
Mendelson, seorang professor yang terganggu kejiwaannya. Dari dia lah dia
belajar sebuah filosofi hidup bahwa berfokuslah pada solusi bukan pada masalah
yang dihadapi. Dari situ Patch belajar dari orang-orang yang terganggu
mentalnya. Rudy, seorang penderita gangguan mental yang paranoid dengan tupai
yang muncul di dalam imajinasinya. Karena ketakutannya itu, Rudy selalu ngompol
di kasurnya. Dalam sebuah adegan, Patch pura-pura memegang senjata api, ketika
Rudy berimajinasi ada puluhan tupai yang menyerangnya, Patch melindungi Rudy
dengan menembaki rubah yang datang puncak dari adegan itu adalah ketika
akhirnya Rudy berani buang air kecil sendiri.
Selama di
dalam rehabilitasi Patch bertemu dengan dokter yang dingin dengan pasiennya, seorang dokter yang menganggap pasien
seperti barang rusak, tak peduli kapan akan sembuh, dokter yang pecaya bahwa
obat adalah jawaban dari setiap pasien, dari situ Patch bercita-cita menjadi
seorang dokter. Patch ingin menjadi dokter yang lebih baik, lebih peduli dengan
pasien. Tokoh di balik renaisance Patch adalah Arthur Mendelson, seorang jenius
yang terjebak dalam kepalanya. Dari dia Patch belajar melihat dari sisi yang
tidak dilihat orang lain. “Jika kau berfokus pada masalah. Kau takkan pernah
mampu melihat solusinya.” Kata Arthur ke Patch
Dua tahun
kemudian Patch masuk dalam Virginia Medical University, mengambil jurusan
kedokteran. Selama proses belajar mengajar, Patch mencoba membuktikan sebuah
gagasan bahwa sebenarnya pasien itu adalah sahabat dokter. Hubungan antara
dokter dan pasien harus bisa akrab. Dokter adalah teman yang ada ketika seorang
pasien butuh sebuah inspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Bukan sekedar
orang yang menunda kematian.
Ketika masih
tahun pertama secara sembunyi-sembunyi Patch masuk ke dalam rumah sakit.
Menemui anak-anak kecil yang terkena kanker, memotong hand pump karet berwanra merah dan dipasangkan di hidungnya
sehingga nampak seperti badut berhidung merah. Bertingkah lucu dan membuat
seluruh penghuni kamar tertawa. Pasien butuh hiburan, dan humor adalah salah
satu penyembuh dan peningkat kualitas hidup pasien yang sedang drop. Hari demi
hari Patch, tanpa sepengetahuan Dean Walcott dekan sekaligus pimpinan rumah
sakit, menyelinap ke dalam kamar pasien. Menanyai apa keinginan pasien yang
belum tercapai, mengenal karakter pasien.
Sekilas terlihat
karakter Patch yang cengengesan dan sok kenal. Tak tanggung-tanggung dia
mencoba mengakrabi Carin Fisher, seorang mahasiswi cantik yang sekelas
dengannya. Awalya memang ditolak, tapi usaha Patch yang tak kenal menyerah
akhirnya Carin membuka hatinya yang lama terkubur karena sakit hati. Banyak
lelaki yang menilai Carin sebagai beautiful creature, bukan sebagai seorang wanita
seutuhnya.
Awalnya Patch
memang ditanggapi sinis oleh teman-temannya, termasuk teman sekamarnya, Mitch
Vroman. Bahkan, Mitch pernah melaporkan Patch ke Dean Walcott bahwa Patch
melakukan kecurangan dalam ujian. Patch yang nota bene tidak pernah terlihat
membaca buku dan belajar, mendapat nilai 98 dalam sebuah ujian. Namun semuanya
berubah, hampir semua orang menyukai Patch, karena sikapnya yang humoris, suka
menolong dan peduli dengan orang lain. Kecuali satu orang Dean Walcott. Alasan
kenapa Dean Walcott membenci Patch karena Dean menganggap bahwa tingkah laku
Patch yang out of the box bisa
merusak sistem yang terbentuk di kampus dan di rumah sakit.
Pada tahun
ketiga Patch mulai rutin mendatangi pasien secara terbuka. Sampai suatu saat
Patch mendengar seorang ibu menangis di lobi rumah sakit karena anaknya tak
bisa dirawat karena urusan “prosedur.” Kemudian terbersit pikiran untuk membuat
rumah sakit gratis. Ide ini terpikirkan ketika dia sedang berada di kafe, saat
sedang ngobrol dengan sahabatnya, tokoh pendamping yang bernama Truman Schiff
(Saya selalu suka dengan nama orang Eropa yang merupakan anagram, frase plesetan
dari dua kata, otak atik gathuk, semisal: Morgan “freeman.” Truman= True man=
Lelaki yang benar, Robin Will-i-am).
Banyak
sisi-sisi romantis di film ini, ketika Patch Adam membacakan puisi untuk
menyatakan cintanya pada Carin. Puisi yang tak pernah selesai tersampaikan
karena Carin harus menjemput kematiannya sendiri ketika Larry, seorang pasien
yang terkena gangguan jiwa mengundangnya ke rumah, dalam sesi konsultasi itu
Carin ditembak dan sang pelaku akhirnya bunuh diri setelah itu. Sedih…? Iya. Beberapa
adegan dalam film ini membuat saya beberapa kali menarik tisu demi mengelap
ingus dan air mata. Setelah kematian Carin Fisher, Patch putus asa dan berniat
untuk meninggalkan kampus dan Gesundheit, klinik gratis yang sudah didirikannya.
Keinginannya itu sempat terbesit, tak seorang pun bisa menahannya termasuk
Truman. Sampai suatu saat, Patch berhenti di tepi bukit, sebuah jurang di mana
dia dan Carin pernah berhenti untuk berkhayal, bahwa nanti rumah sakit yang
akan dia dirikan berada di sana. Patch protes kepada Tuhan, “apa maumu?”
menanyakan keadilan Tuhan dst. Setelah dia berbalik, hendak pulang, Patch
melihat seekor kupu-kupu cantik menempel di tas, kemudian terbang di dada
sebelah kiri Patch. Mungkin ini reinkarnasi Carin.
Ketika berada
di kampus, dia bertemu dengan Mitch yang meminta untuk diajarkan bagaimana
melayani Mrs. Kennedy, karena sudah beberapa hari tidak mau makan. Dengan bantuan
Truman. Angie (panggilan manis Patch untuk Mrs Kennedy), Patch membawa Mrs.
Kennedy ke halaman rumah sakit dan mewujudkan impian masa kecilya mandi dengan
bak penuh berisi mie. Sebuah adegan yang sangat menyentuh.
Belum selesai
di situ, Patch harus disidang di hadapan majelis kampus. Karena telah melakukan
pelanggaran kode etik kedokteran; mengobati pasien sebelum mendapatkan lisensi.
Sebuah perdebatan panjang. Seru dan menegangkan. Dean Walcott yang menuntut
agar Patch dikeluarkan dari kampus.
Salah satu alasan Dekan memberhentikan Patch dari kampus adalah peristiwa ini. Patch diminta sebagai panitia penyambutan dewan kehormatan kampus. |
“Anda bisa
saja menghentikan saya menjadi seorang dokter. Tapi jangan pernah menghentikan
saya sebagai seorang yang terus belajar. Terus membantu orang lain. Anda bisa
saja menganggap saya sebagai duri. Tapi ingatlah, saya adalah duri yang tidak
akan pernah menyerah.” (Kutipan ini mungkin tidak sama persis).
Setelah
perdebatan panjang, Dewan akhirnya memutuskan Patch boleh melanjutkan kuliah.
Belum sampai disitu keusilan Patch. Saat penyematan toga. Tontonan yang
menarik, lucu, mendidik. Layak untuk mendapatkan dua ibu jari. Silakan tonton
sendiri. Masih banyak adegan yang membuat anda terpingkal-pingkal dan rasanya
tidak “pantas” jika saya tulis di sini. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar