Social Icons

Halaman

14 Jul 2014

Review Film Patch Adams



Berapa kali saya masuk ke gedung bioskop? Mungkin bisa dihitung dengan jemari, dan bisa jadi tidak sampai kedua tangan teracung. Bukan berarti saya tidak menyukai film. Saya bisa jatuh cinta pada satu judul film dan bisa menontonnya berulang kali. Deretan judul yang sampai membuat saya jatuh hati antara lain; August Rush, City of Angel, Tare Zamen Par, 3 Idiot, How To Train Your Dragon I, A Beautiful Mind, Patch Adams. 

Sebenarnya banyak lagi deretan judul film yang saya suka, termasuk film laga. Tapi, entah mengapa ketika menonton film laga “rasa” yang saya dapat itu seperti hiburan ke Ancol. Bukan di pantainya, melainkan ketika menikmati wahananya. Wahana yang rata-rata menawarkan kegembiraan berupa adrenalin yang dipacu tinggi hingga menghasilkan teriakan parau, menghasilkan efek sesaat, efek yang melupakan pada masalah yang saya hadapi sekejap, namun ketika sampai pintu keluar wahana, masalah itu datang lagi, menyergap dari berbagai arah. Mungkin tak jauh beda dengan efek narkoba. Seperti yang saya baca di beberapa artikel.

Sabtu (12/7) seperti biasa, saya menunggu azan Maghrib yang dicintai muslim seluruh dunia, sembari menunggu seorang ibu menyunggi bakul di belakang punggungnya dan seorang gadis kecil berumur 9 tahun di sebelahnya. Sepanjang Ramadhan hadir, hampir setiap hari, ketika hari kerja, santapan buka puasa saya beli dari seorang ibu yang berasal dari desa Mulur, Sukoharjo. Saya tak pernah merasa bahwa saya mampu membeli gorengan, pecel, atau kolak yang ibu itu tawarkan, tapi ibu itulah yang memberikan saya banyak cerita; gratis. Termasuk satu paket adik kecil yang selama liburan setia menemani sang ibu. Gadis kecil itu lucu, rambutnya selalu dikuncir dua, gigi gingsulnya menambah kecantikannya. Di saat sang ibu melayani beberapa pembeli, saya selalu iseng dengan gadis kecil itu, sekedar menyanyakan dia dapat ranking berapa? Kapan dia ikut mudik? Sekali-dua kali saya goda dia dengan bahasa jawa, yang dia tanggapi dengan senyum tidak mengerti.

Sama seperti kerinduan saya pada rumah, pada ibu saya sendiri. Soal rasa makanan itu mungkin nomer dua, yang saya ridui adalah berbicara dengan seorang ibu. Maka soal bosan dengan menu berbuka saya kesampingkan. Sama seperti sore itu saya membeli DVD bajakan, bisa saja saya download. Tapi, di internet saya tidak bisa ngobrol dengan “manusia,” sedalam dan sejauh dengan pedagang DVD dengan pedagang pecel itu.

Selama menunggu bedug Maghrib, saya iseng browsing, karena bosan dengan time line Facebook dan Twitter yang belum berganti musim. Sembari ngobrol dengan tukang DVD, saya menunggu download satu film yang tidak bisa dicarikan tukang DVD, film Patch Adam. Film ini ditayangkan pada tahun 1998, film yang diangkat dari kisah nyata seorang dokter. Bukunya pernah diterjemahkan oleh Bentang. Film ini dibintangi oleh Robin Williams yang berperan sebagai Hunter “Patch” Adams. Seorang lelaki yang pernah depresi dan mencoba sebuah percobaan bunuh diri. Selama di dalam rumah sakit jiwa, Patch bertemu dengan Arthur Mendelson, seorang professor yang terganggu kejiwaannya. Dari dia lah dia belajar sebuah filosofi hidup bahwa berfokuslah pada solusi bukan pada masalah yang dihadapi. Dari situ Patch belajar dari orang-orang yang terganggu mentalnya. Rudy, seorang penderita gangguan mental yang paranoid dengan tupai yang muncul di dalam imajinasinya. Karena ketakutannya itu, Rudy selalu ngompol di kasurnya. Dalam sebuah adegan, Patch pura-pura memegang senjata api, ketika Rudy berimajinasi ada puluhan tupai yang menyerangnya, Patch melindungi Rudy dengan menembaki rubah yang datang puncak dari adegan itu adalah ketika akhirnya Rudy berani buang air kecil sendiri. 

Selama di dalam rehabilitasi Patch bertemu dengan dokter yang dingin dengan pasiennya, seorang dokter yang menganggap pasien seperti barang rusak, tak peduli kapan akan sembuh, dokter yang pecaya bahwa obat adalah jawaban dari setiap pasien, dari situ Patch bercita-cita menjadi seorang dokter. Patch ingin menjadi dokter yang lebih baik, lebih peduli dengan pasien. Tokoh di balik renaisance Patch adalah Arthur Mendelson, seorang jenius yang terjebak dalam kepalanya. Dari dia Patch belajar melihat dari sisi yang tidak dilihat orang lain. “Jika kau berfokus pada masalah. Kau takkan pernah mampu melihat solusinya.” Kata Arthur ke Patch

Dua tahun kemudian Patch masuk dalam Virginia Medical University, mengambil jurusan kedokteran. Selama proses belajar mengajar, Patch mencoba membuktikan sebuah gagasan bahwa sebenarnya pasien itu adalah sahabat dokter. Hubungan antara dokter dan pasien harus bisa akrab. Dokter adalah teman yang ada ketika seorang pasien butuh sebuah inspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Bukan sekedar orang yang menunda kematian.

Ketika masih tahun pertama secara sembunyi-sembunyi Patch masuk ke dalam rumah sakit. Menemui anak-anak kecil yang terkena kanker, memotong hand pump karet berwanra merah dan dipasangkan di hidungnya sehingga nampak seperti badut berhidung merah. Bertingkah lucu dan membuat seluruh penghuni kamar tertawa. Pasien butuh hiburan, dan humor adalah salah satu penyembuh dan peningkat kualitas hidup pasien yang sedang drop. Hari demi hari Patch, tanpa sepengetahuan Dean Walcott dekan sekaligus pimpinan rumah sakit, menyelinap ke dalam kamar pasien. Menanyai apa keinginan pasien yang belum tercapai, mengenal karakter pasien.

Patch dengan potongan hand pump berubah menjadi badut


Sekilas terlihat karakter Patch yang cengengesan dan sok kenal. Tak tanggung-tanggung dia mencoba mengakrabi Carin Fisher, seorang mahasiswi cantik yang sekelas dengannya. Awalya memang ditolak, tapi usaha Patch yang tak kenal menyerah akhirnya Carin membuka hatinya yang lama terkubur karena sakit hati. Banyak lelaki yang menilai Carin sebagai beautiful creature, bukan sebagai seorang wanita seutuhnya.

Awalnya Patch memang ditanggapi sinis oleh teman-temannya, termasuk teman sekamarnya, Mitch Vroman. Bahkan, Mitch pernah melaporkan Patch ke Dean Walcott bahwa Patch melakukan kecurangan dalam ujian. Patch yang nota bene tidak pernah terlihat membaca buku dan belajar, mendapat nilai 98 dalam sebuah ujian. Namun semuanya berubah, hampir semua orang menyukai Patch, karena sikapnya yang humoris, suka menolong dan peduli dengan orang lain. Kecuali satu orang Dean Walcott. Alasan kenapa Dean Walcott membenci Patch karena Dean menganggap bahwa tingkah laku Patch yang out of the box bisa merusak sistem yang terbentuk di kampus dan di rumah sakit.

Pada tahun ketiga Patch mulai rutin mendatangi pasien secara terbuka. Sampai suatu saat Patch mendengar seorang ibu menangis di lobi rumah sakit karena anaknya tak bisa dirawat karena urusan “prosedur.” Kemudian terbersit pikiran untuk membuat rumah sakit gratis. Ide ini terpikirkan ketika dia sedang berada di kafe, saat sedang ngobrol dengan sahabatnya, tokoh pendamping yang bernama Truman Schiff (Saya selalu suka dengan nama orang Eropa yang merupakan anagram, frase plesetan dari dua kata, otak atik gathuk, semisal: Morgan “freeman.” Truman= True man= Lelaki yang benar, Robin Will-i-am).

Banyak sisi-sisi romantis di film ini, ketika Patch Adam membacakan puisi untuk menyatakan cintanya pada Carin. Puisi yang tak pernah selesai tersampaikan karena Carin harus menjemput kematiannya sendiri ketika Larry, seorang pasien yang terkena gangguan jiwa mengundangnya ke rumah, dalam sesi konsultasi itu Carin ditembak dan sang pelaku akhirnya bunuh diri setelah itu. Sedih…? Iya. Beberapa adegan dalam film ini membuat saya beberapa kali menarik tisu demi mengelap ingus dan air mata. Setelah kematian Carin Fisher, Patch putus asa dan berniat untuk meninggalkan kampus dan Gesundheit, klinik gratis yang sudah didirikannya. Keinginannya itu sempat terbesit, tak seorang pun bisa menahannya termasuk Truman. Sampai suatu saat, Patch berhenti di tepi bukit, sebuah jurang di mana dia dan Carin pernah berhenti untuk berkhayal, bahwa nanti rumah sakit yang akan dia dirikan berada di sana. Patch protes kepada Tuhan, “apa maumu?” menanyakan keadilan Tuhan dst. Setelah dia berbalik, hendak pulang, Patch melihat seekor kupu-kupu cantik menempel di tas, kemudian terbang di dada sebelah kiri Patch. Mungkin ini reinkarnasi Carin.

Ketika berada di kampus, dia bertemu dengan Mitch yang meminta untuk diajarkan bagaimana melayani Mrs. Kennedy, karena sudah beberapa hari tidak mau makan. Dengan bantuan Truman. Angie (panggilan manis Patch untuk Mrs Kennedy), Patch membawa Mrs. Kennedy ke halaman rumah sakit dan mewujudkan impian masa kecilya mandi dengan bak penuh berisi mie. Sebuah adegan yang sangat menyentuh.


Persekongkolan Patch atas permintaan room mate nya. Mandi kolam mie bersama Angie

Belum selesai di situ, Patch harus disidang di hadapan majelis kampus. Karena telah melakukan pelanggaran kode etik kedokteran; mengobati pasien sebelum mendapatkan lisensi. Sebuah perdebatan panjang. Seru dan menegangkan. Dean Walcott yang menuntut agar Patch dikeluarkan dari kampus. 
Salah satu alasan Dekan memberhentikan Patch dari kampus adalah peristiwa ini. Patch diminta sebagai panitia  penyambutan dewan kehormatan kampus.
“Anda bisa saja menghentikan saya menjadi seorang dokter. Tapi jangan pernah menghentikan saya sebagai seorang yang terus belajar. Terus membantu orang lain. Anda bisa saja menganggap saya sebagai duri. Tapi ingatlah, saya adalah duri yang tidak akan pernah menyerah.” (Kutipan ini mungkin tidak sama persis).

Setelah perdebatan panjang, Dewan akhirnya memutuskan Patch boleh melanjutkan kuliah. Belum sampai disitu keusilan Patch. Saat penyematan toga. Tontonan yang menarik, lucu, mendidik. Layak untuk mendapatkan dua ibu jari. Silakan tonton sendiri. Masih banyak adegan yang membuat anda terpingkal-pingkal dan rasanya tidak “pantas” jika saya tulis di sini. :D


 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates