Ketika pulang kampung, bukan hanya
rumah orang tuaku yang selalu kurindukan. Ada satu rumah lagi yang selalu
menjadi tempat persinggahanku. Rumah Mas Makruf. Orang-orang sering
memanggilnya dengan panggilan Aba Makruf. Seseorang yang sampai saat ini
kuanggap sebagai seorang guru, meski aku selalu menjadi murid yang gagal.
Orangnya sederhana. Meski pernah
menjadi seorang penasehat pondok pesantren kenamaan di Sragen (Salah satu kabupaten di Jawa tengah). Beliau tetap
rendah hati. Dalam kesehariannya tak nampak sekali kalau dia adalah orang
alim. Jika ukuran alim adalah baju koko, kopiah dan jenggot. “Aku malu, Gus.
Malu sama kanjeng Nabi. Aku belum pantas memakai pakaian seperti itu.”
Jika orang sealim seperti beliau saja
merasa tak pantas, lalu bagaimana denganku? Memang sudah sejak lama
kutanggalkan kopiah, baju koko dan jarang memelihara jenggot. Bukan karena
tidak ingin mengikuti sunah kanjeng nabi, bagiku ada sunah yang lebih utama
dibandingkan apa yang nampak dipermukaan saja.
Di rumah itu aku seperti menemukan
diriku kembali. Dari sana aku melihat gambaran-gambaran kesalahanku. Satu
persatu kesalahan itu dia tunjukkan padaku. Satu kelebihan beliau dibandingkan
beberapa guruku di Jakarta adalah tutur katanya yang lembut. Gaya bahasa yang
tidak menggurui.
“Belajarlah dari tukang gadai.”
“Maksute pripun, Mas?” (Maksudnya
bagaimana?)
“Menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Itu ilmu ikhsan. Islam itu terbangun menjadi tiga pilar. Iman-Islam-Ikhsan.
Ketiganya tak bisa kau pilah dan pisah. Benar-baik-sopan.”
“Misalnya bagaimana, Mas?”
“Misalnya begini. Ada anak kecil yang
bermain-main dengan api. Trus karena itu di daerah yang rawan kebakaran. Kamu
menegurnya.”
“Hei, kamu goblok ya! Ini kan daerah rawan kebakaran. Nanti bisa bahaya.”
“Kalimat itu benar. Baik, tapi
disampaikan dengan cara yang salah. Kesalahannya lebih dari satu.”
“Pertama, apakah anak kecil itu sudah
mencukupi umurnya tentang pengetahuannya tentang bahaya kebakaran?”
“Kedua, secara tidak langsung, kamu
mengajarkan kalimat makian. Kata goblok itu akan melukai hatinya. Mungkin hari
itu dia akan mematikan api di tangannya. Tapi sebaliknya ia mulai menyalakan api
dendam di hatinya.”
“Belajar fikih itu penting. Itu
bagus. Tapi jangan lupakan di sana harus ada ilmu akhlaq. Jangan kesampingkan tasawuf. Tak bisa kamu
seenaknya membenarkan dan menyalahkan individu atau kelompok lain yang tidak
sealiran denganmu.”
Begitulah, rumah sederhana beliau
selalu saja menjadi pelabuhan hatiku. Juga sampai saat ini. Kenapa aku masih
betah tinggal di Utan Kayu. Meski, separuh dari diriku ingin segera pergi. Penghuni rumah di samping masjid Al-Falah-lah yang membuatku
enggan pergi.
Meski tertatih, aku takkan menyudahi pencarian ini. Aku memang berhenti, tapi semua belum berakhir.