Melahirkan adalah proses luar biasa.
Mulai awal kehamilan. Bahkan jauh sebelum itu. Istri saya termasuk dalam
golongan perempuan yang level ngati-atinya
tinggi. Teramat hati-hati. Saya memberikan nilai 9 dari angka 10 untuk urusan
itu. Sebaliknya. Saya cenderung orang yang nggampangke.
Menganggap enteng. Kalau bisa yang terbaik. Kalau nggak ada ya terima pilihan
yang tersedia. Tidak dengan istri saya. Setiap rencana di kepalanya seringkali
hanya satu macam. Dan itu harus sempurna. Tak jarang kami berdebat untuk satu
dua urusan yang remeh. Menikah ya seperti itu. Kan nggak mungkin yang enak-enak
saja. Yang mulus-mulus saja ceritanya.
Berawal dari mencari bidan. Waktu itu
kebetulan sudah muter beberapa kali di sekitar rumah kami. Em... maksud saya
rumah bapak kami. Hehe... kami masih tergabung dalam madhzab menantu mondok di rumah
mertua. Beberapa tetangga menyarankan Bu Heni, bidan sepuh, bidan yang dulu membantu persalinan Imam, adik ipar saya. Rumah
dan tempat praktiknya di tepi kali. Dekat kawasan Industri Pulo gadung. Waktu survey ternyata kliniknya tutup. Lalu
pencarian kami lakukan. Muter-muter. Menelusuri
jalan raya Sodong yang penuh kenangan. Kenangan ngekos dipinggir kali.
Nyamuknya cuma satu. Kebetulan nyamuk cewek. Tapi, temannya banyak. (Tanya saja
Ikal yang jadi korban keganansan nyamuk cewek ganas. Haha...) Ternyata bidan
yang bersangkutan juga tutup. Alternatif terakhir adalah bidan di dekat masjid
As-Syakirin, jalan pengarengan. Setelah dua kali balik Bu bidan buka praktik
juga.
“Gimana? Cocok dengan yang ini?”
Tanya saya selepas periksa.
“Besok nyoba yang di samping warteg
Blora ya. Yang deket masjid At-Taufiqiyyah?”
Saya hanya bisa pasang muka memelas.
Sambil berucap, “Ya sudah.” (Himbauan
buat para calon suami, akan tiba masanya semua seperti kebalikan lagunya Hamdan
ATT. Tidak semua laki-laki... bersalah padamu. Itu harus dikoreksi. Pokoknya
yang selalu benar itu ada dua; 1. Tuhan, 2. Wanita. Haha... )
****
Satu purnama berlalu. Kami berangkat
sesuai dengan kesepakatan. Tujuan kami klinik praktik Bidan Annisa. Beralamt di
Kampung Pulo Jahe, RT 08/ RW 014 No 1B. Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur. Tempatnya mudah ditemukan. Jika anda masuk dari Terminal Pulo
gadung arah bekasi, lampu merah pertama setelah Pulo gadung Trade Centre (PTC) belok kanan. Lurus saja sampai
sepanjang Jalan KRT Widjoyodiningrat, setelah Pabrik Sharp, kira-kira lima
menit anda akan mendapati pasar. Pasar Pulo Jahe. Dari gapura pasar Pulo Jahe,
gapura dengan tulisan lampu led
berjalan, masuk saja. Ikuti jalan. Tikungan
letter S pertama anda akan menemukan
warteg Blora. Pas di sebelah kiri warteg itu klinik Bidan Annisa berada.
****
Ilmu yang harus dikuasai seorang
lelaki setelah menikah adalah menajamkan pengamatan. Mengasah kelembutan hati.
Membaca isyarat tubuh, mimik wajah dan diamnya seorang perempuan. Itu yang
harus anda persiapkan setelah memutuskan untuk nyemplung berumah tangga. Saat itu, melihat ekspresi percakapan
istri dengan Bidan Annisa, saya menyimpulkan kalau ini yang dicari. Sama
seperti seorang salik mencari sang mursyid. Menunggu yang pas itu butuh
perjalanan panjang.
Tinggi badannya hampir sama dengan
istri saya. Berkaca mata. Lincah. Ceplas-ceplos gaya bicaranya. Untuk yang
terakhir kali itu saya pastikan kesan pertama yang akan anda simpulkan jika
bertemu dengan Bidan Annisa.
Istri saya itu termasuk sarjana google. Apa saja pasti dicari info
sedetil-detilnya. Saya sering meledeknya ketika dia tak menyadari kedatangan
saya. Khusyuk menekuri HPnya . “Pasti baca artikel.” (pengucapan “kel” di akhir
kata, pengucapannya sama seperti kata jengkel). Wajar jika percakapannya
bersambung terus untuk urusan kehamilan. Sedang Bidan Annisa seperti kamus
berjalan. Hal sekecil apa pun. Pertanyaan satu kata, maka akan dicarikan
jawabannya berderet.
“Kemungkinannya ada banyak, menurut
metode yang lama penangannnya begini. Terserah, kamu mau memilih yang mana?”
“Sembilan puluh persen wanita itu
bisa melahirkan normal. Kecuali memang kondisi tertentu, semisal terlilit
ari-ari, berat badan bayi terlalu besar, premature, posisi sungsang. Eh, bulan
kemarin saya pernah bantuin lahir sungsang.”
“Akhirnya gimana, Bu?”
“Alhamdulillah lahir, selamat
dua-duanya. Ya saya nggak tahu riwayat ibunya. Tahu-tahu sudah waktunya
melahirkan datang ke sini. Dan kasus seperti itu sering. Masak iya, saya harus
menolak pasien. Kadang serba salah juga. Kalau ceritanya dadakan begitu kan
riwayat ibu dan bayinya kita nggak tahu. Tapi ya bismillah saja. Sambil terus
berdoa. Yang penting positif thingking
aja. Sambil terus berdoa. Banyak istigfar, sedekah. Insya Alloh lancar.
Pokoknya ya itu tadi, mikirnya positif aja. Ada pasien saya yang mikirnya takut
terus, takut ini itu. akhirnya kejadian juga seperti yang ditakutkan.”
Senyumnya masih mahal. Belum diobral. Hahaha... |
Kekaguman saya terus bertambah ketika
cerita-cerita ajaib, inspiratif, menyentuh hati, keluar dari bibir Bidan
Annisa. Banyak kisah, mulai dari membantu melahirkan pasangan yang tanpa
persiapan karena keadaan ekonomi yang sedang dijalani, uang biaya persalinan
yang tak dilunasi, banyak kisah lain. satu kisah yang sangat terpahat dalam
kepala saya adalah kalimat,
“Saya berusaha mendoakan pasien saya,
agar lahirannya normal, selamat bayi dan ibunya.”
Ya Alloh... Dalam hati. Saya memekik
keras. (Saya teringat kisah bagaimana Kebiasaan Kiai mendoakan
santri-santrinya). Saat itu ruang dan waktu seperti dihentikan. Hening. Saya
terpekur seolah ditarik ke dalam ruang sunyi. Tak ada debur angin, suara detak
jantung, ketukan jam dinding. Di riuh Jakarta yang gila seperti ini, di kampung
Pulo Jahe yang sebagian jalannya berupa gang-gang senggol. Di sela pedagang
buah yang sering berlaku tak elok. Masih ada manusia yang diberikan ketulusan
hati, mengabdi pada kemanusiaan. Kekecewaan, stigma dan pengalaman buruk saya
dengan rumah sakit dan dunia medis di Jakarta tiba-tiba dirontokkan Tuhan. (Sebagai
bentuk kekecewaan saya pada rumah sakit. ketika sakit, saya sebisa mungkin
berusaha untuk tidak minum obat). Sejenak saya seperti linglung. Tak ada Iwan
Fals dengan “Ambulan Zig-zag”-nya, atau grup punk Marjinal dengan lagu kritik
tajamnya perihal rumah sakit gila. Seolah Tuhan memaksa saya. Mengganjal kedua
mata saya dengan batang korek api. Melek
o...! (Lihatlah...!). Seolah Tuhan menampar saya sambil berucap. “Ini, lho.
Aku tunjukkan hamba pilihanku!”
Ikan yang hidup di laut takkan
terkontaminasi air asin asal dia bergerak. Begitu pun manusia. Tak peduli di
mana dia tinggal. Sejelek apa pun kondisi lingkungan. Asal dia menghidupkan
hatinya. Menghidupkan kemanusiaannya. Teratai akan indah di atas keruhnya air.
Semua terserah pada anda, mau mewarnai atau diwarnai kehidupan. Pilihan ada
sepenuhnya di tangan sahabatku. Itu.
Begitulah. Kisah ini saya tulis.
Berdasarkan ingatan saja. Tanpa alat perekam elektronik. Bentuk redaksi percakapan
saya tulis sendiri tanpa mengubah substansinya. Terima kasih kepada Bu Bidan
Annisa. Terima kasih sebesar-besarnya. Semoga Yang Maha Lembut membalas semua
kebaikan Bu Bidan dengan keberkahan, keluasan rejeki, dan kebahagiaan dari
pintu yang tak disangka-sangka. Wa Salam.
(Bersambung)