Social Icons

Halaman

31 Okt 2016

Bidan Anissa Bamarwati



Melahirkan adalah proses luar biasa. Mulai awal kehamilan. Bahkan jauh sebelum itu. Istri saya termasuk dalam golongan perempuan yang level ngati-atinya tinggi. Teramat hati-hati. Saya memberikan nilai 9 dari angka 10 untuk urusan itu. Sebaliknya. Saya cenderung orang yang nggampangke. Menganggap enteng. Kalau bisa yang terbaik. Kalau nggak ada ya terima pilihan yang tersedia. Tidak dengan istri saya. Setiap rencana di kepalanya seringkali hanya satu macam. Dan itu harus sempurna. Tak jarang kami berdebat untuk satu dua urusan yang remeh. Menikah ya seperti itu. Kan nggak mungkin yang enak-enak saja. Yang mulus-mulus saja ceritanya.

Berawal dari mencari bidan. Waktu itu kebetulan sudah muter beberapa kali di sekitar rumah kami. Em... maksud saya rumah bapak kami. Hehe... kami masih tergabung dalam madhzab menantu mondok di rumah mertua. Beberapa tetangga menyarankan Bu Heni, bidan sepuh, bidan yang dulu membantu persalinan Imam, adik ipar saya. Rumah dan tempat praktiknya di tepi kali. Dekat kawasan Industri Pulo gadung. Waktu survey ternyata kliniknya tutup. Lalu pencarian kami lakukan. Muter-muter. Menelusuri jalan raya Sodong yang penuh kenangan. Kenangan ngekos dipinggir kali. Nyamuknya cuma satu. Kebetulan nyamuk cewek. Tapi, temannya banyak. (Tanya saja Ikal yang jadi korban keganansan nyamuk cewek ganas. Haha...) Ternyata bidan yang bersangkutan juga tutup. Alternatif terakhir adalah bidan di dekat masjid As-Syakirin, jalan pengarengan. Setelah dua kali balik Bu bidan buka praktik juga.

“Gimana? Cocok dengan yang ini?” Tanya saya selepas periksa.
“Besok nyoba yang di samping warteg Blora ya. Yang deket masjid At-Taufiqiyyah?”
Saya hanya bisa pasang muka memelas. Sambil berucap, “Ya sudah.” (Himbauan buat para calon suami, akan tiba masanya semua seperti kebalikan lagunya Hamdan ATT. Tidak semua laki-laki... bersalah padamu. Itu harus dikoreksi. Pokoknya yang selalu benar itu ada dua; 1. Tuhan, 2. Wanita. Haha... )

****

Satu purnama berlalu. Kami berangkat sesuai dengan kesepakatan. Tujuan kami klinik praktik Bidan Annisa. Beralamt di Kampung Pulo Jahe, RT 08/ RW 014 No 1B. Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Tempatnya mudah ditemukan. Jika anda masuk dari Terminal Pulo gadung arah bekasi, lampu merah pertama setelah Pulo gadung Trade Centre (PTC) belok kanan. Lurus saja sampai sepanjang Jalan KRT Widjoyodiningrat, setelah Pabrik Sharp, kira-kira lima menit anda akan mendapati pasar. Pasar Pulo Jahe. Dari gapura pasar Pulo Jahe, gapura dengan tulisan lampu led berjalan, masuk saja. Ikuti jalan.  Tikungan letter S pertama anda akan menemukan warteg Blora. Pas di sebelah kiri warteg itu klinik Bidan Annisa berada.
Alamat lengkap klinik Bidan Anissa
  



Lokasi strategis.


****

Ilmu yang harus dikuasai seorang lelaki setelah menikah adalah menajamkan pengamatan. Mengasah kelembutan hati. Membaca isyarat tubuh, mimik wajah dan diamnya seorang perempuan. Itu yang harus anda persiapkan setelah memutuskan untuk nyemplung berumah tangga. Saat itu, melihat ekspresi percakapan istri dengan Bidan Annisa, saya menyimpulkan kalau ini yang dicari. Sama seperti seorang salik mencari sang mursyid. Menunggu yang pas itu butuh perjalanan panjang.

Tinggi badannya hampir sama dengan istri saya. Berkaca mata. Lincah. Ceplas-ceplos gaya bicaranya. Untuk yang terakhir kali itu saya pastikan kesan pertama yang akan anda simpulkan jika bertemu dengan Bidan Annisa.

Istri saya itu termasuk sarjana google. Apa saja pasti dicari info sedetil-detilnya. Saya sering meledeknya ketika dia tak menyadari kedatangan saya. Khusyuk menekuri HPnya . “Pasti baca artikel.” (pengucapan “kel” di akhir kata, pengucapannya sama seperti kata jengkel). Wajar jika percakapannya bersambung terus untuk urusan kehamilan. Sedang Bidan Annisa seperti kamus berjalan. Hal sekecil apa pun. Pertanyaan satu kata, maka akan dicarikan jawabannya berderet.
“Kemungkinannya ada banyak, menurut metode yang lama penangannnya begini. Terserah, kamu mau memilih yang mana?”
“Sembilan puluh persen wanita itu bisa melahirkan normal. Kecuali memang kondisi tertentu, semisal terlilit ari-ari, berat badan bayi terlalu besar, premature, posisi sungsang. Eh, bulan kemarin saya pernah bantuin lahir sungsang.”
“Akhirnya gimana, Bu?”
“Alhamdulillah lahir, selamat dua-duanya. Ya saya nggak tahu riwayat ibunya. Tahu-tahu sudah waktunya melahirkan datang ke sini. Dan kasus seperti itu sering. Masak iya, saya harus menolak pasien. Kadang serba salah juga. Kalau ceritanya dadakan begitu kan riwayat ibu dan bayinya kita nggak tahu. Tapi ya bismillah saja. Sambil terus berdoa. Yang penting positif thingking aja. Sambil terus berdoa. Banyak istigfar, sedekah. Insya Alloh lancar. Pokoknya ya itu tadi, mikirnya positif aja. Ada pasien saya yang mikirnya takut terus, takut ini itu. akhirnya kejadian juga seperti yang ditakutkan.”


Senyumnya masih mahal. Belum diobral. Hahaha...

Kekaguman saya terus bertambah ketika cerita-cerita ajaib, inspiratif, menyentuh hati, keluar dari bibir Bidan Annisa. Banyak kisah, mulai dari membantu melahirkan pasangan yang tanpa persiapan karena keadaan ekonomi yang sedang dijalani, uang biaya persalinan yang tak dilunasi, banyak kisah lain. satu kisah yang sangat terpahat dalam kepala saya adalah kalimat,

“Saya berusaha mendoakan pasien saya, agar lahirannya normal, selamat bayi dan ibunya.”

Ya Alloh... Dalam hati. Saya memekik keras. (Saya teringat kisah bagaimana Kebiasaan Kiai mendoakan santri-santrinya). Saat itu ruang dan waktu seperti dihentikan. Hening. Saya terpekur seolah ditarik ke dalam ruang sunyi. Tak ada debur angin, suara detak jantung, ketukan jam dinding. Di riuh Jakarta yang gila seperti ini, di kampung Pulo Jahe yang sebagian jalannya berupa gang-gang senggol. Di sela pedagang buah yang sering berlaku tak elok. Masih ada manusia yang diberikan ketulusan hati, mengabdi pada kemanusiaan. Kekecewaan, stigma dan pengalaman buruk saya dengan rumah sakit dan dunia medis di Jakarta tiba-tiba dirontokkan Tuhan. (Sebagai bentuk kekecewaan saya pada rumah sakit. ketika sakit, saya sebisa mungkin berusaha untuk tidak minum obat). Sejenak saya seperti linglung. Tak ada Iwan Fals dengan “Ambulan Zig-zag”-nya, atau grup punk Marjinal dengan lagu kritik tajamnya perihal rumah sakit gila. Seolah Tuhan memaksa saya. Mengganjal kedua mata saya dengan batang korek api. Melek o...! (Lihatlah...!). Seolah Tuhan menampar saya sambil berucap. “Ini, lho. Aku tunjukkan hamba pilihanku!”

Ikan yang hidup di laut takkan terkontaminasi air asin asal dia bergerak. Begitu pun manusia. Tak peduli di mana dia tinggal. Sejelek apa pun kondisi lingkungan. Asal dia menghidupkan hatinya. Menghidupkan kemanusiaannya. Teratai akan indah di atas keruhnya air. Semua terserah pada anda, mau mewarnai atau diwarnai kehidupan. Pilihan ada sepenuhnya di tangan sahabatku. Itu.

Begitulah. Kisah ini saya tulis. Berdasarkan ingatan saja. Tanpa alat perekam elektronik. Bentuk redaksi percakapan saya tulis sendiri tanpa mengubah substansinya. Terima kasih kepada Bu Bidan Annisa. Terima kasih sebesar-besarnya. Semoga Yang Maha Lembut membalas semua kebaikan Bu Bidan dengan keberkahan, keluasan rejeki, dan kebahagiaan dari pintu yang tak disangka-sangka. Wa Salam.

(Bersambung)




 
 
Blogger Templates