Adakah Tere Liye itu semacam nabi
atau orang suci, hingga setiap kata dan perilakunya harus kuamini dan kuyakini
dalam hati? Begitupun Mario Teguh yang kondang itu. Bahkan, Pramoedya sekalipun,
bukan siapa-siapa bagiku, dalam hal tertentu, tak luput dari kenyataan bahwa
mereka adalah manusia-manusia besar yang telah meninggalkan jejak puji maupun
caci dari manusia lainnya. Bukankah hidup itu seperti kata Ali Syariati, “Mencari
dan menjadi.” Maka tak ada salahnya kita tetap berdiri pada apa yang disebut
dengan obyektifitas. Kita punya kehendak untuk memilih dan menjadi seperti apa
kita kelak. Benar diterima, yang salah kita tolak. Pun, nanti jika engkau atau
siapapun yang ternyata akan menjadi ibu dari anak-anakku, ingatlah pesanku. Pesan
yang sama seperti terlontar dari mutiara Gibran. Anakmu adalah anak-anak Jaman.
Mereka seperti anak panah. Adalah hakmu untuk menarik tali busur dan
mengarahkannya. Tapi, hakikatnya mata panah itu punya jiwanya sendiri, ke mana
dia akan menancap.
Lama aku tak menulis sepatah dua
patah kata dalam halaman ini. Entahlah, aku mulai gagap dengan masa depan. Hal yang
kurasai sederhana, sekedar merencanakan hal-hal kecil, tiba-tiba saja lenyap
tak bersisa. Hampir empat tahun. Mungkin malah lebih, aku tinggal di Utan Kayu.
Berada tepat di antara dua arus ideologis yang konon masih bermuara yang sama. Namun,
kenyataannya keduanya seperti air dan minyak. Sekeluarga namun, tak bisa
disatukan. Aku sempat berbangga diri dan menganggap bahwa bentuk perkawinan
ideologis itu harus menjadi manusia hibrida. Manusia dengan keluhuran budi. Manusia
paripurna. Manusia yang bebas tanpa terikat oleh belenggu kemunafikan, juga
belenggu kesucian. Namun, kenyataannya aku kandas dalam arus itu. Akarku belum
kuat menahan gempuran-gempuran yang selalu saja menghimpitku.
Pada akhirnya aku harus membenci
engkau yang pernah menjadi masa lalu bagiku. Entah sejak kapan. Satu hal yang
pada akhirnya kutemukan. Dan biarlah terkubur menjadi harta karun penuh
kutukan. Masuk dalam kotak Pandora.