Social Icons

Halaman

19 Jun 2013

Hanya Celoteh Tak Berguna



         Lama saya tidak ngisi blog lagi. Lagi iseng saja menyibukkan diri membaca buku. Biar lupa. Lupa kalau nggak punya duit, lupa kalau punya hutang, lupa kalau punya istri... Ups. Keceplosan. Kata penyair rumus sukses hidup di Jakarta adalah LUPA.
           
            Seperti tertampar petir. Lah, petir kok nampar. What everlah. Soalnya kalau kesambar beneran kan bisa nggak lebaran. Nggak ketemu Ramadhan (Aziz). Kan aku naksir sama dia :P Nah, lho... makin ngawur saja.

            Kaget saja mendengar kabar dari seorang teman bahwa “dia” dilarang oleh orang tuanya menulis. Bahkan sampai laptopnya disita segala. Dengan dalih agar masa depannya tidak terganggu. Kok bisa separah itu?
           
            Ya... saya juga tidak tahu seberapa parah kegiatan menulis itu mengganggu aktifitas teman saya itu. Dan sampai saat ini saya juga tidak tahu apakah kegatan menulisnya itu sudah berdampak seperti orang yang jatuh cinta. Terlebih yang lagi patah hati, nggak mau makan, minum, bahkan nggak mau mandi selama seminggu penuh. Duh, itu mah jorok bin laden.

            Apakah kegiatannya menulis selama ini telah melupakan dia dari Tuhannya? Apakah kegiatan menulisnya sudah seperti efek candu? Apakah sudah mencapai titik ekstase dalam dunia sufistik, hingga kalau tidak diajak turun lagi tingkatnya bisa-bisa dia tersesat dalam dunia “ilahiah?” Biarkan semua itu yang bersangkutan yang menjawab.

            Itu satu pukulan besar terhadap dunia pendidikan sekarang ini. Setidaknya merupakan pukulan juga buat saya pribadi. Jangan-jangan selama saya kumpul-kumpul di sebuah komunitas belajar menulis, sebagian orang masih punya anggapan bahwa ini adalah kumpulan orang-orang yang hanya buang-buang waktu. Nggak bermanfaat. Oh... Julia Perez. Hehe... #Korban Infotainment.

Apakah saya punya keinginan untuk menjadi penulis? Punya penghasilan di luar pekerjaan utama? Tentunya semua itu saya amini. Tapi, saya juga sadar, bahwasanya banyak hal yang masih harus saya pelajari dan saya korbankan jika saya ingin mencapai hal itu. Jika nanti suatu hari saya tidak dapat mencapai semua itu? Apakah saya akan menyesal? Nangis bantal-bantal? (Kasihan guling terus yang disebut)

Setidaknya banyak proses yang saya dapat dari komunitas ini. Apakah sukses itu harus melulu diukur dengan finansial? Ah, kalau kenyataannya seperti itu ya silakan saja. Itu kan penafsiran tiap orang. Masak harus sama semua. Bayangkan kalau seluruh dunia kaya semua. Cantik semua. Punya nama semua. Nah, lho jadi kemana saya ngomongnya.

Well, membaca dan menulis setidaknya bagi saya pribadi telah merubah banyak hal dalam diri saya. Saya lebih tahu belajar tentang diri saya dari penulis-penulis itu. Berkaca lewat orang lain.

Saya belum menjadi orang tua. Jadi belum tahu kaca mata apa yang akan saya pakai kelak, jika saya punya anak dengan kegemaran yang sama seperti anak yang dilarang itu. Mungkin sama seperti saya dulu. Ketika saya pulang kampung dengan Carrier penuh berisi buku. Sedang celana jins saya sobek-sobek penuh dengan tambalan. Ibu saya marah. “Punya uang kok dihambur-hamburkan buat yang beginian.”

Beruntung ibu saya tidak terlalu frontal dalam mengarahkan saya mau menjadi apa. Termasuk ketika saya menolak mentah-mentah mendaftar jadi PNS.

Teruntuk sahabat kita yang cetar membahana itu. Semoga kesuksesan yang diinginkan orang tuamu segera terwujud. Tetep semangat ya... Pokoknya hiduplah seperti Spongebob dan Patrick. Hiduplah untuk menciptakan kebahagiaan. Kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan. Bukankah dunia itu “menyebalkan” sekali ketika kita berasumsi seperti semua “keterpaksaan” Squidward Sang Tentakel itu.

Fyuh... Sudah ah. Makin lama saya makin ngaco saja ngomongnya. Terlebih saya takut kalau semakin jauh saya menulis, saya tambah cantik :D

11 Jun 2013

Menjalani Takdir Sesaat



Sudah tiga hari ini tak secuil makanan masuk ke dalam perutnya. Rambut ikalnya tertutup caping yang dikenakannya. Sudah sepantasnya dia berterima kasih pada kran air masjid. Selama ini kran-kran itulah yang menyediakan takjil dan menu sahurnya.

"Jangan menolak pemberian. Tapi, jangan sekalipun kau permalukan dirimu dengan mengadahkan tangan."

Itu adalah peraturan tak tertulis. Peraturan yang harus dia patuhi selama perjalanan ke depan. entah berapa lama lagi semua akan berakhir. Rasa-rasanya dia ingin segera menyudahinya.

"Mas, mampir. Murah kok... "

Sepanjang seratus meter tadi, banyak sekali warung-warung berjajar. Pada jam segini seharusnya warung-warung pada umumnya sudah tutup. Ah, musyafir itu tentunya lelaki yang sangat lugu. Di kota ini kehidupan tentu berbeda dengan kehidupan di kampungnya. Di sini lah, pada jam segini, nafas kehidupan mulai berputar. Beradu cepat dengan buruan nafas yang tersengal-sengal. Asap rokok, aroma bir, dan selimut dosa berkumpul dan bergumul menjadi satu.

“Saya, nggak punya uang, Mbak... ”

Baru setelah mendengar ucapan itu, perempuan bergincu tebal itu menghentikan langkahnya. Musyafir itu bingung dengan truk-truk yang terparkir di kanan dan kiri warung. Gerangan makananan apakah yang tersaji di dalamnya. Ah, kiranya ada barang seribu atau dua ribu di dalam sakunya, tentu ia akan memberanikan diri. Meski sekedar mencicipi nasi putih saja.

Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur. Dengan tersaruk-saruk dia langkahkan kakinya. Setengah berlari, mendekati warung yang berdiri menyendiri.

“Numpang neduh, Mbak.”

Tak sepatah kata pun keluar dari mulut perempuan itu. Musyafir itu berdiri mematung. Tak berani duduk di bangku teras, atau bahkan masuk ke dalam warung.

"Masuklah, di luar hujan... "
"Mau makan apa?"
"Maaf, saya numpang neduh saja, Mbak."

Perempuan itu pergi ke belakang. Meninggalkan musyafir itu. Tak lama berselang. Perempuan itu kembali dengan sepiring nasi dan segelas air putih.

“Makanlah. Nggak usah bayar.”
“Terima kasih... ”

            Belum sampai suapan ketiga. Musyafir itu mendengar suara lenguhan. Suara lelaki dan perempuan. Sontak suara itu menghentikan sendokan makannya.

“Kenapa... ?”
“Kau malu. Makanan yang kuhidangkan adalah makanan haram.”
           
Seperti tertampar. Musyafir itu hanya tergugu. Bingung harus berlaku apa. Terbayang selama perjalanan ini dia telah begitu berhati-hati mengenai halal-haram yang masuk ke dalam perutnya.

“Orang-orang seperti kalian. Cuma maunya bergaul sama orang-orang bersorban. Berkumpul di masjid.”

            Darrr! Belum selesai tamparan satu. Kini, hatinya telah terisis sembilu. Ngilu sekali. Gerangan apa lagi yang akan KAU ajarkan pada hambaMu yang bodoh ini Tuhan. Ucap Musyafir dalam hati.
           
            Musyafir itu tak berani menatap wajah perempuan di hadapannya. Suara sengal itu masih saja memburu. Seolah tak peduli dengan teriakan perempuan itu. Sambil menundukkan muka, musyafir itu urung diri.
           
“Terima kasih, Mbak.”

            Sepanjang perjalanan. Di tengah rinai hujan yang tak kunjung reda, musyafir itu menangis. Menangisi kebodohannya. Menangisi ketidaktahuannya. Menangisi makna hidup. Menangisi bagaimana dia harus memposisikan diri.

#####

            Beberapa minggu kemudian dia dijamu seorang Habib. Di dalam pondok pesantrennya. Dia ceritakan ulang kejadian di atas. Dan rupanya Sang tuan rumah pernah mengalami kejadian yang sama. Pernah menjadi musyafir, dan mengalami cerita yang sama.

            Kedua mata itu saling bertatap. Tak lagi melanjutkan ceritanya. Musyafir itu hanya berkata dalam hati. Apakah Habib juga mendapat isyarat. Perempuan itu berkata, “Aku hanya menjalani takdirku, saat ini.”

            Sang Habib menganggukkan kepala. Dan melanjutkan makan.

###
Bukankah hanya sedikit rahasia Tuhan yang kita ketahui. Bukankah kita hanya makhluk kerdil yang berada di ruang gelap. Bahkan tak bisa melihat ujung jari kita sendiri di gelap malam. Tanpa cahaya.

Siapa kita? Apa kita? Hingga seolah-olah kita lah pemegang kebenaran. Kita lah yang benar dan orang lain yang salah. Bukankah sejarah telah menjungkir balikkan fakta. Siapa dulu Ibrahim bin Adham, Siapa dulu Sayyidina Umar sebelum Tuhan memasukkan cinta kedalam hati mereka.

Hari ini kita beragama untuk mencari kebenaran dan mengucilkan welas asih, itu kata Karen Amstrong. Kalau nggak salah kutip. Ah, siapa saya. Tentu anda lebih tahu soal yang seperti ini dibangingkan saya. Begitu saja...



*. Kisah ini saya ceritakan ulang dengan gaya penulisan saya. Kisah sebenarnya ditulis oleh Fajar Santoso, berdasarkan kisah nyata dari seorang pencari Tuhan. Naskah sampai saat ini masih dalam proses. Semoga lekas terbit.




10 Jun 2013

Akhirnya Menikah Juga



            Bahagia itu sederhana. Kita lah yang seringkali membuatnya rumit. Kita lah yang seringkali mendefinisikan dengan hal-hal yang kadang tak terjangkau. Terlalu sering mendongak ke atas. Silau dengan fatamorgana. Padahal seringkali kebahagiaan itu begitu dekat sekali dengan kita.

            Pun demikian dengan hari ini. Saya dapat undangan lewat salah satu penyedia pesan gratis, via internet. Diawali salam dan bla... bla... bla... panjang sekali. Yang intinya mengundang kehadiran pada tanggal sekian, jam sekian dan bertempat di gedung salah satu parpol peserta pemilu. Gedung itu terletak di daerah Jakarta Utara.
           
            Saya belajar dari Kang Tep. “Yang kita omongkan harus kita ketahui. Tapi, tak semua yang kita ketahui harus kita omongkan.” Pesan sama yang disampaikan guru saya, beberapa minggu setelah lebaran tahun kemarin.

            Asik juga. Memposisikan diri sebagai orang yang pura-pura tidak tahu. Termasuk perihal undangan tadi (jum’at kemarin, saya sudah dapat bocorannya). Itu adalah undangan dari seorang kawan. Teman kuliah. Tapi, ini teman spesial. Sejak awal saya melihat hubungan kami dekat sekali. Tapi, bukan relasi hubungan cinta lelaki-perempuan . Dia selalu memanggil saya dengan “Kakak.” Pun juga dengan saya, saya menganggap dia adalah adik saya. (Saya anak terakhir. Dan dari dulu selalu pengin punya adik kandung).

            Keluguannya yang membuat saya selalu memposisikan sebagai seorang kakak. Saya dekat dengan kedua orang tuanya. Terlebih ibunya. Ternyata Apink punya kakak kandung yang jika masih hidup, usianya sepantaran dengan saya.
           
            Adikku itu lebih lugu dari Riri (Piss, Ri. :P). Dalam hal tertentu begitu rapuh. Dulu seringkali saya marah padanya. Ketika dia jatuh hati pada seorang lelaki dalam satu kelas. Saya cuma bilang, “Suatu hari kamu akan menyesal telah jatuh hati padanya.”

            Dan akhirnya begitulah saya juga yang mendengarkan keluh kesah, curhat, juga tangisnya. Saat tiba waktunya ketika dia memahami kalimat saya itu.
“Masqu, gimana nich?”
Ya... gayanya memang seperti itu, meski usianya sudah lebih dari dua puluh empat tahun.
“Cari saja yang pasti. Perempuan itu berhak dipilih. Tapi, perempuanlah yang menentukan pilihan. Pria itu pantas atau tidak. Jangan mau jadi obyek. Jadilah subyek.”

Obrolan di warung Padang itu berlanjut. Lebih serius.

“Tanya dulu sama cowokmu sekarang. Tanya komitmennya ke depan. Berapa lama lagi? Kalau nggak jelas, putusin saja. Terima lamaran yang ini.”

Saya bukan seorang yang paham tentang ilmu hadits dan ayat-ayat suci. Saya hanya seorang pedagang. Hadits yang masih bisa saya ingat kontennya adalah sebuah hadits yang melarang membeli barang yang sudah ditawar oleh orang lain.

Entah benar atau salah. Saya mengambil hadits tersebut sebagai rujukan ‘ijtihad’ saya peribadi. Dalam persoalan adik saya ini.

“Kamu kan punya hubungan sama seseorang. Tanya dulu. Beri kesempatan dia untuk membuktikan cinta. Kalau nggak berani. Ya... ambil saja kesempatan yang ada. Yang penting kamu tidak menikamnya dari belakang. Kamu nggak menjalin hubungan di dalam hubungan.”

            ####

            Beberapa bulan yang lalu dia chatting dengan saya. Menceritakan kalau LDR-nya sudah berakhir. Meski sebenarnya saya sudah tahu dari beberapa teman dekatnya. 

“Do’ain ya... Masqu. moga ini jd pelabuhan trakhirqu.”
“Aamiin.”

            Dia sempat bilang kalau pernikahannya bulan Juni. Tapi, tidak mengatakan kalau ternyata tahun ini. Saya juga sempat “surprise” ketika jum’at kemarin teman satu geng dulu memberi tahu saya.

Dan terus begitu sampai sekarang. Saya pura-pura kaget. Nggak percaya kalau dia menikah. Ketika dia bilang “Surpise...!”

Saya tetap pura-pura kaget. Pura-pura belum tahu. Bahwa hari sabtu nanti dia akan menikah. Akhirnya adikku menikah juga. Akhirnya berkurang satu pasienku. Pasien curhat.

Bahagia itu sederhana. Kita lah yang seringkali membuatnya rumit. Kita lah yang seringkali mendefinisikan dengan hal-hal yang kadang tak terjangkau. Terlalu sering mendongak ke atas. Silau dengan fatamorgana. Padahal seringkali kebahagiaan itu begitu dekat sekali dengan kita.

Ssst... Ini rahasia kita ya... jangan bilang-bilang sama adikku itu. Nanti dia bisa ngambek. Soalnya kalau sudah ngambek, minta traktirnya yang aneh-aneh.  ^_^




4 Jun 2013

Menuhankan Diri



            Apa tolok ukur seseorang dikatakan “ahli”?  apakah ketika seorang dokter lulusan terbaik, dan telah membuktikan kepiawaiannya dalam menangani pasien? Seorang pialang yang pandai menaksir perubahan nilai saham. Atau seseorang yang telah bekerja dibidangnya masing-masing lebih dari lima atau sepuluh tahun?
           
            Hari ini saya terpekur menatap papan induk (Mainboard), Memori, Processor dan Power supply. Hampir sepuluh tahun saya menggeluti dunia yang sama. Dunia yang saya sendiri tidak yakin akan memahaminya. Hanya sekedar meyakin-yakinkan diri, bahwa saya tahu. Padahal sampai saat ini saya benar-benar tidak mengetahui apa pun. Sedikit pun.

            Dulu di bangku sekolahan saya diajari bilangan biner, teori-teori resistansi, praktek tentang bagaimana mengubah arus AC menjadi arus searah. Merangkai “brigde dioda,” amplifier dan berpuluh-puluh teori yang dijejalkan oleh guru-guru saya.

            Merakit, install, trouble shooting. Begitu ritme kerja saya hampir selama sepuluh tahun ini. Hingga pada satu titik, Kok ternyata dunia saya cuma itu-itu saja. Kalau komputer begini rusaknya ini. Kalau layar gelap, sedang ada bunyi beep panjang berarti memorinya yang rusak, terus begitu seterusnya dan seterusnya. Seolah-olah saya tahu segalanya tentang komputer.
           
            Dunia apakah yang bisa kita tentukan hasil akhirnya. Mutlak. 100 persen. Saya sendiri kadang bingung harus menjawab apa. Ketika tiba-tiba ada seorang pelanggan baru, datang membeli seperangkat komputer baru. Dia kemudian bertanya, “Mas, kira-kira komputer ini kuat sampai berapa lama ya?”

            Hampir satu jam. Saya mengerjakan trouble shooting. Seorang pelanggan membawa satu unit komputer tanpa casing dan hard disk.
“Mas, tolong dicek. Rusaknya apa, nanti ganti saja.”

Pengalaman saya yang namanya prosessor itu kemungkinan rusaknya ya mati. Tidak ada yang rusaknya aneh-aneh. Dan baru kali ini saya “kena batunya.” Saya ganti sampai tiga mainboard, dua memori, dan power suply. Nggak berhasil.

Saya coba prosessornya di mainboard merk “X” nyala. Tapi, giliran saya pasang di mainboard yang lain mati. Padahal mainboard itu statusnya OK. Vonis terakhir saya jatuhkan pada prosessornya.

#####

Seorang Kiai besar di Pati, yang terkenal karena mustajabnya do’a beliau. Banyak orang jajaran atas negeri ini datang ke sana, dengan berbagai urusannya. Tetangga kampung sekitar juga sama. Mengadukan segala persoalan dari mulai persoalan rumah tangga, pekerjaan, hingga tata cara penghitungan harta warisan.
 Tapi, Kiai tersebut hanya menerima beberapa gelintir orang saja sebagai santri. Suatu hari, setelah berhasil menempuh azzamnya mengelilingi pulau Jawa dengan berjalan kaki, sang santri bertanya kepada gurunya tersebut.

“Mbah, Yai... Apakah Mbah Yai merasa bangga dengan semua solusi yang berhasil Mbah Yai berikan.”
“Maksudmu apa, Le?”
“Apakah Mbah Yai, Bangga jika Mbah Yai berhasil menyembuhkan seseorang? Atau setidaknya merasa bahwa berkat Mbah Yai... ”
Sebelum selesai pertanyaan itu, Mbah Yai sudah menjawab, seolah tahu kalimat selanjutnya.
“Aku ini hanya cangkir, Le.”
“Soal isi itu kan haknya ‘penuang’.”

####

Saya baru tersadar kembali cerita itu. Santri yang berkeliling jawa itu menuturkan kejadian itu pada saya dua tahun yang lalu. Ah, bodohnya saya. Terkadang saya merasa bahwa nilai-nilai logika dan kerusakan dari komputer itu sudah saya kuasai sepenuhnya. Saya telah jatuh dalam ranah atau wilayah “ketuhanan.”

Tanpa saya sadari. Bahwa, sedikit banyak saya telah menyekutukan Tuhan dalam berbagai bentuk. Sok ini, sok itu. Merasa bisa semuanya. Merasa paling anu.

Duh. Betapa Kiai yang sebesar itu saja cuma mengutip puisi Rumi. Trus siapa dan apa saya ini, Gusti...

“Astagfirullahal’adziim....”





           
 
 
Blogger Templates