Social Icons

Halaman

23 Des 2014

Mengobati Luka Sejarah.



Ada peribahasa mengatakan, hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang lain. Kalimat itu saya mafhumi sebagai sebuah nilai yang diwariskan para leluhur. Tentu dengan pertimbangan nilai dan kebudayaan yang berkembang zaman itu.  Sama seperti banyak peribahasa maupun kalimat-kalimat filosofis yang menyebar di hampir seluruh pulau-pulau yang ada di Nusantara. Sebagai contoh kalimat, becik ketitik olo ketoro, yang baik akan terlihat yang buruk akan tampak. Sayangnya kalimat yang bermuatan local wisdom yang saya sebutkan pertama kali itu tidak bisa membendung keinginan saya untuk “melamar” menjadi romusha, beberapa bulan setelah saya menamatkan pendidikan formal di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta.

Sejarah adalah pisau yang mempunyai seribu pasang mata, yang setiap matanya siap menusuk dan melukai siapa dan apa saja. Mestinya sejarah adalah kejadian fakta yang tak bisa dibantahkan lagi. Namun, kenyataannya seringkali fakta yang ada, ditulis dan didramatisasi oleh beberapa kepentingan-kepentingan yang mendomplenginya. 

Dengan berbagai pertimbangan akhirnya saya memilih merantau. Untuk mencari sesuap nasi dan segenggam berlian. (Hehe... Sesekali berhayal yang enak-enak, toh tidak ada salahnya). Dan negara yang menjadi tujuan perantauan saya adalah Jepang. Negeri yang menurut Edward Zwick, penulis sekaligus sutradara film The Last Samurai, adalah negeri yang terbuat dari pedang, tersusun dari orang-orang yang pemberani, seni disiplin yang tinggi, juga satu nilai moral yang agung; kehormatan.

Saya berangkat ke Jepang dengan status kenshusei (pekerja magang), yang sering diplesetkan oleh teman-teman seperjuangan dengan kata ken susah (dalam bahasa jawa berarti disuruh bekerja untuk bersusah payah). Saya magang di perusahaan di kota Koga, Fukuoka-ken. Tuhan menakdirkan saya bertemu dan bersahabat dengan Nakamura, seorang teman yang sering saya usili dengan pertanyaan-pertanyaan yang mestinya tabu untuk orang Jepang, pertanyaan semisal, berapa harga pakaian, mobil atau barang-barang yang dia kenakan. Dan jika anda menyaksikan kejadian itu, tentu akan tertawa melihat ekspresi wajah Nakamura ketika tersudut dan terpaksa menjawab pertanyaan saya.

Di Jepang saya bertemu keluarga yang baik sekali. Bahkan mereka sudah menganggap bahwa saya adalah bagian dari keluarga mereka. Untuk hal-hal semisal mengajak plesir, mentraktir makan, dan membelikan pakaian adalah hal yang biasa terjadi pada saya. Suatu saat saya penasaran juga dengan keluarga itu.

“Kenapa anda begitu baik pada saya?”
“Kamu pernah belajar sejarah? Sejarah tentang bangsa kami. Begitu besar dosa bangsa kami terhadap bangsamu. Dan apa yang aku lakukan adalah sedikit cara agar luka bangsamu itu bisa sedikit terobati.”

Ingatan saya langsung terbang ke masa lalu. Masa-masa ketika saya masih mengenyam bangku sekolah. Dari buku-buku diktat sejarah, saya mendapat sedikit gambaran tentang kekejaman yang dilakukan tentara Jepang pada para romusha. Berapa jiwa yang yang melayang? Juga tentang kisah menyayat yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam buku, “Perawan Dalam Cengeraman Militer.” Kisah gadis-gadis remaja yang dijanjikan mau disekolahkan yang ternyata hanya dijadikan pemuas nafsu para tentara Jepang. Dibuang ke beberapa pulau terpencil di Nusantara. Saya hanya menghela napas dalam-dalam sambil berkata, “Tak ada dosa warisan. Apa yang menjadi dosa masa lalu nenek moyang anda, tak perlu anda bayar.”

*. Ditulis berdasarkan pengalaman hidup seorang sahabat,  bernama Irvan Adi Setyawan yang sudah dianggap sebagai anak angkat dari Mr. Tsuda Kayoko. Ayah dari Mr. Tsuda adalah salah seorang tentara Jepang yang ikut dalam agresi militer Jepang ke Indonesia.



9 Des 2014

Facebook, Klakson, dan Toleransi



Sudah hampir enam bulan motor saya mati klaksonnya. Awalnya memang ada niat untuk pergi ke bengkel, barang kali banyak karat menempel atau bisa jadi aki-nya telah habis. Bulan berganti, minggu berlalu, tiap kali saya pergi ke bengkel untuk ganti oli dan servis karburator, niatan untuk membenahi klakson itu selalu saya urungkan. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Mulanya seperti ada yang hilang. Tapi lama-kelamaan saya malah menikmati motor tanpa klakson. Mungkin satu dua kali hati jadi kesal karena ada kendaraan yang berbelok sembarangan, atau tiba-tiba dari arah yang tak diduga ada seseorang yang menyeberang jalan. “Tin...!” kontan saja jika saja klakson di motor saya masih ada tentu sudah dibarengi dengan makinan, entah itu berbagai jenis binatang atau umpatan semisal, “Pakai mata, dong!” Namun, berhubung klakson saya mati, pelan-pelan saya menahan mulut, dan menahan rasa kesal di dalam hati.

Demikian pula dengan Facebook, dan akun Twitter saya. Sudah beberapa bulan terakhir saya sengaja hapus aplikasinya dari handphone saya. Tentu karena alasan yang tidak penting. Bukan karena sibuk mau jadi calon RT atau semacamnya. Dulu, saya juga seperti kebanyakan pengguna jejaring sosial lainnya, malah bisa dibilang “kecanduan.” Apa yang lagi “hot” di dunia maya, tentu saya tak mau ketinggalan. Entah itu sekedar berkomentar, menyindir atau mengkritisi kebijakan ini itu. Tak tanggung-tanggung kadang tiap kali ngetwit atau update status kalimat dan kata saya meluncur begitu saja tanpa kontrol yang serius. Wal hasil mungkin banyak dari sekian orang yang berteman di FB saya tersinggung dengan kalimat-kalimat saya langsung ataupun tidak langsung.

Rupanya dampak matinya klakson motor saya itu sangat besar sekali. saya jadi lebih permisif dengan kesalahan orang lain. Lebih sedikit ngalah, lebih memandang dari sudut yang lain. Ada semcam pencerahan kembali atas segala keruwetan yang terjadi dalam hati dan kepala saya. Tak jarang, ketika pada akhirnya saya sudah menulis komentar yang panjang di sebuah grup, kalimat yang berderet-deret itu saya hapus kembali. Takut kalau ada yang tersinggung.

            Macet adalah salah satu pemandangan wajib bagi kota Jakarta. Maka jangan heran jika tensi pengendara menjadi meninggi. Tak jarang umpatan dan bunyi klakson menderu bagai peluru. Lalu dalam sebuah perjalanan dari Garut, mobil yang dikendarai teman saya didahului dengan cara yang “emejing” kalau meminjam bahasa anak sekarang. Baru saja mulut saya mau berteriak, teman saya sudah mendahului, “Nggak apa-apa. Biarkan saja. Mungkin lagi kebelet pengin boker.”

            Silakan saja anda memakai apapun yang anda punyai, tentunya tiap barang punya fungsi dan kegunaan masing-masing. Maka sebaiknya pergunakan sesuatu itu dengan arif. Silakan berkomentar, silakan mengkritisi, senadainya itu membawa manfaat yang baik. Jika tidak, tentu perlu dilihat lagi, siapa yang anda komentari dan apa yang anda komentari. Apakah keilmuan anda mencukupi untuk apa yang anda bicarakan. Sekiranya tak mampu merubah apapun ada kalimat bijak warisan leluhur kita, bahwa diam itu emas. Sekian.


 
 
Blogger Templates