Ada peribahasa mengatakan, hujan batu di negeri sendiri
lebih baik daripada hujan emas di negeri orang lain. Kalimat itu saya mafhumi
sebagai sebuah nilai yang diwariskan para leluhur. Tentu dengan pertimbangan
nilai dan kebudayaan yang berkembang zaman itu.
Sama seperti banyak peribahasa maupun kalimat-kalimat filosofis yang
menyebar di hampir seluruh pulau-pulau yang ada di Nusantara. Sebagai contoh kalimat, becik ketitik olo ketoro, yang baik
akan terlihat yang buruk akan tampak. Sayangnya kalimat yang bermuatan local wisdom yang saya sebutkan pertama
kali itu tidak bisa membendung keinginan saya untuk “melamar” menjadi romusha, beberapa bulan setelah saya
menamatkan pendidikan formal di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta.
Sejarah adalah pisau yang mempunyai seribu pasang mata, yang
setiap matanya siap menusuk dan melukai siapa dan apa saja. Mestinya sejarah
adalah kejadian fakta yang tak bisa dibantahkan lagi. Namun, kenyataannya
seringkali fakta yang ada, ditulis dan didramatisasi oleh beberapa
kepentingan-kepentingan yang mendomplenginya.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya saya memilih merantau.
Untuk mencari sesuap nasi dan segenggam berlian. (Hehe... Sesekali berhayal
yang enak-enak, toh tidak ada salahnya). Dan negara yang menjadi tujuan
perantauan saya adalah Jepang. Negeri yang menurut Edward Zwick, penulis
sekaligus sutradara film The Last Samurai, adalah negeri yang terbuat dari
pedang, tersusun dari orang-orang yang pemberani, seni disiplin yang tinggi,
juga satu nilai moral yang agung; kehormatan.
Saya berangkat ke Jepang dengan status kenshusei (pekerja magang), yang sering diplesetkan oleh
teman-teman seperjuangan dengan kata ken susah
(dalam bahasa jawa berarti disuruh bekerja untuk bersusah payah). Saya magang
di perusahaan di kota Koga, Fukuoka-ken. Tuhan menakdirkan saya bertemu dan
bersahabat dengan Nakamura, seorang teman yang sering saya usili dengan
pertanyaan-pertanyaan yang mestinya tabu untuk orang Jepang, pertanyaan
semisal, berapa harga pakaian, mobil atau barang-barang yang dia kenakan. Dan
jika anda menyaksikan kejadian itu, tentu akan tertawa melihat ekspresi wajah
Nakamura ketika tersudut dan terpaksa menjawab pertanyaan saya.
Di Jepang saya bertemu keluarga yang baik sekali. Bahkan
mereka sudah menganggap bahwa saya adalah bagian dari keluarga mereka. Untuk
hal-hal semisal mengajak plesir, mentraktir makan, dan membelikan pakaian
adalah hal yang biasa terjadi pada saya. Suatu saat saya penasaran juga dengan
keluarga itu.
“Kenapa anda begitu baik pada saya?”
“Kamu pernah belajar sejarah? Sejarah tentang bangsa kami.
Begitu besar dosa bangsa kami terhadap bangsamu. Dan apa yang aku lakukan
adalah sedikit cara agar luka bangsamu itu bisa sedikit terobati.”
Ingatan saya langsung terbang ke masa lalu. Masa-masa ketika
saya masih mengenyam bangku sekolah. Dari buku-buku diktat sejarah, saya
mendapat sedikit gambaran tentang kekejaman yang dilakukan tentara Jepang pada
para romusha. Berapa jiwa yang yang melayang? Juga tentang kisah menyayat
yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam buku, “Perawan Dalam Cengeraman
Militer.” Kisah gadis-gadis remaja yang dijanjikan mau disekolahkan yang ternyata
hanya dijadikan pemuas nafsu para tentara Jepang. Dibuang ke beberapa pulau terpencil
di Nusantara. Saya hanya menghela napas dalam-dalam sambil berkata, “Tak ada
dosa warisan. Apa yang menjadi dosa masa lalu nenek moyang anda, tak perlu anda
bayar.”
*. Ditulis berdasarkan pengalaman hidup seorang
sahabat, bernama Irvan Adi Setyawan yang
sudah dianggap sebagai anak angkat dari Mr. Tsuda Kayoko. Ayah dari Mr. Tsuda
adalah salah seorang tentara Jepang yang ikut dalam agresi militer Jepang ke
Indonesia.