Social Icons

Halaman

22 Jun 2016

Resensi Kumcer Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita Lainnya


 
Dua kali saya membaca Kumcer, “Sundari Keranjingan Puisi.” Selama bulan Ramadhan ini saya mengalami penurunan konsistensi membaca. Saya membaca beberapa buku tapi tidak tuntas, karena bosan dengan gaya menulisnya. Ada yang terlalu klise, ada yang terlalu bertele-tele dalam menuangkan ide. Jika berada pada situasi seperti ini, aktifitas membaca buku bisa jadi lebih menyebalkan dibandingkan ketika antrian belanja saya diserobot ibu-ibu dengan alasan belanjaannya cuma sedikit.

Berbeda dengan buku terakhinya, “Tuhan tidak makan ikan dan cerita lainnya” buku kedua GTA, kumcer yang diterbitkan Margin Kiri ini dibuka dengan kisah religius. Cerpen bertajuk, “Untuk Siapa Kau berdoa, Ana?” bercerita tentang pergulatan batin Ana. Seorang anak yang dalam pertumbuhan menjelang dewasanya mulai meragukan kekuatan doa. Bagi Ana hidup itu seperti sebuah buku. Seberapa rajin engkau berdoa, percuma saja. Karena garis takdir sudah dituliskan dalam kitab lauhil mahfudz. Kitab Yang digariskan Tuhan. Sama persis seperti penulis yang berkuasa atas tokoh rekaannya. Kisah seperti ini banyak ditemui dan sampai sekarang jadi perdebatan yang menghasilkan aliran fatalisme dalam agama. Proses berbaliknya keyakinan Ana pada Tuhan berawal dari kematian sang ayah, yang meninggal dalam baku tembak dengan kelompok separatis Aceh. Konflik batin itu merekah sejak peristiwa kematian Sang Ayah.

 Dua cerpen yang memiliki satu garis kesimpulan, “Kapulaga dan Para Pengudap Duka” serta “Linda dan Lukman.” Bercerita tentang orang yang sudah dibutakan oleh keinginan. Bagaimana Linda, perempuan cantik, mapan dan berpendidikan pun sering terjebak pada janji pribadi. Mereka-mereka yang tak bisa menemukan prioritas mana yang lebih utama akan terjebak dalam kenistaan keputusannya. Entah lugu atau bodoh lebih tepatnya. Linda adalah cermin banyak perempuan di dunia nyata yang mengorbankan segalanya demi cinta khayali. Logika telah mati jika cinta berada di ujung mata. GTA memadu padankan keluguan, kebodohan, kenekatan, dan kekonyolan sekaligus di dalam cerpen ini. Sedang untuk “Kapulaga dan Para Pengudap Duka” berisi para Chef yang telah dibutakan akalnya karena kemampuan Kapulaga menyihir lidah mereka. Mereka menghalalkan apa saja demi tercapainya tujuan. Kisah diakhiri dengan pasrahnya Kapulaga menjemput kematiannya sendiri. Bukankah ada di antara kekasih Tuhan yang diberi sedikit kemampuan “ngerti sak durunge winarah.” Mendapat bocoran informasi sebelum sebuah peristiwa terjadi. Kapulaga menjemput kematian dalam kedamaian bersemedi.


Anti Romantisme picisan. 

Ringan. Sederhana. Sedikit akrobat kata. Namun sarat makna. Bukannya tidak bisa romantis. Saya yakin alumni UNS fakultas Sastra dan Seni Rupa ini bisa merangkai kalimat indah dan liris. Bermain-main dengan diksi yang puitis. Namun, GTA memilih genre-nya sendiri. GTA cenderung ingin menjungkalkan nilai-nilai romantisme picisan yang pondasinya sudah terbangun berabad lampau. Bagaimana kisah kutukan puteri tidur, obatnya bukan ciuman layaknya dalam dongeng sebelumnya, melainkan air kencing di bibir sang puteri. Tak ada kiriman bunga, puisi atau kisah indah tentang pernyataan cinta, yang ada adalah satir dan getir tentang sempak. Bukankah dunia kita sudah penuh dengan ilusi cinta semacam itu? GTA menyodorkan dekonstruksi pemahaman. Bahwa cinta ya cinta, tapi ya ndak mesti begitu itu, lho. Kejujuran itu lebih romantis. Apa adanya itu lebih baik dari pada menjadi orang lain.


Ulangi; Bacalah Seribu kali.

Pertama kali membaca kumcer ini perut saya sampai sakit. Di depan toko sehabis Maghrib saya terpingkal-pingkal sendirian. Sambil menunggu pengunjung, kali aja masih ada pengunjung yang nyasar. Seorang kawan yang lewat sampai penasaran. Bertanya saya sedang baca apa?

Pergilah ke suatu tempat untuk kedua, ketiga atau kesekian kali. Bacalah buku berulang kali. Maka engkau akan mendapatkan pemahaman baru setiap kali membacanya. Pada pembacaan yang kedua engkau adalah orang yang baru dengan pengetahuan yang baru. Maka, makna yang engkau serap akan berbeda dengan makna sebelumnya. Humor adalah kulit luar dari cerpen-cerpen GTA. Ada makna religius, ada pesan-pesan yang sebenarnya dekat sekali dengan kehidupan kita. Misalnya perihal honor penulis dan kehidupan penulis yang begitu-begitu saja. Sebut saja dalam istilah penulis medioker, atau silakan pilih sendiri dalam kata lain yang lebih tepat. Menulis adalah pekerjaan sunyi. Meski tulisan seorang penulis merambah ke pelosok negeri, jangan harap ketenaran penulis itu bisa seperti penyanyi dangdut koplo yang cukup dengan satu single baru atau remake lagu bisa terkenal di mana-mana.

Mengantuk di kantor, menikmati musik dan buku bajakan. Bukankah itu kita. Dunia yang kita akrabi. Perihal musik bajakan, silakan baca, “Haji Inul dan Ayat Bajakan.” GTA mengolah sedemikian rupa. Mengisahkan fatwa haram dari seorang ustadz yang dihormati di kampung. Setelah sekian tahun membiarkan warga “menikmati” hak kekayaan intelektual orang lain dengan semena-mena. Tiba-tiba mengeluarkan fatwa bahwa semua itu haram. Setelah ditelisik ternyata ada pesan titipan dalam fatwa tersebut. 

Ada nabi yang ditahbiskan kaya raya, ada yang tampan, cerdas. Ada Kiai yang setiap katanya meneduhkan, ada yang jenaka cara dakwahnya, ada juga Kiai yang setiap katanya bagaikan pentungan. Pun begitu. Tiap penulis akhirnya memilih pakem apa yang kiranya pas untuk dirinya. Ada yang memilih idealisme sebagai acuan ada yang menitipkan pesan lewat kalimat menyek-menyek, ada yang bisa menulis berbagai genre. Sebagai pembaca saya lebih suka menempatkan diri sebagai pembaca apa saja. Sekali lagi itu soal selera. Suka ya ambil, ndak suka ya tinggalkan. Itu saja. Sekian.
                          



Judul                            : Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita Lainnya.
Penulis                         : Gunawan Tri Atmodjo
Penerbit                       : Marjin Kiri.
Cetakan Pertama          : Agustus 2015
Dimensi                       : 14 x 20,5 cm
Tebal                           : 132 Halaman

13 Jun 2016

Mengintip Surga di Pantai Utara Jakarta (Review Hutan Mangrove Angke)



Sabtu masih prematur bagi beberapa Pegawai Negeri Sipil. Berbekal google map aku meyakinkan istriku. Meskipun aku sendiri belum yakin seratus persen. Setidaknya aku pernah melewati sebagian jalan menuju tempat yang dimaksud. Tak sampai ujung. Paling tidak mendekati.

Niat membayar hutang. Menjelang puasa. Di penghujung bulan Sya’ban. Biar tuntas segala beban. Dulu, aku pernah berjanji akan mengajak istriku ke beberapa tempat. Tak melulu tempat mahal. Mestinya dia bisa mengukur kedalaman saku suaminya. Malangnya, tempat yang murah pun sering terlewat. Untungnya dia tidak banyak protes. Tapi entahah, bisa jadi disimpan di kedalaman hatinya. ^-^

Kami berangkat ketika matahari menebar harapan. Berangkat dari rumah kami di Pulo Jahe, Pulogadung. Baru dua puluh menit, perjalanan kami dihentikan paku yang menancap ban belakang sepeda motor. Benar-benar paku yang punya “keisengan” luar biasa. Ia telah lancang. Berada di tempat tak semestinya. Menembus dua lubang sekaligus. Tak jauh dari kejadian tukang tambal ban berdiri seperti nabi yang ditunggu-tunggu pertolongannya. Sekira lima belas menit kemudian kami melanjutkan perjalanan. Melewati pasar Pramuka - Senen - Gunung Sahari kemudian belok kiri melewati  jalan Pangeran Jayakarta. Sesekali tersendat di Teluk Gong, macet di Kapuk, kemudian terus mengikuti arah papan bertuliskan Taman Wisata Mangrove - Angke.

Sejauh dua atau tiga kilometer sebelum gerbang utama. Setelah tikungan penanda. Gapura-gapura mewah padang golf menyambut. Aku melirik papan nama lapangan golf yang ditawarkan Feni Rose dalam sebuah program investasi, salah satu stasiun televisi swasta yang menggeser kebahagiaan anak kecil di hari minggu. Papan nama berdarah yang menjungkalkan Dodit Mulyanto. Komika yang identik dengan Biola di tangannya. Berderet papan-papan iklan berisi angka-angka menggiurkan para marketer. Diskon harga. “Hanya” sekian puluh juta. Tak lupa diekor kalimat disematkan tanda bintang kecil (*). Mengikuti keterangan di bawahnya. Syarat dan ketentuan berlaku. 

 Melewati padang golf. Sepanjang jalan. Kanan - kiri ditanami gedung - gedung bertingkat. Atap berupa kubah. Khas gaya klasik Spanyol. Kubah karya megah Michael Angelo. Lampu-lampu led berjalan membentuk kalimat berjalan. Papan-papan nama bertuliskan bahasa asing. China, Korea, Jepang, Thailand, juga tak luput dalam bahasa Inggris. Tempat tongkorongan pangeran, cukong, bisnisman, orang tajir, penjahat dan pejabat. Eh... Yang terakhir abaikan saja.

Di tikungan terakhir. Berdiri Agung. Megah nan mewah. Berbaju keramik warna abu-abu metalik. Bagunan itu mirip gedung parlemen atau sebenarnya lebih mirip dengan gedung-gedung  yang sering terlihat dalam film Jepang atau drama Korea. Gedung agung itu merupakan komplek gedung pendidikan Yayasan Budha Tzuchi.

Gapura penjualan tiket Taman Wisata Alam (TWA) tak begitu mencolok. Hampir tertutup rimbun dedaunan. (Aku tak berhasil mengabadikan dengan kamera karena terhalang  oleh cahaya Matahari). Kontur tanah yang agak menurun menjadikan tempat itu tak begitu menonjol. Bukan tempat yang bisa menimbulkan daya pikat, jika hanya sembari lewat. Kalah telak dengan bangunan sebelumnya yang terpampang lebih “wah”. Tiket masuk per-orang dikenakan Rp.20.000; untuk motor Rp.5.000; biaya PMI Rp.5.000; (untuk biaya terakhir ini aku tidak sempat melihat karcis. Kemarin aku bersama istriku dan satu motor dikenakan biaya HTM sebesar Rp. 55.000;)

HTM terjangkau.

Dari pintu utama, pemandangan masih terasa biasa. Terlebih kami disuguhi jalan berupa susunan batu paving blok yang ambles di beberapa lajur jalan. (permukaan tanah yang dekat dengan pantai tentu mempunyai kandungan air lebih banyak. Lembek dan mudah ambles jika terkena hujan sedikit saja.) Pengelola menyiasati dengan menutupi beberapa lembar baja tebal. Selebar triplek. Parkir motor masih berupa tanah berkerikil. Untuk parkir mobil lebih baik kondisinya. 

Tempat parkir luas. Jangan khawatir kehabisan tempat.


Kejutan itu datang setelah melewati pos pemeriksaan karcis (Di sini diperiksa bawa makanan, Kamera digital, SLR atau tidak. Karena untuk pemotretan prewedding atau keperluan lain dikenakan biaya sendiri).  Angin sejuk hadir membelah wajah. Udara segar memompa paru-paru. Hamparan luas dedaunan. Hijau. Teduh. Indah. Suara burung bersahut-sahutan. Terbang rendah saling berkejaran. Gemericik lembut air digoyang  angin. Ombak-ombak kecil. Bergulung, pecah di tepian. Ikan-ikan berenang dalam barisan teratur. Pemandangan itu nampak seperti sebuah harta terpendam, atau seperti istana yang disembunyikan keberadaannya oleh pemiliknya.
 
Di bawah naungan payung :D
Apakah ini benar-benar di Jakarta? Aku meyakinkan diri untuk ke sekian kali. Tapi tidak dengan cara mencubit pipi seperti dalam dongeng. Akal sehatku masih sedikit waras untuk sekadar membedakan mimpi, imaji, dan hakiki. Konsep back to nature kental sekali. Hampir seluruh bangunan, gazebo, bangku-bangku peristirahatan, tangga, jembatan terbuat dari kayu dan papan-papan yang tersusun rapi. Paduan khas warna coklat, aroma rumah kayu menghipnotis penghidu dan kepala. Deretan tetumbuhan kanan kiri sepanjang area.

Kalau tersesat? Katakan, "Peta!"


Denah rencana pembangunan TWA dan sekitarnya



TWA menawarkan empat kategori wisata
1.      Berkemah (Wisata Alam, Out Bond, Pemotretan, Penelitian)
2.      Penginapan (Pondok Alam, Berkemah dengan pondok Permanen, Berkemah dengan tenda)
3.      Wisata Air (Kano, Perahu, Speed boat)
4.      Konservasi (Penanaman Mangrove, Penanaman nostalgia) Untuk penanaman nostalgia ini mungkin dengan cara menanam hidup-hidup mantan atau orang-orang yang menyebalkan dalam kehidupan anda sebelumnya. :D. Hehe... (bercanda tauk... )


Sesaat setelah mengambil foto Bumil di bawah payung-payung cantik. Aku berkeliling lokasi. Tujuan utamaku adalah sebuah menara pengintai. Kuperkirakan setinggi tujuh meter. Aku naik sendiri. Bumil kutinggal di bawah. Dia duduk di sebuah bangku panjang beratap jerami. Dari atas aku mengamati rerimbun daun bakau menghampar seluas mata memandang. Gedung megah Yayasan Budha Tzuchi, laut, juga crane-crane dan gedung-gedung berwarna krem. Entah itu hotel, ruko atau apartemen. Pulau-pulau itulah yang selama ini diperdebatkan di televisi. Jembatan-jembatan putih melengkung, mobil, dan truk yang terlihat seperti semut bergerombol.


Pondok permanen diambil dari menara pengintai


Panggung dilihat dari menara 

Hijau negeriku


Bumil pose di depan pondok berada di atas air

Banyak titik-titik yang menjanjikan untuk berselfie ria. Luasnya area menjadikan kami berhenti beberapa kali. Banyak gazebo di kiri kanan jalan. Sejuk dan rindang menjadi nilai tersendiri. Jika ingin berwisata air, anda bisa menyewa speed boat atau kano yang tersedia. Biaya sewa per orang Rp. 50.000;. Di sudut lain di sela-sela Mangrove anda bisa menyaksikan banyak tanaman buah. Mulai dari jambu air, buah naga, pepaya, cabe, tomat, mengkudu, pisang, juga aneka tumbuhan obat-obatan.
Metik sekilo juga lumayan. Hehe...

Mengkudu alami. Yang ekstrak beli aja di apotek. ;D


Beberapa bagian wisata masih dalam tahap pengembangan. Taman Wisata Alam Angke, wisata hutan mangrove berpadu dengan wisata pantai bisa anda jadikan tempat pilihan lain. Jika anda bosan dengan wahana dan pantai Ancol, tak ada salahnya anda menunggu maghrib di sana.


Tips dan trik.

1.      Jangan bawa masa lalu. Bawalah uang secukupnya karena itu lebih berguna selama perjalanan. :D
2.      Hindari membawa kamera digital, SLR, drone atau kamera berresolusi tinggi. Ada tarif tersendiri jika anda ingin melakukan foto untuk majalah atau prewedding.
3.      Khusus jomblo. Bawalah selalu teman (biar asik hidup lo. Karena wisata berjamaah itu lebih utama dari pada wisata sendirian. :D)

Perahu aja berpasangan, masak kamu?

4.      (Untuk tips ini risiko ditanggung sendiri, ya... hehe...) Meski ada larangan membawa makanan, saran aku pribadi, silakan bawa makanan karena kantin di dalam menunya cuma dua macam. Untuk makanan berat, ada nasi goreng dan mie instan. Untuk cemilan dan minuman pilihannya lebih banyak. Untuk buah sebenarnya banyak tanaman buah yang ranum. Siap dipetik. Menggiurkan. Mengingat calon anak masa depan. Aku nggak tega juga untuk memetik. Padahal ada jambu hijau yang siap panen. Untungnya Bumil sudah dapat kiriman dari Istana Kunciran (Semoga Tuhan yang mengganjar kebaikan penghuninya dengan berkah berlimpah). Jadi niat untuk metik buah dapat terhindarkan. Masak anakku mau dikasih dari buah yang haram. Ecie... Haha... kok tiba-tiba jadi sok religius begini. Sayang sekali pohon yang berbuah dibiarkan begitu saja. Berjatuhan. Sebagian pohon cabe malah buahnya mengering di pohon. (Sayang sih sebenarnya. Mubazir. Katanya kesia-siaan itu temannya setan. Iya, kamu. Yang baca tulisan ini. Wkwkwkw...).


Teh pucuk, Lays. Bayar biaya iklan yak. Haha..
5.      Bawalah payung. Meskipun kanan kiri rimbun. Untuk akses menuju beberapa titik agak panas. Terlebih untuk jembatan atau arah pondok permanen yang di atas air.
6.      Tolong buang sampah pada tempatnya. Beberapa titik saya lihat tumpukan sampah berupa botol mineral.
7.      Hati-hati dan waspada jika tiba-tiba saja ada biawak melintas. Anggap saja hiburan tambahan.
 

Akses Transportasi

Menuju Halte Transjakarta Monas bisa via Transjakarta Blok M-Kota (Koridor 1) dan Pluit-Tanjung Priok (Koridor 2)
Tarif tambahan untuk BKTB Rp 3500 (jika turun di PIK), R 2500 (Jika turun sebelum PIK), Rp 6000 (jika naik dari PIK di luar halte Transjakarta). Biasanya ongkos tambahan diminta selepas Halte Transjakarta Bandengan.
Parkir
-Sepeda motor: Rp 5000
-Mobil: Rp 10.000
-Bus: Rp 50.000

Biaya Akomodasi
Tiket masuk
-WNI: Rp 25.000
-WNA: Rp 125.000
Foto prewedding Rp. 1.500.000; (tarif berlaku 1 April 2016)
Paket wisata menanam mangrove Rp 150.000
Paket menanam mangrove dengan papan nama instansi/ pribadi Rp 500.000
Sewa perahu
-6 orang: Rp 300.000 per perahu
-8 orang: Rp 400.000 per perahu
Sewa canoe/perahu dayung Rp 100.000 per 45 menit

Speed boat


Nggak ada lo, nggak asik.

Belajar nunggu momen. Eh, kelewat. Speed amunisinya terlambat

Nikung, Pir...

Kapan lagi ngerjain Bumil

Ngerjain part 2

Jembatan gantung. Asala jangan cinta yang digantung. :P

Arena bermain outbond anak.



Biaya sewa dan penginapan


Rumah Tenda (Camping Ground) di atas tanah: Rp 400.000/malam, max 2 orang 
fasilitas : kamar mandi luar, max 2 orang, makan pagi

Rumah Tenda di atas air tanpa AC (Rp 550.000/malam max 2orang)

fasilitas : kamar mandi luar, makan pagi
Rumah Tenda di atas air dengan AC (Rp 700.000/malam max 2 orang)
fasilitas : kamar mandi luar, Makan pagi


Pondok Alam

Villa Pondok Alam  Rhizophora 1,2,3 (Rp. 1.400.000/ malam kapasitas 4 orang)
fasilitas : 2 kamar tidur, 1 kamar mandi shower, Ruangan Ac, Makan Pagi  
 Villa Pondok Alam Avicennia (Rp. 1.600.000/ malam kapasitas 4 orang)
fasilitas : 2 kamar tidur, 1 kamar mandi shower, Ruangan Ac, Makan Pagi
Villa Pondok Alam Egreta 1,2,3 & 4 (Rp. 3.500.000/ malam kapasitas 6 orang)

fasilitas : 3 kamar tidur, 3 kamar mandi shower, Ruangan Ac, Makan Pagi
Villa Honeymoon Cottage (Rp. 5.500.000/ malam kapasitas 2 orang)

fasilitas : Ruangan Ac, Makan Pagi
Villa Pondok Alam Bertingkat Rhizophora 4 & 5 (Rp. 6.000.000/malam)

fasilitas : Ruangan Ac, Satu kamar diatas, meeting room dilantai bawah kapasitas 10-15 orang
Villa Pondok Alam Rhizophora 6&7 / Rumah Betang ( Rp. 7.000.000/malam kapasitas 20 orang)
fasilitas : 10 kamar, Ruang rapat dibawah, ruangan Ac



Sumber informasi tambahan mengenai rute lewat transportasi umum dan biaya sewa saya dapatkan di website.
karena website resmi punya TWA setelah aku akses domainnya dijual (mungkin tidak diperpanjang sewanya)
untuk informasi lebih lanjut tentang penyewaan silakan hubungi sendiri nomer pengelola TWA di :
Kantor:
Jl. Loka Indah 4B, Warung Buncit, Jakarta Selatan
Telp: 0811 – 804 – 579, 0815 – 8030 – 933
Fax: (021) 2903 – 3077

*. Mengenai biaya sewa silakan kroscek lagi ya. Sebagian aku hanya copy paste untuk memudahkan perkiraan anggaran biaya (harga bisa naik-turun). Untuk kebenaran informasinya silakan hubungi nomer yang tersedia.  


 
 
Blogger Templates