Dua kali saya membaca Kumcer, “Sundari
Keranjingan Puisi.” Selama bulan Ramadhan ini saya mengalami penurunan
konsistensi membaca. Saya membaca beberapa buku tapi tidak tuntas, karena bosan
dengan gaya menulisnya. Ada yang terlalu klise, ada yang terlalu bertele-tele
dalam menuangkan ide. Jika berada pada situasi seperti ini, aktifitas membaca buku
bisa jadi lebih menyebalkan dibandingkan ketika antrian belanja saya diserobot
ibu-ibu dengan alasan belanjaannya cuma sedikit.
Berbeda dengan buku terakhinya,
“Tuhan tidak makan ikan dan cerita lainnya” buku kedua GTA, kumcer yang
diterbitkan Margin Kiri ini dibuka dengan kisah religius. Cerpen bertajuk,
“Untuk Siapa Kau berdoa, Ana?” bercerita tentang pergulatan batin Ana. Seorang
anak yang dalam pertumbuhan menjelang dewasanya mulai meragukan kekuatan doa.
Bagi Ana hidup itu seperti sebuah buku. Seberapa rajin engkau berdoa, percuma
saja. Karena garis takdir sudah dituliskan dalam kitab lauhil mahfudz. Kitab
Yang digariskan Tuhan. Sama persis seperti penulis yang berkuasa atas tokoh
rekaannya. Kisah seperti ini banyak ditemui dan sampai sekarang jadi perdebatan
yang menghasilkan aliran fatalisme dalam agama. Proses berbaliknya keyakinan
Ana pada Tuhan berawal dari kematian sang ayah, yang meninggal dalam baku
tembak dengan kelompok separatis Aceh. Konflik batin itu merekah sejak
peristiwa kematian Sang Ayah.
Dua cerpen yang memiliki satu garis
kesimpulan, “Kapulaga dan Para Pengudap Duka” serta “Linda dan Lukman.”
Bercerita tentang orang yang sudah dibutakan oleh keinginan. Bagaimana Linda,
perempuan cantik, mapan dan berpendidikan pun sering terjebak pada janji
pribadi. Mereka-mereka yang tak bisa menemukan prioritas mana yang lebih utama
akan terjebak dalam kenistaan keputusannya. Entah lugu atau bodoh lebih
tepatnya. Linda adalah cermin banyak perempuan di dunia nyata yang mengorbankan
segalanya demi cinta khayali. Logika telah mati jika cinta berada di ujung
mata. GTA memadu padankan keluguan, kebodohan, kenekatan, dan kekonyolan
sekaligus di dalam cerpen ini. Sedang untuk “Kapulaga dan Para Pengudap Duka”
berisi para Chef yang telah dibutakan akalnya karena kemampuan Kapulaga
menyihir lidah mereka. Mereka menghalalkan apa saja demi tercapainya tujuan.
Kisah diakhiri dengan pasrahnya Kapulaga menjemput kematiannya sendiri.
Bukankah ada di antara kekasih Tuhan yang diberi sedikit kemampuan “ngerti sak
durunge winarah.” Mendapat bocoran informasi sebelum sebuah peristiwa terjadi.
Kapulaga menjemput kematian dalam kedamaian bersemedi.
Anti Romantisme picisan.
Ringan. Sederhana. Sedikit akrobat
kata. Namun sarat makna. Bukannya tidak bisa romantis. Saya yakin alumni UNS
fakultas Sastra dan Seni Rupa ini bisa merangkai kalimat indah dan liris.
Bermain-main dengan diksi yang puitis. Namun, GTA memilih genre-nya sendiri. GTA
cenderung ingin menjungkalkan nilai-nilai romantisme picisan yang pondasinya
sudah terbangun berabad lampau. Bagaimana kisah kutukan puteri tidur, obatnya
bukan ciuman layaknya dalam dongeng sebelumnya, melainkan air kencing di bibir
sang puteri. Tak ada kiriman bunga, puisi atau kisah indah tentang pernyataan
cinta, yang ada adalah satir dan getir tentang sempak. Bukankah dunia kita
sudah penuh dengan ilusi cinta semacam itu? GTA menyodorkan dekonstruksi
pemahaman. Bahwa cinta ya cinta, tapi ya
ndak mesti begitu itu, lho. Kejujuran itu lebih romantis. Apa adanya itu
lebih baik dari pada menjadi orang lain.
Ulangi; Bacalah Seribu kali.
Pertama kali membaca kumcer ini perut
saya sampai sakit. Di depan toko sehabis Maghrib saya terpingkal-pingkal
sendirian. Sambil menunggu pengunjung, kali aja masih ada pengunjung yang
nyasar. Seorang kawan yang lewat sampai penasaran. Bertanya saya sedang baca
apa?
Pergilah ke suatu tempat untuk kedua,
ketiga atau kesekian kali. Bacalah buku berulang kali. Maka engkau akan
mendapatkan pemahaman baru setiap kali membacanya. Pada pembacaan yang kedua
engkau adalah orang yang baru dengan pengetahuan yang baru. Maka, makna yang engkau
serap akan berbeda dengan makna sebelumnya. Humor adalah kulit luar dari
cerpen-cerpen GTA. Ada makna religius, ada pesan-pesan yang sebenarnya dekat
sekali dengan kehidupan kita. Misalnya perihal honor penulis dan kehidupan
penulis yang begitu-begitu saja. Sebut saja dalam istilah penulis medioker, atau silakan pilih sendiri dalam
kata lain yang lebih tepat. Menulis adalah pekerjaan sunyi. Meski tulisan
seorang penulis merambah ke pelosok negeri, jangan harap ketenaran penulis itu
bisa seperti penyanyi dangdut koplo yang cukup dengan satu single baru atau remake lagu bisa terkenal di mana-mana.
Mengantuk di kantor, menikmati musik
dan buku bajakan. Bukankah itu kita. Dunia yang kita akrabi. Perihal musik
bajakan, silakan baca, “Haji Inul dan Ayat Bajakan.” GTA mengolah sedemikian
rupa. Mengisahkan fatwa haram dari seorang ustadz yang dihormati di kampung.
Setelah sekian tahun membiarkan warga “menikmati” hak kekayaan intelektual
orang lain dengan semena-mena. Tiba-tiba mengeluarkan fatwa bahwa semua itu
haram. Setelah ditelisik ternyata ada pesan titipan dalam fatwa tersebut.
Ada nabi yang ditahbiskan kaya raya,
ada yang tampan, cerdas. Ada Kiai yang setiap katanya meneduhkan, ada yang jenaka cara dakwahnya, ada juga Kiai yang setiap katanya bagaikan pentungan. Pun begitu. Tiap penulis
akhirnya memilih pakem apa yang kiranya pas untuk dirinya. Ada yang memilih
idealisme sebagai acuan ada yang menitipkan pesan lewat kalimat menyek-menyek, ada yang bisa menulis berbagai genre.
Sebagai pembaca saya lebih suka menempatkan diri sebagai pembaca apa saja. Sekali lagi itu soal selera. Suka
ya ambil, ndak suka ya tinggalkan. Itu saja. Sekian.
Judul :
Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita Lainnya.
Penulis : Gunawan Tri Atmodjo
Penerbit : Marjin Kiri.
Cetakan Pertama : Agustus 2015
Dimensi : 14 x 20,5 cm
Tebal : 132 Halaman