“Teruslah mencari. Dan teruslah
bertanya, meskipun kau telah menemukan jawabannya. Nanti kau akan menemukan
pemahaman yang berbeda.”
Siapa yang tidak kenal dengan Google.
Mesin pencari ini merupakan salah satu mesin pencari “top” saat ini. Mengalahkan
pesaing-pesaingnya. Silakan cek search
engine yang lain. Wajar jika akhirnya beberapa pengguna internet
menyematkan kata “Kiai,” di depannya. Karena anggapan bahwa Google mampu
menjawab “hampir” semua pertanyaan.
Beberapa bulan yang lalu, seorang
mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta marah pada saya. Tepatnya
tersinggung dengan ucapan saya, perihal saya menyebutnya dengan “Sarjana
Google.”
Ya, saya menyebutkan kalimat itu
sebagai bentuk gurauan saja. Meskipun kelihatannya yang bersangkutan
menganggapnya sebagai sebuah sindiran. Tapi jujur itu adalah sebuah wacana yang
sengaja saya kemukakan padanya. Pertanyaan saya yang sampai saat ini belum bisa
saya jawab adalah;
Apakah google bisa membedakan mana
yang benar dan mana yang salah?
Mohon digaris bawahi pertanyaan saya
itu. Sejauh yang saya ketahui. Google menggunakan sistem pencarian melalui
rating klik terbanyak. Maka secara otomatis sebuah situs atau sebuah blog akan
mendapatkan tampilan depan dalam “pencarian,” jika situs atau blog tersebut
diakses banyak orang.
Saya teringat sebuah kalimat yang
diucapkan Hitler. “Kebohongan yang kau ulang beratus-ratus kali, akan menjadi
sebuah kebenaran.” Secara detilnya saya lupa kalimat itu. Tapi kurang lebih
maknanya serupa dengan itu.
Well. Anggap saja anda seorang peretas
(hacker) yang canggih. Punya sebuah komunitas ternama di dunia maya. Kemudian dengan
segala trik anda mengotak-atik, Search Engine Optimizer. Anda melakukan
konspirasi untuk mulai mengubah nilai-nilai yang dianggap benar oleh dunia
maupun agama. Tingginya ketergantungan seseorang dengan internet kian hari kian
menakutkan. Orang rela berjibaku dengan jejaring sosial sehingga mengabaikan
keluarganya. Orang mulai lupa membaca kitab suci dan menggantikannya dengan
ayat-ayat yang begitu mudah dicomot dari internet, tanpa terlebih dulu menelaah
dan membaca tafsir serta takwilnya.
Bayangkan sebuah kekacauan yang bakal
terjadi, anggap saja sebuah gerakan anti agama menguasai google selama beberapa
dekade. Dan mengubah paradigma masyarakat tentang sebuah kebenaran.
Apakah saya terlalu naif? Bisa jadi.
Apakah saya terlalu paranoid? Bisa juga benar. Tapi, saya hanya mau menggaris
bawahi satu hal; Bahwa Google menunjukkan jawaban terbanyak dari sebuah
pencarian. TANPA terlebih dahulu menyeleksi apakah berita itu benar atau salah.
Sepagi tadi, sehabis subuh. Saya mencoba
tidur kembali. Badan saya agak meriang. Sambil berbaring, saya mendengarkan
teman saya yang sedang asik dengan tilawah Qur’annya. Entahlah ketika tiba-tiba
saya rindu sekali dengan bacaan itu. Sebuah bacaan yang dulu sering kami baca
bersama-sama di surau kecil di kampung saya. Dengan pelan dan terbata-bata. Tapi
rasa-rasanya bacaan itu seperti pisau yang menyanyat-nyayat ulu hati saya.
Barangkali sudah terlalu lama saya
bergelimang dalam kekotoran. Bukankah di sampul kitab itu tertulis. Jangan
menyentuh kecuali dalam keadaan suci. Atau jika saya ubah redaksinya menjadi
makna; Barangkali kesucian hati seseoranglah yang membuat makna dari ayat-ayat
itu yang bisa memahamkan seseorang. Qur’an hanya menyentuh orang-orang yang
hatinya bersih. Duh... rasanya saya begitu kotor sekali.
Teks boleh sama. Bunyi boleh sama. Tapi
soal makna dan penafsiran seseorang bisa berbeda. Tergantung dari tingkat
pengalaman dan perjalanan spiritualnya.
Lho, kok saya jadi ngelantur
ngomongnya. Sebagai penutup saya hanya akan mengatakan. Marilah kita dudukkan
Google pada tempatnya. Dia bukan Tuhan. Dia bukan Kiai. Dia hanya alat bantu. Pedang
itu tergantung siapa yang memegangnya. Dia bisa jadi baik atau buruk tergantung
pemakainya.
Sekian. Dung...!