Social Icons

Halaman

29 Mei 2013

Menurunkan Derajat Google



“Teruslah mencari. Dan teruslah bertanya, meskipun kau telah menemukan jawabannya. Nanti kau akan menemukan pemahaman yang berbeda.”

Siapa yang tidak kenal dengan Google. Mesin pencari ini merupakan salah satu mesin pencari “top” saat ini. Mengalahkan pesaing-pesaingnya. Silakan cek search engine yang lain. Wajar jika akhirnya beberapa pengguna internet menyematkan kata “Kiai,” di depannya. Karena anggapan bahwa Google mampu menjawab “hampir” semua pertanyaan.

Beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta marah pada saya. Tepatnya tersinggung dengan ucapan saya, perihal saya menyebutnya dengan “Sarjana Google.”

Ya, saya menyebutkan kalimat itu sebagai bentuk gurauan saja. Meskipun kelihatannya yang bersangkutan menganggapnya sebagai sebuah sindiran. Tapi jujur itu adalah sebuah wacana yang sengaja saya kemukakan padanya. Pertanyaan saya yang sampai saat ini belum bisa saya jawab adalah;

Apakah google bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah?

Mohon digaris bawahi pertanyaan saya itu. Sejauh yang saya ketahui. Google menggunakan sistem pencarian melalui rating klik terbanyak. Maka secara otomatis sebuah situs atau sebuah blog akan mendapatkan tampilan depan dalam “pencarian,” jika situs atau blog tersebut diakses banyak orang.

Saya teringat sebuah kalimat yang diucapkan Hitler. “Kebohongan yang kau ulang beratus-ratus kali, akan menjadi sebuah kebenaran.” Secara detilnya saya lupa kalimat itu. Tapi kurang lebih maknanya serupa dengan itu.

Well. Anggap saja anda seorang peretas (hacker) yang canggih. Punya sebuah komunitas ternama di dunia maya. Kemudian dengan segala trik anda mengotak-atik, Search Engine Optimizer. Anda melakukan konspirasi untuk mulai mengubah nilai-nilai yang dianggap benar oleh dunia maupun agama. Tingginya ketergantungan seseorang dengan internet kian hari kian menakutkan. Orang rela berjibaku dengan jejaring sosial sehingga mengabaikan keluarganya. Orang mulai lupa membaca kitab suci dan menggantikannya dengan ayat-ayat yang begitu mudah dicomot dari internet, tanpa terlebih dulu menelaah dan membaca tafsir serta takwilnya.

Bayangkan sebuah kekacauan yang bakal terjadi, anggap saja sebuah gerakan anti agama menguasai google selama beberapa dekade. Dan mengubah paradigma masyarakat tentang sebuah kebenaran.

Apakah saya terlalu naif? Bisa jadi. Apakah saya terlalu paranoid? Bisa juga benar. Tapi, saya hanya mau menggaris bawahi satu hal; Bahwa Google menunjukkan jawaban terbanyak dari sebuah pencarian. TANPA terlebih dahulu menyeleksi apakah berita itu benar atau salah.

Sepagi tadi, sehabis subuh. Saya mencoba tidur kembali. Badan saya agak meriang. Sambil berbaring, saya mendengarkan teman saya yang sedang asik dengan tilawah Qur’annya. Entahlah ketika tiba-tiba saya rindu sekali dengan bacaan itu. Sebuah bacaan yang dulu sering kami baca bersama-sama di surau kecil di kampung saya. Dengan pelan dan terbata-bata. Tapi rasa-rasanya bacaan itu seperti pisau yang menyanyat-nyayat ulu hati saya.

Barangkali sudah terlalu lama saya bergelimang dalam kekotoran. Bukankah di sampul kitab itu tertulis. Jangan menyentuh kecuali dalam keadaan suci. Atau jika saya ubah redaksinya menjadi makna; Barangkali kesucian hati seseoranglah yang membuat makna dari ayat-ayat itu yang bisa memahamkan seseorang. Qur’an hanya menyentuh orang-orang yang hatinya bersih. Duh... rasanya saya begitu kotor sekali.

Teks boleh sama. Bunyi boleh sama. Tapi soal makna dan penafsiran seseorang bisa berbeda. Tergantung dari tingkat pengalaman dan perjalanan spiritualnya.

Lho, kok saya jadi ngelantur ngomongnya. Sebagai penutup saya hanya akan mengatakan. Marilah kita dudukkan Google pada tempatnya. Dia bukan Tuhan. Dia bukan Kiai. Dia hanya alat bantu. Pedang itu tergantung siapa yang memegangnya. Dia bisa jadi baik atau buruk tergantung pemakainya.

Sekian. Dung...!

27 Mei 2013

Pada Suatu Masa



Banyak orang yang memilih menjadi rumput. Padahal dia adalah sebatang kayu jati yang menyaru diri. Kenyataannya dia memilih untuk meruduk dari pada mendongakkan dahi. Semua butuh proses. Dan itu tak cukup hitungan hari.

Beberapa orang bahkan dengan angkuhnya berani berkata, “Hidup itu tak semudah cocote, Mario Teguh.” (cocote= bibir, dalam bahasa jawa kromo kasar. Biasanya digunakan untuk makian). Baik. Silakan saja anda yang setuju dengan kalimat itu. Tapi paling tidak, itu hanya nada sumbang yang sebentar lagi akan tumbang. Nada sumir lagi nyinyir yang sebentar lagi akan tersingkir.

Kualitas kata, kalimat atau orasi itu tidak hanya terletak pada susunan kata saja. Ada unsur penting lainnya, siapa yang bicara. Saya bukan penggemar berat pak Mario. Suka dalam taraf wajar saja. Kagum? Dulu pernah, sekarang? Biasa saja.

Liburan kemarin, tanggal 25-26. Saya mendapatkan kebahagiaan. Besar dan kecilnya kebahagiaan itu saya tak bisa mengukurnya dengan angka pasti. Saya diajak seorang teman, jalan-jalan ke gunung Gede. Hehe... ada kabar yang menyengat nalar saya, “Gretongan alias gratis.”

Well, selama ini saya biasanya jalan ke beberapa daerah dengan menggunakan fasilitas umum. Kadang naik kereta atau bis. Yang pasti saya adalah orang yang jumlah kekayaannya bisa anda lihat dari pakaian yang saya kenakan. Dalam kata yang sederhana; Gembel. (Ya, Tuhan ini cuma guyonan saja, tak bermaksud sama sekali meniadakan nikmatMu).

Seperti pribahasa jawa, “kadyo kere munggah bale.” Seperti kere naik ambin/tempat tidur. Pulang pergi dari check poin menuju source point menggunakan mobil pribadi. Sampai di Cibodas kami mampir ke rumah Bu Yanti. Semoga tambah berkah ya Bu... :D (*. Pasang muka ngarep diajak gratisan lagi). Kami berangkat dari Sunter jam 22:00, sampai di villa jam 00:00. Ngobrol ngalor-ngidul. Kemudian tidur.

            Banyak hal menarik yang sebenarnya ingin saya tulis. Tapi saya lagi ingin egois. Ingin menyimpannya sendiri dalam kepala saya. Paling tidak beberapa hal itu menjadi pelajaran berharga bagi saya.

            Saya memang tak berharap banyak untuk sampai puncak. Itu sudah menjadi azzam awal ketika saya menyatakan bersedia ikut dalam rombongan. Saya memilih menunggu di Kandang Badak. Merapikan tenda. Menghangatkan badan sambil menggoreng chicken nugget. Sambil terus merenungi diri. Membaca diri selama dalam perjalanan.
           
            Dulu seorang kawan saya mengajarkan saya tentang altruisme. Apa itu altruisme? Silakan cari lewat kiai google. Saya salut dengan empat perempuan, yang tangguh-tangguh. “Biasanya” dalam tanda kutip ya. Perempuan yang suka naik gunung itu seperti perempuan dalam cerita film jagoan. “keberadaannya seringkali menyusahkan.” Itu kata teman saya. Maksudnya begini. Dalam film-film laga. Ketika sang jagoan sedang di atas angin, tiba-tiba muncul seorang musuh bebuyutan menyandra si cewek. Wis... pokoknya yang begitu-begitu deh. Tapi, persepsi saya terjungkir balik dengan empat perempuan yang saya sebutkan di atas. Meski njungkirnya ya nggak 180 derajat. Paling tidak persepsi saya tentang perempuan dalam film laga itu sedikit saya kurangi kadarnya.

Saya Juga bangga satu bapak-bapak yang dipanggil dengan “Ayah.” Meski badannya tergolong tambun. Usianya juga sudah tak bisa dibilang muda lagi. Juga Bang Onay, sang driver yang cuma tidur beberapa jam saja. Karena tugasnya mengemudi. I’m proud of you guys... (Mudah-mudahan bener)

Dulu pertama kali saya naik gunung ya ke gunung ini. Sempat ikut mengevakuasi tiga orang yang kena hipotermia di bawah Alun-alun Surya Kencana. Jadi kalau kali ini saya nggak sampai puncak juga nggak masalah. Sudah pernah. Jadi kalau ada yang masih berani bilang, “hidup itu tak semudah cocote, Mario Teguh.” Tolong dikaji ulang, diresapi lagi. Saya yakin bahwa Pak Mario dengan entengnya mengucapkan mantra-mantra saktinya itu, pasti punya alasan kuat. Setidaknya pasti pernah melewati apa yang anda gumamkan itu. “kepernahan” itulah yang membuat seseorang tidak “gumunan,” tidak kagetan, tidak katrok terhadap sesuatu.

Kebahagiaan itu tak selamanya ketika kita berhasil mendapatkan sesuatu. Tapi kebahagiaan itu bisa jadi karena kita menjadi jalan bagi orang lain untuk meraih sesuatu itu.

Terima kasih Tuhan, terima kasih Bu Yanti, Mbak Neneng, Mbak Yanti, Nufi, Bang Onay dan “Ayah.” Terima kasih atas keramahan kalian. Terima kasih atas pelajaran hidup yang kalian berikan. Life must go on. Kalau nggak cepet-cepet go berarti kalian oon. :D

Sebagai penutup, saya takjub dengan sebuah tulisan yang sempat saya ingat. Sebuah quote yang tercetak rapi dalam sebuah pameran lukisan di Taman Ismai Marzuki. Quote itu berbunyi:

“Sebuah negara tidak akan pernah kehilangan pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan.” (sir henry dunant).

Sekian! Cusss...



24 Mei 2013

Cinta Adalah...



Kutitipkan Jakarta padamu. Sejenak akan kutinggalkan riuhnya. Aku bosan dengan kemunafikanya. Biarlah politisi sibuk berdebat dengan segala persoalannya. Ke gunung aku akan pergi merenung. karena yang tampak di kota hanya kepalsuan. Senyum, simpati dan iba yang penuh kamuflase

Aku titipkan janda-jandaku yang tak pernah kutalak. Istri-istri yang tak pernah bersuami. Karena tiap malam suaminya selalu berganti.

Beberapa hari ini aku sedang senang bermonolog. Salah satu monologku adalah sebuah kalimat, "Di jalan dakwah, aku akan menikah." aku terus googling, pakai google map, nyari jalan dakwah itu di Jakarta timur atau Jakarta selatan. Nggak ketemu. ternyata kecerdasan spasial saya memang jelek. :D
         
Lagi, aku tergelitik dengan kata syar’i. Aku ini manusia cap apa?  aku sendiri tidak tahu. Yang aku tahu kalau islam itu ya sholat. Bagiku sholat itu kewajibannya orang yang ingat. Orang yang sadar. Bukankah kitab suci mengajarkan jangan pernah kau dekati sholat dalam keadaan mabuk. Pertanyaanku, rasanya tak pernah sekalipun aku sholat dalam keadaaan ingat Tuhan. Yang sering kuingat adalah pekerjaan yang masih menumpuk, perut lapar, mimpi-mimpi yang berlum tercapai.

Ingat sih, paling pas takbiratul ihrom. Selebihnya Tuhan hilang dalam rukuk, dalam sujud.

Ke gunung aku akan bertanya. Tentang cinta. Aku percaya. Bahwa, Tuhan menciptakan segala sesuatu itu tak ada yang sia-sia. Bahwa, setiap benda punya makna.

“Belajarlah membaca kitab basah.”

“Kitab basah itu apa, Mas?”
“Asal kau rajin mencari, suatu hari kau akan menyadarinya.”

            Aku tinggalkan kitab basah dengan teka-tekinya. Beberapa update status di timelineku beberapa hari ini cukup menggoda imanjinasiku. Banyak yang sekedar copy paste. Ada juga yang serius bicara tentang cinta. Ah, lagi-lagi tentang cinta. Jangan pernah tanya padaku apa itu cinta. Cinta sendiri adalah ayat Tuhan yang sepertinya takkan habis digali dan ditafsiri.

            Cinta barangkali adalah ayat yang mutasyabihat. Seringkali menimbulkan perdebatan yang hebat. Seringkali menimbulkan multi tafsir.

            Cinta sebenarnya adalah cerita usang. Namun tetap saja menarik dari masa ke masa. Bukan karena ceritanya yang itu-itu saja. Tapi lebih karena “pencerita” skenarionya yang luar biasa. Seperti komedian yang bercerita dua puluh kali dengan cerita yang sama. Pada kesempatan yang berbeda kita tetap saja terbahak-bahak.
           
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
           
            Kata Sapardi, mencinta itu seperti itu. Sederhana. Sesederhana masakan di warteg dekat kontrakanku. Masakannya itu-itu saja.
           
            Jangan tanya definisi cinta padaku. Bagiku cukup para penyair dan pencipta lagu yang menjelaskannya padamu. Bertanyalah pada mereka. Barangkali mereka lebih fasih. Begitu saja. Hidup itu enjoy saja kaya iklan rokok. Jangan dibuat rumit.


18 Mei 2013

Paradigma Kamera



Negara saya adalah Jawa, pulau saya adalah Indonesia. Agama saya adalah partai dan Islam adalah madzhab saya. Begitu paradigma yang ada. Jungkir balik antara fakta dan fiktif. Antara imajinasi dan kenyataan. Kita rela ngotot untuk hal yang kita sendiri masih berprasangka di dalamnya. Pun jika kita benar-benar tahu bahwa yang kita bela ternyata salah, “pokoknya” terlanjur cinta, mau bilang apa?
Kepala kita jadikan kaki. Sendal kita cium dan kita letakkan di atas kepala. Padahal kita tahu bahwa sendal tadi habis kita pakai dan kita tak sengaja menginjak “telek lencung,” tahi ayam.

“Itu kan oknum.”

Ya, kita seperti seorang udik yang digambarkan Rumi. Kita bangga dengan seekor naga yang membeku dalam balok es. Kita bawa naga itu ke tengah kota. Kita elu-elukan. Kita pamerkan ke segala penjuru. Bahwa kita mampu menaklukkan naga itu. Nyatanya setelah sampai ditengah kota, batu es itu mulai mencair. Naga terbangun, menggeliat, dan mengamuk, baru setelah semua terlambat, Kita baru tersadar.

“Pokoknya partai saya paling bersih.”
“Itu politik konspirasi.”
“Mbel gedes.”
“Kentut bau.”

Kita ini kan orang kecil. Selama ini kita cuma jadi alat. Cuma diperalat. Orang yang kita agung-agungkan, yang kita coblos itu, adalah orang yang pertama kali mengusir kita dari jalan raya. Ketika barikade polisi bermotor gede datang membunyikan sirinenya. Yang kecil minggir. Pejabat itu kan manusia yang nggak pernah akrab sama macet. Kalau pun mereka bicara soal kemacetan. Barangkali itu mereka yang dulu, sebelum jadi wakil rakyat.

Demonstrasi itu kan artinya unjuk rasa. Sedang demokrasi itu artinya unjuk kuasa. Kalau pun sebentar lagi didengungkan pesta rakyat. Lha selama ini kita kan cuma dapat resaknya. Dapat sampahnya. Kita cuma dapat bagian bersih-bersihnya. Kue dan penganan-penganan di atas meja telah ludes di
bagi-bagi. Mau apa? Masih mau “ngising” harapan?

Tempatnya orang-orang kecil itu kan nyelip. Kadang disempil-sempilkan di dalam ketek. Kadang diinjek-injek seperti sendal jepit. Kapan kita belajar? Kalau dari tahun ke tahun lakonnya sama. Manusianya beda. Tapi tingkah polahnya sama saja. Lha yo... mending mari kita beres-beres pekarangan. Nyangkul di sawah, atau menyiangi rumput di halaman depan.

Dunia kita bukan dunia di dalam layar kaca. Dunia kita bukan dunia manipulatif di dalam kamera. Dunia kita lebih luas dari itu semua. Dus!
 



 
 
Blogger Templates