Siang ini, tiba-tiba saja saya kangen
dengan Pram. Sudah lama sekali saya tidak membaca karyanya. Tentu karena alasan
klasik. Susah menemukan beberapa judul buku yang tidak diterbitkan lagi dengan
alasan ini itu. Tadi malam, saya ngobrol dengan seorang cerpenis (Ikal Hidayat).
Dari obrolan ngalor-ngidul itu saya jadi ingin menulis. Salah satunya perihal
perempuan-perempuan yang “diciptakan” Pramoedya Ananata Toer.
Mungkin sudah dua tahun lebih saya
tidak membaca karya Pram. Buku terakhir yang saya baca adalah “Jalan Raya Pos”
(Tidak selesai). Sebelumnya saya membaca “Cerita Calon Arang.” Beberapa alasan
kenapa saya sampai saat ini mengagumi sosok Pram, adalah karakter-karakter yang
diciptakannya begitu kuat. Dan satu tokoh perempuan yang sampai saat ini
membuat saya jatuh hati adalah “Nyai Ontosoroh.” Saya menemukan sebagian kecil karakter
Ibu saya yang melekat pada diri Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh adalah seorang
gadis pribumi yang menikah dengan orang Belanda. Selama menjadi istri, (dalam
bahasa sebenarnya istri simpanan, selama Tuan Mellema tinggal di Indonesia)
Nyai adalah gelar yang disematkan
kepada seorang perempuan yang “dinikahi” oleh orang Belanda berpangkat. Selama
menjadi “Nyai” inilah Ontosoroh belajar. Bertransformasi. Dari perempuan
pribumi kebanyakan, yang pemalu, pendiam, tumbuh menjadi seorang perempuan yang
merdeka, gemar membaca buku, majalah berbahasa Belanda, diskusi dengan suaminya.
Konflik yang diolah Pram begitu indah. Bagaimana Nyai Ontosoroh bangkit dari
cemoohan masyarakat waktu itu. Kemudian meneruskan kembali usaha alm suaminya.
Tapi sayangnya darah kemandirian itu tidak tumbuh pada diri Annelis, buah cinta
Nyai Ontosoroh dengan suaminya. Annelis tumbuh menjadi sosok gadis cantik.
Layaknya gadis idaman kebanyakan pria dan wanita sekarang. Rupawan. Dengan darah
campuran Indonesia dan Belanda, tentunya bisa dibayangkan bagaimana wajah noni
Annelis. Jika salah satu tetralogi Buru difilmkan
Maaf kalau sebagian Pramis (Sebutan
penggemar dan ‘anak ideologis’ Pram) tidak setuju dengan pendapat pribadi saya
ini. Bagi saya sosok Annelis itu adalah sebuah dilema. Perpaduan dua budaya.
Antara Eropa dan Pribumi. Sayangnya Annelis tumbuh menjadi gadis yang rapuh.
Dan sangat mengharukan ketika adegan di mana Annelis harus di bawa ke Belanda.
Karena hukum yang berlaku saat itu. Akibat dari kematian Tuan Mellema.
Sepanjang perjalanan. Di dalam kapal. Annelis dideskripsikan secara menyedihkan
oleh Pram. (Bahkan digambarkan dengan ngompol dan berak di tempat_ Semoga ingatan
saya tidak salah. Karena saya sudah lama tidak membaca tetralogi Buru).