Social Icons

Halaman

13 Jun 2016

Mengintip Surga di Pantai Utara Jakarta (Review Hutan Mangrove Angke)



Sabtu masih prematur bagi beberapa Pegawai Negeri Sipil. Berbekal google map aku meyakinkan istriku. Meskipun aku sendiri belum yakin seratus persen. Setidaknya aku pernah melewati sebagian jalan menuju tempat yang dimaksud. Tak sampai ujung. Paling tidak mendekati.

Niat membayar hutang. Menjelang puasa. Di penghujung bulan Sya’ban. Biar tuntas segala beban. Dulu, aku pernah berjanji akan mengajak istriku ke beberapa tempat. Tak melulu tempat mahal. Mestinya dia bisa mengukur kedalaman saku suaminya. Malangnya, tempat yang murah pun sering terlewat. Untungnya dia tidak banyak protes. Tapi entahah, bisa jadi disimpan di kedalaman hatinya. ^-^

Kami berangkat ketika matahari menebar harapan. Berangkat dari rumah kami di Pulo Jahe, Pulogadung. Baru dua puluh menit, perjalanan kami dihentikan paku yang menancap ban belakang sepeda motor. Benar-benar paku yang punya “keisengan” luar biasa. Ia telah lancang. Berada di tempat tak semestinya. Menembus dua lubang sekaligus. Tak jauh dari kejadian tukang tambal ban berdiri seperti nabi yang ditunggu-tunggu pertolongannya. Sekira lima belas menit kemudian kami melanjutkan perjalanan. Melewati pasar Pramuka - Senen - Gunung Sahari kemudian belok kiri melewati  jalan Pangeran Jayakarta. Sesekali tersendat di Teluk Gong, macet di Kapuk, kemudian terus mengikuti arah papan bertuliskan Taman Wisata Mangrove - Angke.

Sejauh dua atau tiga kilometer sebelum gerbang utama. Setelah tikungan penanda. Gapura-gapura mewah padang golf menyambut. Aku melirik papan nama lapangan golf yang ditawarkan Feni Rose dalam sebuah program investasi, salah satu stasiun televisi swasta yang menggeser kebahagiaan anak kecil di hari minggu. Papan nama berdarah yang menjungkalkan Dodit Mulyanto. Komika yang identik dengan Biola di tangannya. Berderet papan-papan iklan berisi angka-angka menggiurkan para marketer. Diskon harga. “Hanya” sekian puluh juta. Tak lupa diekor kalimat disematkan tanda bintang kecil (*). Mengikuti keterangan di bawahnya. Syarat dan ketentuan berlaku. 

 Melewati padang golf. Sepanjang jalan. Kanan - kiri ditanami gedung - gedung bertingkat. Atap berupa kubah. Khas gaya klasik Spanyol. Kubah karya megah Michael Angelo. Lampu-lampu led berjalan membentuk kalimat berjalan. Papan-papan nama bertuliskan bahasa asing. China, Korea, Jepang, Thailand, juga tak luput dalam bahasa Inggris. Tempat tongkorongan pangeran, cukong, bisnisman, orang tajir, penjahat dan pejabat. Eh... Yang terakhir abaikan saja.

Di tikungan terakhir. Berdiri Agung. Megah nan mewah. Berbaju keramik warna abu-abu metalik. Bagunan itu mirip gedung parlemen atau sebenarnya lebih mirip dengan gedung-gedung  yang sering terlihat dalam film Jepang atau drama Korea. Gedung agung itu merupakan komplek gedung pendidikan Yayasan Budha Tzuchi.

Gapura penjualan tiket Taman Wisata Alam (TWA) tak begitu mencolok. Hampir tertutup rimbun dedaunan. (Aku tak berhasil mengabadikan dengan kamera karena terhalang  oleh cahaya Matahari). Kontur tanah yang agak menurun menjadikan tempat itu tak begitu menonjol. Bukan tempat yang bisa menimbulkan daya pikat, jika hanya sembari lewat. Kalah telak dengan bangunan sebelumnya yang terpampang lebih “wah”. Tiket masuk per-orang dikenakan Rp.20.000; untuk motor Rp.5.000; biaya PMI Rp.5.000; (untuk biaya terakhir ini aku tidak sempat melihat karcis. Kemarin aku bersama istriku dan satu motor dikenakan biaya HTM sebesar Rp. 55.000;)

HTM terjangkau.

Dari pintu utama, pemandangan masih terasa biasa. Terlebih kami disuguhi jalan berupa susunan batu paving blok yang ambles di beberapa lajur jalan. (permukaan tanah yang dekat dengan pantai tentu mempunyai kandungan air lebih banyak. Lembek dan mudah ambles jika terkena hujan sedikit saja.) Pengelola menyiasati dengan menutupi beberapa lembar baja tebal. Selebar triplek. Parkir motor masih berupa tanah berkerikil. Untuk parkir mobil lebih baik kondisinya. 

Tempat parkir luas. Jangan khawatir kehabisan tempat.


Kejutan itu datang setelah melewati pos pemeriksaan karcis (Di sini diperiksa bawa makanan, Kamera digital, SLR atau tidak. Karena untuk pemotretan prewedding atau keperluan lain dikenakan biaya sendiri).  Angin sejuk hadir membelah wajah. Udara segar memompa paru-paru. Hamparan luas dedaunan. Hijau. Teduh. Indah. Suara burung bersahut-sahutan. Terbang rendah saling berkejaran. Gemericik lembut air digoyang  angin. Ombak-ombak kecil. Bergulung, pecah di tepian. Ikan-ikan berenang dalam barisan teratur. Pemandangan itu nampak seperti sebuah harta terpendam, atau seperti istana yang disembunyikan keberadaannya oleh pemiliknya.
 
Di bawah naungan payung :D
Apakah ini benar-benar di Jakarta? Aku meyakinkan diri untuk ke sekian kali. Tapi tidak dengan cara mencubit pipi seperti dalam dongeng. Akal sehatku masih sedikit waras untuk sekadar membedakan mimpi, imaji, dan hakiki. Konsep back to nature kental sekali. Hampir seluruh bangunan, gazebo, bangku-bangku peristirahatan, tangga, jembatan terbuat dari kayu dan papan-papan yang tersusun rapi. Paduan khas warna coklat, aroma rumah kayu menghipnotis penghidu dan kepala. Deretan tetumbuhan kanan kiri sepanjang area.

Kalau tersesat? Katakan, "Peta!"


Denah rencana pembangunan TWA dan sekitarnya



TWA menawarkan empat kategori wisata
1.      Berkemah (Wisata Alam, Out Bond, Pemotretan, Penelitian)
2.      Penginapan (Pondok Alam, Berkemah dengan pondok Permanen, Berkemah dengan tenda)
3.      Wisata Air (Kano, Perahu, Speed boat)
4.      Konservasi (Penanaman Mangrove, Penanaman nostalgia) Untuk penanaman nostalgia ini mungkin dengan cara menanam hidup-hidup mantan atau orang-orang yang menyebalkan dalam kehidupan anda sebelumnya. :D. Hehe... (bercanda tauk... )


Sesaat setelah mengambil foto Bumil di bawah payung-payung cantik. Aku berkeliling lokasi. Tujuan utamaku adalah sebuah menara pengintai. Kuperkirakan setinggi tujuh meter. Aku naik sendiri. Bumil kutinggal di bawah. Dia duduk di sebuah bangku panjang beratap jerami. Dari atas aku mengamati rerimbun daun bakau menghampar seluas mata memandang. Gedung megah Yayasan Budha Tzuchi, laut, juga crane-crane dan gedung-gedung berwarna krem. Entah itu hotel, ruko atau apartemen. Pulau-pulau itulah yang selama ini diperdebatkan di televisi. Jembatan-jembatan putih melengkung, mobil, dan truk yang terlihat seperti semut bergerombol.


Pondok permanen diambil dari menara pengintai


Panggung dilihat dari menara 

Hijau negeriku


Bumil pose di depan pondok berada di atas air

Banyak titik-titik yang menjanjikan untuk berselfie ria. Luasnya area menjadikan kami berhenti beberapa kali. Banyak gazebo di kiri kanan jalan. Sejuk dan rindang menjadi nilai tersendiri. Jika ingin berwisata air, anda bisa menyewa speed boat atau kano yang tersedia. Biaya sewa per orang Rp. 50.000;. Di sudut lain di sela-sela Mangrove anda bisa menyaksikan banyak tanaman buah. Mulai dari jambu air, buah naga, pepaya, cabe, tomat, mengkudu, pisang, juga aneka tumbuhan obat-obatan.
Metik sekilo juga lumayan. Hehe...

Mengkudu alami. Yang ekstrak beli aja di apotek. ;D


Beberapa bagian wisata masih dalam tahap pengembangan. Taman Wisata Alam Angke, wisata hutan mangrove berpadu dengan wisata pantai bisa anda jadikan tempat pilihan lain. Jika anda bosan dengan wahana dan pantai Ancol, tak ada salahnya anda menunggu maghrib di sana.


Tips dan trik.

1.      Jangan bawa masa lalu. Bawalah uang secukupnya karena itu lebih berguna selama perjalanan. :D
2.      Hindari membawa kamera digital, SLR, drone atau kamera berresolusi tinggi. Ada tarif tersendiri jika anda ingin melakukan foto untuk majalah atau prewedding.
3.      Khusus jomblo. Bawalah selalu teman (biar asik hidup lo. Karena wisata berjamaah itu lebih utama dari pada wisata sendirian. :D)

Perahu aja berpasangan, masak kamu?

4.      (Untuk tips ini risiko ditanggung sendiri, ya... hehe...) Meski ada larangan membawa makanan, saran aku pribadi, silakan bawa makanan karena kantin di dalam menunya cuma dua macam. Untuk makanan berat, ada nasi goreng dan mie instan. Untuk cemilan dan minuman pilihannya lebih banyak. Untuk buah sebenarnya banyak tanaman buah yang ranum. Siap dipetik. Menggiurkan. Mengingat calon anak masa depan. Aku nggak tega juga untuk memetik. Padahal ada jambu hijau yang siap panen. Untungnya Bumil sudah dapat kiriman dari Istana Kunciran (Semoga Tuhan yang mengganjar kebaikan penghuninya dengan berkah berlimpah). Jadi niat untuk metik buah dapat terhindarkan. Masak anakku mau dikasih dari buah yang haram. Ecie... Haha... kok tiba-tiba jadi sok religius begini. Sayang sekali pohon yang berbuah dibiarkan begitu saja. Berjatuhan. Sebagian pohon cabe malah buahnya mengering di pohon. (Sayang sih sebenarnya. Mubazir. Katanya kesia-siaan itu temannya setan. Iya, kamu. Yang baca tulisan ini. Wkwkwkw...).


Teh pucuk, Lays. Bayar biaya iklan yak. Haha..
5.      Bawalah payung. Meskipun kanan kiri rimbun. Untuk akses menuju beberapa titik agak panas. Terlebih untuk jembatan atau arah pondok permanen yang di atas air.
6.      Tolong buang sampah pada tempatnya. Beberapa titik saya lihat tumpukan sampah berupa botol mineral.
7.      Hati-hati dan waspada jika tiba-tiba saja ada biawak melintas. Anggap saja hiburan tambahan.
 

Akses Transportasi

Menuju Halte Transjakarta Monas bisa via Transjakarta Blok M-Kota (Koridor 1) dan Pluit-Tanjung Priok (Koridor 2)
Tarif tambahan untuk BKTB Rp 3500 (jika turun di PIK), R 2500 (Jika turun sebelum PIK), Rp 6000 (jika naik dari PIK di luar halte Transjakarta). Biasanya ongkos tambahan diminta selepas Halte Transjakarta Bandengan.
Parkir
-Sepeda motor: Rp 5000
-Mobil: Rp 10.000
-Bus: Rp 50.000

Biaya Akomodasi
Tiket masuk
-WNI: Rp 25.000
-WNA: Rp 125.000
Foto prewedding Rp. 1.500.000; (tarif berlaku 1 April 2016)
Paket wisata menanam mangrove Rp 150.000
Paket menanam mangrove dengan papan nama instansi/ pribadi Rp 500.000
Sewa perahu
-6 orang: Rp 300.000 per perahu
-8 orang: Rp 400.000 per perahu
Sewa canoe/perahu dayung Rp 100.000 per 45 menit

Speed boat


Nggak ada lo, nggak asik.

Belajar nunggu momen. Eh, kelewat. Speed amunisinya terlambat

Nikung, Pir...

Kapan lagi ngerjain Bumil

Ngerjain part 2

Jembatan gantung. Asala jangan cinta yang digantung. :P

Arena bermain outbond anak.



Biaya sewa dan penginapan


Rumah Tenda (Camping Ground) di atas tanah: Rp 400.000/malam, max 2 orang 
fasilitas : kamar mandi luar, max 2 orang, makan pagi

Rumah Tenda di atas air tanpa AC (Rp 550.000/malam max 2orang)

fasilitas : kamar mandi luar, makan pagi
Rumah Tenda di atas air dengan AC (Rp 700.000/malam max 2 orang)
fasilitas : kamar mandi luar, Makan pagi


Pondok Alam

Villa Pondok Alam  Rhizophora 1,2,3 (Rp. 1.400.000/ malam kapasitas 4 orang)
fasilitas : 2 kamar tidur, 1 kamar mandi shower, Ruangan Ac, Makan Pagi  
 Villa Pondok Alam Avicennia (Rp. 1.600.000/ malam kapasitas 4 orang)
fasilitas : 2 kamar tidur, 1 kamar mandi shower, Ruangan Ac, Makan Pagi
Villa Pondok Alam Egreta 1,2,3 & 4 (Rp. 3.500.000/ malam kapasitas 6 orang)

fasilitas : 3 kamar tidur, 3 kamar mandi shower, Ruangan Ac, Makan Pagi
Villa Honeymoon Cottage (Rp. 5.500.000/ malam kapasitas 2 orang)

fasilitas : Ruangan Ac, Makan Pagi
Villa Pondok Alam Bertingkat Rhizophora 4 & 5 (Rp. 6.000.000/malam)

fasilitas : Ruangan Ac, Satu kamar diatas, meeting room dilantai bawah kapasitas 10-15 orang
Villa Pondok Alam Rhizophora 6&7 / Rumah Betang ( Rp. 7.000.000/malam kapasitas 20 orang)
fasilitas : 10 kamar, Ruang rapat dibawah, ruangan Ac



Sumber informasi tambahan mengenai rute lewat transportasi umum dan biaya sewa saya dapatkan di website.
karena website resmi punya TWA setelah aku akses domainnya dijual (mungkin tidak diperpanjang sewanya)
untuk informasi lebih lanjut tentang penyewaan silakan hubungi sendiri nomer pengelola TWA di :
Kantor:
Jl. Loka Indah 4B, Warung Buncit, Jakarta Selatan
Telp: 0811 – 804 – 579, 0815 – 8030 – 933
Fax: (021) 2903 – 3077

*. Mengenai biaya sewa silakan kroscek lagi ya. Sebagian aku hanya copy paste untuk memudahkan perkiraan anggaran biaya (harga bisa naik-turun). Untuk kebenaran informasinya silakan hubungi nomer yang tersedia.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates