Wajah gadis di depanku sepucat tahu. Sesekali jemarinya
menggaruk paha yang tak gatal. Kepalanya terus menunduk. Diam. Ruang hati dan
otaknya berkecamuk. Ribuan tanya dibongkar dari kedalaman batin. Meyakinkan
lagi keputusan lelaki yang ada di depannya.
“Kita tak perlu
membuktikan pada siapapun. Termasuk pada diri kita sendiri.”
Tirai jendela menari. Berdansa dengan angin di tepi kali.
Sore itu langit tersenyum sinis. Menawarkan kegetiran dalam bentuk yang lain.
Hening. Jarum jam tua berdetak tik-tok-tik-tok. Burung gereja terbang rendah di
atap. Di antara gelombang asbes. Menenggelamkan paruhnya di sela-sela bilah
kayu reng. Mengais, mencari lumut
atau sekedar biji-bijian yang terbawa sayap sang angin.
“Jadi kita pindahan lagi dong?”
“Iya, gak apa-apa.”
“Nanti gimana kata orang? Masak baru pidah dua minggu balik
lagi.”
“Tak semua omongan harus dihiraukan. Ada yang masuk di
telinga, di taruh di kepala sebentar. Ada yang disarikan ke hati, ada yang cukup
sepintas lalu, biarkan lewat seperti iklan. Masuk kuping kiri keluar kuping
sebelahnya.”
***
Mendung bersambut hujan deras. Tumpahan air memukul-mukul
asbes. Suara riak bercampur arus sungai yang membesar. Kami tidur di atas alas
karpet. Sungguh komik hidup ini. Seringkali Tuhan membuat lelucon yang tak
terduga. Tak jauh dari kamar yang kami sewa. Di lantai bawah. Teronggok spring bed ukuran jumbo. Kado dari
seorang sahabat. Katanya biar “aduhai” di malam pertama. Nyatanya kasur itu
gagal menepati takdirnya di karenakan pintu lorong tangga menuju kamar di
lantai dua terlalu sempit. Aku yakin kasur itu menagis semalaman karena gagal
menjadi saksi cinta purba.
Dalam kurun waktu satu purnama, kami telah tiga kali pindah
kontrakan. Jika memungkinkan pindah satu kali lagi, besar kemungkinan kami
mendapatkan hadiah gelas ganteng dari juragan empang. Dari sekoci kami merapat
pada lambung kapal. Tentu persoalan akan bertambah tak sekadar numpang
berteduh. Kami pikir tak mungkin ada matahari kembar dalam satu atap. Paradigma
itu kemudian bergeser tatkala seorang guru menitipkan pesan. “Ambil berkah yang
tercecer diekor peristiwa. Jangan ambil kesimpulan di kepala peristiwa.”
Tak banyak pasangan muda yang mau tinggal bersama orang
tuanya. Dengan berbagai alasan. Ingin mandiri. Ingin Bebas. Ingin menikmati
hidup baru. Dalam bahasa lain, tak ingin dunianya dicampuri oleh kedua orang
tuanya. Tepat di bagian kalimat terakhir berubah menjadi jarum. Besar. Panjang.
Mengilap. Tajam menusuk jantung. Dalam sekali. Jangan-jangan ini hanya sekedar
egoisme yang dibenar-benarkan. Dimaklum-maklumkan oleh hampir sejumlah pasangan
di dunia ini. Dalam bahasa yang lebih sederhana menolak untuk berbakti ketika
orang tua masih sehat. Itu yang paling menampar kesadaran.
Membagi kepala, membagi hati. Persoalan satu persatu muncul
dan tenggelam. Demi kedewasaan berpikir, bertindak dan mengambil sikap. Tuhan
menitipkan pil pahit bernama ujian. Sampai sejauh mana kita arif menyikapi itu
semua.
Adaptasi menjadi palang rintangan paling awal. Pencitraan
adalah topeng yang menjerat pasangan muda. Terutama bagi seorang menantu. Sungkan,
rikuh bin riweh harus dikikis. Tak ada yang lebih baik dari pada menjadi diri
sendiri. Tanggalkan semua pencitraan dan jadilah dirimu sendiri. Seburuk apa
pun sikap, kebiasaan, dan karaktermu itu adalah dirimu yang senyata-nyatanya.
Tak usah ditutup-tutupi. Justru semakin banyak kita bergaul dengan orang lain,
kekurangan kita akan semakin terlihat, disitulah Tuhan mengajarkan tentang
bagaimana mengubah perilaku. Orang lain adalah cermin bagi yang lainnya. Be your self menjadi resep utama dalam
kitab ayat-ayat bahagia hidup bersama mertua.
Tak ada menantu yang sempurna. Yang ada adalah mertua yang
menerima menantu apa adanya. Berlaku sebaliknya. Saling terbuka menjadi kunci
kedua. Komunikasi yang baik, saling menjajagi satu sama lain. Tak perlu
mengada-adakan sesuatu yang tak ada. Kebohongan itu seperti pasir hisap.
Semakin kau berusaha menutupi kebohongan satu dengan yang lain, semakin dalam
engkau akan terjebak dan tenggelam.
###
“Sampai detik ini aku tak mencintaimu. Aku juga tak bisa
menjanjikan apa-apa. Aku hanya bisa menjanjikan komitmen untuk hidup bersama.
Kalau mau nikah hayuk... Tapi kalau pacaran kayaknya enggak deh. Aku nggak mau
membuat wanita terluka untuk kedua kalinya.”
Kurang lebih seperti itu kalimat yang saya pakai untuk
“menembak” perempuan yang sekarang menjadi istri saya. Nggak ada
romantis-romantisnya. Malah di awal pertemuan kami, aku menceritakan mantan dan
beberapa nama yang pernah dekat denganku. Konon hal seperti itu tabu. Bisa
merusak hubungan di awal. Masa bodoh dengan semua itu. Bagiku kejujuran
merupakan tanah yang subur bagi sebuah hubungan.
Benih cinta bisa disemai, dipupuk, dirawat dan ditumbuhkan.
Tapi cinta tak selalu menjadi landasan dalam berumah tangga. Cinta bisa muncul
dan tenggelam, bahkan hilang sama sekali. Ketika perasaan itu memudar, komitmen
untuk hidup bersama menjadi lebih penting. Terdengar klise jika seorang artis
mengatakan, “sudah tidak ada kecocokan lagi di antara kami.” Tapi ya sudahlah,
itu pilihan orang lain.
###
Pelan-pelan aku mulai menyadari bahwa segala sesuatu di dunia
ini tak ada yang bisa kita pastikan jalan rencananya. Manusia boleh berencana,
Tuhanlah sebaik-baik pembuat rencana. Mungkin hampir setahun, bisa jadi lebih.
Aku tak bisa mengingat detil tanggal peristiwa. Aku hanya bisa mengingat pernah
berencana mengajak makan malam sekeluarga. Kesibukan menjaga dapur ngebul
menjadi kambing hitam yang paling klasik.
Berkat sebuah scene
drama Turki, Mama berseloroh. “Enak ya kalau sesekali makan di restoran.”
Kalimat itu jadi semacam alarm pengingat. Lalu kami membuat rencana kecil. Kami
ajak Bapak dan Mama pergi ke mall
terdekat. Bukan pilihan terbaik sebenarnya, mengingat jumlah tempat makan yang
tersedia. Efisiensi waktu menjadi alasan utama kami memilih tempat itu.
Sesampainya di rumah. Sepulang dari toko. Aku tersenyum geli
melihat ekspresi Mama yang mondar-mandir dari kamar mandi, dapur, kamar tidur.
“Mama nggak usah ikut
aja ya?”
Aku tahu, sudah menjadi hal biasa bagi seorang wanita
seusianya menjadi galau mendekati jam yang ditentukan. Simbok juga pernah
seperti itu. Paling susah kalau diajak makan di luar. Biasanya aku
menyiasatinya dengan membeli makanan di warung makan tertentu, dibungkus, lalu
dimakan bersama di rumah. Mengingat perempuan desa seangkatan Tomy J Pisa,
Titik Sandora seperti Simbok itu begitu mau diajak makan di luar, langsung
berubah jadi akuntan kelas dunia.
“Mama nanti pesen minum aja yak?”
“Iya... yang penting jalan dulu. Nanti tinggal lihat ada yang
enak nggak di sana. Kalau nggak ada ya balik lagi.”
Lima belas menit dari rumah. Kami sudah sampai di Buaran.
Kami berkeliling untuk memastikan selera Bapak dan Mama. Mama mungkin bisa
makan apa saja. Bapak tak mungkin kami ajak makan pizza, donut atau roti. Kami
memutuskan tempat makan yang cocok dengan madzhab angkatan Ratih Purwasih. Anak
muda ngikut aja selera orang sepuh.
Membiarkan Mama dan Bapak memilih menu sendiri, sudah pasti
seperti menunggu ulat jadi kepompong, Hehe... Lama. Aku membacakan menu yang
ada, lalu memilih ikan gurame asam manis, cah kangkung, cumi goreng mentega.
Untuk minumnya aku memesan jus alpukat, dan es kelapa muda. Mama masih pucat.
Lukisan canggung jelas tergurat di wajahnya. Bapak seperti lelaki Virgo di
seluruh dunia. Mudah beradaptasi.
“Ma, nanti kalau uangnya nggak cukup, KTP Mama yang ditinggal
yak?”
Mama tertawa, wajah pias itu sebentar kemudia memerah.
“Ya udah, nanti kalau nggak cukup, Mama aja yang ditinggal,
buat nyuci piring.”
“Haha...”
Kami berempat tertawa, suasana mencair seperti biasa.
Persoalan gugup melumer. Tak lama berselang menu yang kami pesan satu persatu
diantar. Sedetik ketika Bumil mencicip cumi goreng mentega, ekspresi wajahnya
kaku. Aku tahu Bumil lagi mencoba menelan makanan yang dicobanya.
“Pesan udang goreng tepung aja yak.”
Dia menjawab dengan anggukan kecil. Di atas meja itu aku
berubah menjadi karnivora ganas. Tak lama menu tandas satu persatu. Tersisa
duri dan tulang ikan saja. Sebenarnya bagi Bapak dan Mama tentu jumlah tagihan
tak menjadi masalah. (Wong gaji Mama aja lebih gede dari gajku. :D) Tapi
mengingat adat dan kebiasaan makan di luar merupakan tradisi yang tak lazim
bagi perempuan seangkatan Mama. Makan ya di rumah. Bisa masak sesuai selera.
Yang paling penting. MURAH. Bahan bisa beli di pasar Pulo Jahe. Sisanya kan
bisa ditabung buat naik haji. :D.
Kalau kebahagiaan bagi mertua itu ketika menantu dan anaknya
bisa memberangkatan ziarah ke tanah suci, membeli sebidang tanah untuk masa
tua, membelikan logam dan batu mulia, tentu kami sudah terdegradasi dari daftar
anak dan menantu yang berbakti. Kebahagiaan itu sederhana bagi kami. Bisa
membuat simpul huruf U di bibir keduanya. Melihat keduanya canggung. Saling
menatap satu sama lain. Menarik waktu ke masa lampau. Mengkhayalkan keduanya
sewaktu masih muda. Menyaksikan cinta membentuk prasasti kenangan. Usia menua.
Cinta harus terus dirawat dan dijaga. Salam.
Sudah sekian puluh tahun masih kaku aja. :D |
Bapak pura-pura sibuk baca sms. |
"Warung Pojok" Recomended buat acara makan malam keluarga. |
Jangan lupa berdoa sebelum tidur... eh, sebelum makan. |
Yang malu nggak dapet bagian betapa enaknya tulang ikan yang digoreng garing |
Biarkan perempuan berbicara dalam bahasa ibunya. |