Social Icons

Halaman

30 Mei 2016

Cinta Generasi Kedua



Wajah gadis di depanku sepucat tahu. Sesekali jemarinya menggaruk paha yang tak gatal. Kepalanya terus menunduk. Diam. Ruang hati dan otaknya berkecamuk. Ribuan tanya dibongkar dari kedalaman batin. Meyakinkan lagi keputusan lelaki yang ada di depannya.

 “Kita tak perlu membuktikan pada siapapun. Termasuk pada diri kita sendiri.”

Tirai jendela menari. Berdansa dengan angin di tepi kali. Sore itu langit tersenyum sinis. Menawarkan kegetiran dalam bentuk yang lain. Hening. Jarum jam tua berdetak tik-tok-tik-tok. Burung gereja terbang rendah di atap. Di antara gelombang asbes. Menenggelamkan paruhnya di sela-sela bilah kayu reng. Mengais, mencari lumut atau sekedar biji-bijian yang terbawa sayap sang angin.

“Jadi kita pindahan lagi dong?”
“Iya, gak apa-apa.”
“Nanti gimana kata orang? Masak baru pidah dua minggu balik lagi.”
“Tak semua omongan harus dihiraukan. Ada yang masuk di telinga, di taruh di kepala sebentar. Ada yang disarikan ke hati, ada yang cukup sepintas lalu, biarkan lewat seperti iklan. Masuk kuping kiri keluar kuping sebelahnya.”

***

Mendung bersambut hujan deras. Tumpahan air memukul-mukul asbes. Suara riak bercampur arus sungai yang membesar. Kami tidur di atas alas karpet. Sungguh komik hidup ini. Seringkali Tuhan membuat lelucon yang tak terduga. Tak jauh dari kamar yang kami sewa. Di lantai bawah. Teronggok spring bed ukuran jumbo. Kado dari seorang sahabat. Katanya biar “aduhai” di malam pertama. Nyatanya kasur itu gagal menepati takdirnya di karenakan pintu lorong tangga menuju kamar di lantai dua terlalu sempit. Aku yakin kasur itu menagis semalaman karena gagal menjadi saksi cinta purba.

Dalam kurun waktu satu purnama, kami telah tiga kali pindah kontrakan. Jika memungkinkan pindah satu kali lagi, besar kemungkinan kami mendapatkan hadiah gelas ganteng dari juragan empang. Dari sekoci kami merapat pada lambung kapal. Tentu persoalan akan bertambah tak sekadar numpang berteduh. Kami pikir tak mungkin ada matahari kembar dalam satu atap. Paradigma itu kemudian bergeser tatkala seorang guru menitipkan pesan. “Ambil berkah yang tercecer diekor peristiwa. Jangan ambil kesimpulan di kepala peristiwa.”

Tak banyak pasangan muda yang mau tinggal bersama orang tuanya. Dengan berbagai alasan. Ingin mandiri. Ingin Bebas. Ingin menikmati hidup baru. Dalam bahasa lain, tak ingin dunianya dicampuri oleh kedua orang tuanya. Tepat di bagian kalimat terakhir berubah menjadi jarum. Besar. Panjang. Mengilap. Tajam menusuk jantung. Dalam sekali. Jangan-jangan ini hanya sekedar egoisme yang dibenar-benarkan. Dimaklum-maklumkan oleh hampir sejumlah pasangan di dunia ini. Dalam bahasa yang lebih sederhana menolak untuk berbakti ketika orang tua masih sehat. Itu yang paling menampar kesadaran.

Membagi kepala, membagi hati. Persoalan satu persatu muncul dan tenggelam. Demi kedewasaan berpikir, bertindak dan mengambil sikap. Tuhan menitipkan pil pahit bernama ujian. Sampai sejauh mana kita arif menyikapi itu semua.

Adaptasi menjadi palang rintangan paling awal. Pencitraan adalah topeng yang menjerat pasangan muda. Terutama bagi seorang menantu. Sungkan, rikuh bin riweh harus dikikis. Tak ada yang lebih baik dari pada menjadi diri sendiri. Tanggalkan semua pencitraan dan jadilah dirimu sendiri. Seburuk apa pun sikap, kebiasaan, dan karaktermu itu adalah dirimu yang senyata-nyatanya. Tak usah ditutup-tutupi. Justru semakin banyak kita bergaul dengan orang lain, kekurangan kita akan semakin terlihat, disitulah Tuhan mengajarkan tentang bagaimana mengubah perilaku. Orang lain adalah cermin bagi yang lainnya. Be your self menjadi resep utama dalam kitab ayat-ayat bahagia hidup bersama mertua.

Tak ada menantu yang sempurna. Yang ada adalah mertua yang menerima menantu apa adanya. Berlaku sebaliknya. Saling terbuka menjadi kunci kedua. Komunikasi yang baik, saling menjajagi satu sama lain. Tak perlu mengada-adakan sesuatu yang tak ada. Kebohongan itu seperti pasir hisap. Semakin kau berusaha menutupi kebohongan satu dengan yang lain, semakin dalam engkau akan terjebak dan tenggelam.

   ###

“Sampai detik ini aku tak mencintaimu. Aku juga tak bisa menjanjikan apa-apa. Aku hanya bisa menjanjikan komitmen untuk hidup bersama. Kalau mau nikah hayuk... Tapi kalau pacaran kayaknya enggak deh. Aku nggak mau membuat wanita terluka untuk kedua kalinya.”

Kurang lebih seperti itu kalimat yang saya pakai untuk “menembak” perempuan yang sekarang menjadi istri saya. Nggak ada romantis-romantisnya. Malah di awal pertemuan kami, aku menceritakan mantan dan beberapa nama yang pernah dekat denganku. Konon hal seperti itu tabu. Bisa merusak hubungan di awal. Masa bodoh dengan semua itu. Bagiku kejujuran merupakan tanah yang subur bagi sebuah hubungan.

Benih cinta bisa disemai, dipupuk, dirawat dan ditumbuhkan. Tapi cinta tak selalu menjadi landasan dalam berumah tangga. Cinta bisa muncul dan tenggelam, bahkan hilang sama sekali. Ketika perasaan itu memudar, komitmen untuk hidup bersama menjadi lebih penting. Terdengar klise jika seorang artis mengatakan, “sudah tidak ada kecocokan lagi di antara kami.” Tapi ya sudahlah, itu pilihan orang lain.

###

Pelan-pelan aku mulai menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini tak ada yang bisa kita pastikan jalan rencananya. Manusia boleh berencana, Tuhanlah sebaik-baik pembuat rencana. Mungkin hampir setahun, bisa jadi lebih. Aku tak bisa mengingat detil tanggal peristiwa. Aku hanya bisa mengingat pernah berencana mengajak makan malam sekeluarga. Kesibukan menjaga dapur ngebul menjadi kambing hitam yang paling klasik.

Berkat sebuah scene drama Turki, Mama berseloroh. “Enak ya kalau sesekali makan di restoran.” Kalimat itu jadi semacam alarm pengingat. Lalu kami membuat rencana kecil. Kami ajak Bapak dan Mama pergi ke mall terdekat. Bukan pilihan terbaik sebenarnya, mengingat jumlah tempat makan yang tersedia. Efisiensi waktu menjadi alasan utama kami memilih tempat itu.
Sesampainya di rumah. Sepulang dari toko. Aku tersenyum geli melihat ekspresi Mama yang mondar-mandir dari kamar mandi, dapur, kamar tidur.

 “Mama nggak usah ikut aja ya?”

Aku tahu, sudah menjadi hal biasa bagi seorang wanita seusianya menjadi galau mendekati jam yang ditentukan. Simbok juga pernah seperti itu. Paling susah kalau diajak makan di luar. Biasanya aku menyiasatinya dengan membeli makanan di warung makan tertentu, dibungkus, lalu dimakan bersama di rumah. Mengingat perempuan desa seangkatan Tomy J Pisa, Titik Sandora seperti Simbok itu begitu mau diajak makan di luar, langsung berubah jadi akuntan kelas dunia.

“Mama nanti pesen minum aja yak?”
“Iya... yang penting jalan dulu. Nanti tinggal lihat ada yang enak nggak di sana. Kalau nggak ada ya balik lagi.”

Lima belas menit dari rumah. Kami sudah sampai di Buaran. Kami berkeliling untuk memastikan selera Bapak dan Mama. Mama mungkin bisa makan apa saja. Bapak tak mungkin kami ajak makan pizza, donut atau roti. Kami memutuskan tempat makan yang cocok dengan madzhab angkatan Ratih Purwasih. Anak muda ngikut aja selera orang sepuh.

Membiarkan Mama dan Bapak memilih menu sendiri, sudah pasti seperti menunggu ulat jadi kepompong, Hehe... Lama. Aku membacakan menu yang ada, lalu memilih ikan gurame asam manis, cah kangkung, cumi goreng mentega. Untuk minumnya aku memesan jus alpukat, dan es kelapa muda. Mama masih pucat. Lukisan canggung jelas tergurat di wajahnya. Bapak seperti lelaki Virgo di seluruh dunia. Mudah beradaptasi.

“Ma, nanti kalau uangnya nggak cukup, KTP Mama yang ditinggal yak?”
Mama tertawa, wajah pias itu sebentar kemudia memerah.
“Ya udah, nanti kalau nggak cukup, Mama aja yang ditinggal, buat nyuci piring.”
“Haha...”
Kami berempat tertawa, suasana mencair seperti biasa. Persoalan gugup melumer. Tak lama berselang menu yang kami pesan satu persatu diantar. Sedetik ketika Bumil mencicip cumi goreng mentega, ekspresi wajahnya kaku. Aku tahu Bumil lagi mencoba menelan makanan yang dicobanya.

“Pesan udang goreng tepung aja yak.”

Dia menjawab dengan anggukan kecil. Di atas meja itu aku berubah menjadi karnivora ganas. Tak lama menu tandas satu persatu. Tersisa duri dan tulang ikan saja. Sebenarnya bagi Bapak dan Mama tentu jumlah tagihan tak menjadi masalah. (Wong gaji Mama aja lebih gede dari gajku. :D) Tapi mengingat adat dan kebiasaan makan di luar merupakan tradisi yang tak lazim bagi perempuan seangkatan Mama. Makan ya di rumah. Bisa masak sesuai selera. Yang paling penting. MURAH. Bahan bisa beli di pasar Pulo Jahe. Sisanya kan bisa ditabung buat naik haji. :D.

Kalau kebahagiaan bagi mertua itu ketika menantu dan anaknya bisa memberangkatan ziarah ke tanah suci, membeli sebidang tanah untuk masa tua, membelikan logam dan batu mulia, tentu kami sudah terdegradasi dari daftar anak dan menantu yang berbakti. Kebahagiaan itu sederhana bagi kami. Bisa membuat simpul huruf U di bibir keduanya. Melihat keduanya canggung. Saling menatap satu sama lain. Menarik waktu ke masa lampau. Mengkhayalkan keduanya sewaktu masih muda. Menyaksikan cinta membentuk prasasti kenangan. Usia menua. Cinta harus terus dirawat dan dijaga. Salam.



Sudah sekian puluh tahun masih kaku aja. :D

Bapak pura-pura sibuk baca sms.

"Warung Pojok" Recomended buat acara makan malam keluarga.

Jangan lupa berdoa sebelum tidur... eh, sebelum makan.

Yang malu nggak dapet bagian betapa enaknya tulang ikan yang digoreng garing

Biarkan perempuan berbicara dalam bahasa ibunya.






21 Mei 2016

Melarung Kenangan


Gerbang SMPN 1 Kebakkramat. (Foto lama. Arsip Kemendikbud)















 
Dalam beberapa hari saya seperti ditarik ke lorong masa lalu. Tiba-tiba saja, sepanjang perjalanan dari tempat kerja menuju rumah. Di atas roda dua. Di antara deru mesin, bising knalpot bersautan dengan klason. Menyelinap rerimbun kemacetan Jakarta. Menyelip kiri dan kanan di antara mobil-mobil yang terjebak. Saya teringat dua nama. Dua nama yang terus menerbangkan, melindapkan pikiran pada pertanyaan-pertanyaan substansial tentang makna hidup. Juga tentang pertanyaan sederhana tentang makna kebahagiaan dan kematian.

Satu di antara dua nama itu adalah Agung Wibowo. Sahabat kecil saya. Rumahnya tak jauh dari rumah saya. Butuh sekitar lima menit berjalan kaki. Tinggi badan, perawakan kami hampir sama. Yang membedakan kami ada dua. Pertama status sosial keluarga. Kedua warna kulit. Tentu tak harus kusebutkan siapa yang sawo matang, dan siapa yang sawo busuk. Haha... Meski dari keluarga yang berbeda kelas ekonomi kami sering menghabiskan waktu bermain bersama. Tentu saja bukan bermain playstation atau memburu bus telolet dengan gadget. Dunia kami dulu jauh lebih primitif dari itu. Lebih mengasikkan.  

Saya tumbuh di era 90-an. Saya dan Agung menghabiskan sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. Kami biasa pergi sekolah bersama-sama. Rumah Agung yang terletak di pinggir jalan dijadikan semacam basecamp bersama. Saya, Wahyu, Edi, Eko juga sederetan nama yang searah biasa berangkat sekolah bareng. Ada kedekatan emosional di antara kami. Mungkin karena masa kanak-kanak memang dunia yang polos. Perihal perbedaan kelas tak begitu kami pedulikan.

Dulu kami sering mengumpulkan barang bekas, berupa besi tua, plastik sisa peralatan rumah tangga, kardus, buku bekas, apa saja yang sekiranya diterima tukang loak. Di desa kami, tiap rumah memiliki tempat pembuangan sampah sendiri-sendiri. Kami menyebutnya pawang (baca= tempat sampah). Berupa tanah yang dikeruk sedalam satu meter atau lebih. Berbentuk persegi. Tak melulu kubangan tanah. Pawang bisa berwujud satu tempat khusus di belakang rumah yang sengaja digunakan untuk membuang limbah rumah tangga. Pawang adalah pulau harta karun bagi kami. Sampah-sampah di pawang, yang berupa daun-daun kering, sampah plastik biasanya dibakar pagi atau sore hari jika sudah penuh. Besi tua, plastik-plastik limbah rumah tangga yang sering disebut atom yang terkumpul kami tukarkan di tukang loak keliling. Ditukar dengan kelereng, layangan, kelomang, burung emprit (pipit), atau burung manyar (burung yang punya habitat di pucuk-pucuk pohon bambu, sarangnya terbuat dari daun kelapa yang dianyam dengan paruh dan kakinya. Bulu dan paruhnya berwarna coklat kekuningan).

Membeli mainan semisal yang saya sebutkan di atas tentu hal mudah bagi Agung. Tapi hal itu tidak dilakukan ibunya. Beliau membiarkan kami melakukan apa saja selama masih dalam batas kewajaran. Jarak persahabatan kami merenggang ketika kami menginjak dewasa. Tepatnya saya sendiri yang sedikit demi sedikit mundur secara teratur. Benih inferior tumbuh dalam diri saya. Karena jarak sekolah SMP kami lumayan jauh, Agung memutuskan untuk naik kendaraan umum. Saya masih setia dengan sepeda.

Waktu berlari meninggalkan jejak-jejak kenangan. Persahabatan kami bertambah jarak ketika tubuh kami meninggi. Setelah lulus dari SMK saya bekerja di Bandung, Agung melanjutkan kuliah.  Sesekali saya bertemu saat saya pulang kampung. Kadang hanya sepintas. Saya sedang bersepeda, Agung sedang berkumpul dengan teman-temann di depan rumahnya.

****

Foto ilustrasi (Ini foto Kapal Costa-Concordia waktu tenggelam)

















Kabar duka itu memecah kesunyian. Beberapa bulan setelah saya bekerja di Bandung. Tepatnya tanggal 30 Desember 2006 sebuah kecelakaan akibat cuaca buruk, menenggelamkan kapal laut KM Senopati Nusantara. Kapal dengan tujuan transportasi dari pulau Mandalika di perairan pulau Karimunjawa, Jepara menuju pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.  Agung ada di sana menjadi bagian dari daftar nama korban yang ikut tenggelam. Total korban yang tercatat 628 orang. Korban yang mampu diselamatkan Tim SAR sejumlah 128 orang. Menurut cerita yang saya dengar, Agung berkunjung ke rumah mertuanya mengambil uang untuk modal usaha. Jumlahnya tepatnya saya lupa. Lamur dalam ingatan. Seingat saya uang itu puluhan juta dalam bentuk uang tunai. Sampai saat terakhir evakuasi, mayat Agung tidak pernah ditemukan.

Mimpi-mimpi itu memenggal tidur saya. Kadang saya terbangun dengan senyum, kadang tanpa saya sadari air mata sudah meleleh di pipi. Saya sering bermimpi bertemu dengan almarhum. Betapa saya masih ingat mimpi-mimpi itu satu persatu. Kedekatan emosional waktu kecil inilah yang mendekatkan sekaligus menjauhkan saya dengan keluarga Agung sekarang. Pernah suatu ketika saya pulang kampung. Ibunya yang sedang menyapu halaman berlari menuju rumah. Di kamar beliau menangis tersedu-sedu. Beliau ingat bahwa saya adalah teman sepermainan Agung. Seandainya masih hidup tentu tinggi badan kami tak jauh berbeda. (cerita ini baru saya ketahui beberapa tahun kemudian setelah kejadian. Diceritakan tetangga saya yang merupakan jamaah di mushola keluarga orang tua almarhum). Ada kalanya saya ingin ngobrol dengan beliau, tapi perasaan sebagai seorang yang kehilangan mencegah saya untuk melakukan hal itu.

****

Cinta menyeret kekasih ke dalam lembah kerinduan. Seperti sebuah keajaiban. Beberapa jam setelah saya memikirkan Agung tiba-tiba HP saya berdering. Sebuah pesan berantai muncul. Bersaut-sautan. Ternyata seseorang yang tak saya ketahui nomernya telah memasukkan saya ke dalam grup WhatsApp. Grup Alumni SMP Kebakkramat 1 angkatan 99. Itulah sebabnya di postingan pertama saya mengumpat dalam bahasa Jawa dengan menggunakan kata “Asem” disambung kalimat di belakangnya. Sekali lagi kata makian itu tak melulu bentuk ekspresi umpatan. Penggunaanya akan berubah makna sesuai dengan kaidah pengucapan, intonasi, ruang dan suasana.

Ini grup “gila” yang pernah saya ikuti. Chattingnya 24 jam penuh. Bicara apa saja. Menertawai kenakalan-kenakalan kecil waktu remaja, cinta monyet, guru, kabar terupdate (sudah punya anak berapa, tinggal dan bekerja di mana, dst). Ya, meski disadari bahwa tidak semua orang sebahagia saya ketika masuk di grup itu. Satu dua orang yang “imannya” nggak kuat akhirnya memutuskan untuk hijrah ke tanah yang dijanjikan. Hehe... Mungkin sibuk, butuh privasi, merasa terganggu dengan kicauan di grup, atau bisa jadi lagi puasa. Puasa kuota maksud saya. :D

Kurang lebih selama 12 jam saya sengaja tidak membuka history obrolan. 789 pesan. Gila kan?



Di grup mana saja rasanya nggak asik kalau nggak merisak (membully) Jomblo. Seolah-olah para perisak itu tak sadar. Salah satu tujuan utama menikah adalah melestarikan spesies jomblo. Yakinlah karena tak ada manusia yang melahirkan anaknya dalam bentuk berpasangan. Tak ada ibu yang melahirkan sepasang kekasih. Ingatlah itu wahai kaum jomblo. Ingat itu ya, Ton. Iya... Kamu. Anton Prasetya. Tenang saja Ton, Doa orang teraniaya biasanya dikabulkan. Doakan saja mereka yang merisakmu banyak rejekinya, dan istrinya nambah, nambah tapi gualaknya minta ampun.  (“modyar ora kon!” ini kalau bentuk ekspresi orang Jawa Timur).  

Kembali ingatan saya seolah ditumpahkan dari waktu lampau. Teringat saya waktu Narto “Bothox’s” sengaja menulis di papan tulis, beberapa menit sebelum pelajaran dimulai “Narto love Tamara.” (Tamara yang dimaksud adalah Tamara Blesinzky) Kemudian dengan tersenyum, tersipu malu maju menghapus tulisan itu ketika Pak Guru sudah masuk kelas, sambil berucap, “Siapa sih yang nulis ini. Kurang kerjaan banget.” Teringat Henca yang ngefans berat Slank. Membawa gitar, stik drum karena terobsesi dengan Bimbim. Selampai berwarna biru yang sering diikatkan di kepala sambil mengacungkan jari membentuk huruf “V” “Piss men. Damai kita. Kita generasi biru” (Inget nggak lho, Ca?). Syaiful membawa celana dalam kuning. Waktu itu marak kampanye Golkar. Suyamto “Mbeluk” yang karena bolosnya kebanyakan, membuang daftar absensi, yang tak sengaja waktu itu saya temukan di lapangan saat pelajaran olah raga. Sama Endi saya diberi pesan, “Buang saja, dari pada nanti runyam masalahnya.” Hehe... waktu itu saya juga masuk dalam jaringan kriminal itu. Linawati yang keheranan ketika saya masih ingat dia membacakan puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku.” Di saat yang sama waktu itu Angkoso membacakan puisi berjudul, “Laut” dengan gaya deklamasi yang lucu. Meliuk-liukkan tangan dan kedua tumitnya yang tidak bisa diam sehingga sepatunya berdecit.


Thanks to Henca Inhaga atas koleksi fotonya.


Ah, tentu masing-masing kepala bahagia dengan ceritanya. Kenangan yang tak mungkin lapuk dimakan zaman tentu Sang Guru legendaris. Guru Matematika. Pak Suyono. (Saya pernah jadi korban jari Dewa beliau sewaktu pelajaran Geometri. “Utara ki nol, Mas.” Tentu saja sambil noyor-noyor pilingan kepala dengan jari telunjuk ajaibnya). Nggak ada HAM-HAM-an seperti sekarang. Buktinya saya bahagia diajar beliau. Nilai matematika saya memuaskan.

Saya ingat sebuah kata-kata bijak dalam film Spongebob. Tak ada kisah pahit. Semua akan indah pada akhirnya. Jika tidak indah, itu belum akhir dari sebuah perjalanan. Perihal kenangan, kematian dan tempat kembali setelah itu. Saya sendiri berharap kerinduan yang sama ketika akhirnya bertemu dan dikumpulkan kembali di kampung Surga. Sambil kembali bercanda, bercerita tentang kenakalan-kenakalan semasa hidup. Semoga yang hidup dan yang sudah mendahului kepangkuan Tuhan, kembali berkumpul dengan jiwa-jiwa yang tenang. Anggap saja cerita kenakalan, aib, dosa masa lalu sebagai bagian dari warna kehidupan. Yang bersangkutan tinggal menulikan telinga dan tertawa bersama. Saat nanti. Saat dipertemukan kembali. Mari kita sucikan masa lalu dengan melarungkannya dalam lautan maaf dan kemakluman.Akhir kata, meminjam kalimat Henca, "Piss Men. Kita generasi biru."



14 Mei 2016

Peristiwa Unik yang Sering Dialami Pengendara RX-King


 
Si Merah yang Gagah


Banyak hal yang membuat RX-King, motor pabrikan asal negeri Naruto ini menjadi legenda hingga saat ini. Meski dengan nilai minus yang sangat tak asing ditelinga kita; boros bensin. RX-King di kalangan pencintanya selayaknya seorang gadis cantik nan molek. Butuh biaya bedak dan lipstik. Meski begitu jangan sekali-kali meragukan penggemar motor ini. Silakan browsing sendiri, banyak sekali klub motor dari satu daerah ke daerah. Mulai dari sebatas klub kongkow-kongkow, ngopi bareng, hingga semacam paguyuban persaudaraan yang patut diacungi jempol semangat pasedulurannya. Kenapa King tetap menjadi legenda hingga saat ini tentu tak lepas dari model yang gahar, dinamis, serta elegan.
 
Tentu hal-hal ini akan akrab kita temui, terutama jika anda menjadikan RX-King sebagai pilihan berkendara.


1.      Dilepas berapa, Bang?

Awas, Pak. Depan ada lobang. :D


Kalimat itu menjadi top survey alias FAQ (Frequently Ask Question). Pertanyaan yang sering terlontar dari mulut siapa saja. Terutama tukang parkir, Pak Satpam, hingga orang asing yang kita temui di tikungan atau di pemberhentian lampu merah. Dan itu bukan sekali dua kali. Susah saya menghitungnya. Pernah sewaktu saya mengambil barang di daerah Rawamangun, sembari memarkirkan motor, Pak Satpam yang berprofesi sekaligus juru parkir setempat mengintervensi saya untuk menjualnya? Rayuan dilepaskan (dikiranya saya ini penyuka sesama jenis apa? Mempan rayuan gombal hehe...) Iya, mulai sok akrab dah. Tanya ini itu, tinggal di mana? Asli mana? Eh... endingnya motornya dijual berapa, Bang? Kalau sudah ditodong pertanyaan begini biasanya saya cuma bisa tersenyum, tersipu malu karena dirayu cowok :D. Kalau yang bersangkutan masih terus keukeuh, senjata terakhir saya adalah, “Maaf, Bang. Masih seneng pakainya.” Sudah dijawab begitu pun Sang Satpam yang merangkap juru parkir sekaligus merangkap freelancer marketting ini sempat-sempatnya ngasih nomer HP sewaktu saya pulang. Keren kan? Hanya orang Indonesia yang bisa merangkap pekerjaan dua, tiga sampai empat pekerjaan sekaligus.


2.      Dipepet sesama pemakai King.

Suatu hari, sehabis hujan. Masih rintik-rintik manja gitu suasananya, dari Lampu merah Matraman, tepatnya tembusan dari Jalan Tambak menuju Pulogadung, lampu merah yang lamanya naudzubillah itu. Saya merasa diikuti. Tiap kali saya ngegas kenceng, eh... dia mengejar, giliran saya santai dia jaga jarak. Kirain teh dianya lagi mau ngajakin balapan. Kalau bener mau ngajakin balapan tentu dengan senang hati saya jawab; “Iya?” (Bukan atuh, saya mah takut naik motor kenceng-kenceng. Hihihi...) Ya saya akan jawab, monggo silakan duluan, saya masih sayang nyawa. Nyali saya nggak segede punya situ. Tepat di pertigaan TU-Gas saya ambil kanan, masuk ke kawasan industri Pulogadung, selebihnya saya mengendarai dengan santai (emang takut kenceng sih) Eh, taunya di tikungan samping PGC ketemu abang-abangnya lagi, sambil senyam-senyum gitu, pas posisi agak macet, Si Doi bilang, “Bang kalau sudah bosen jual ke saya ya?” Yaelah... dikiranya dia mau nembak ane. Nah, kan ternyata diriku ke-GR-an.


3.      Dicurhatin.

Mungkin karena jaman sekarang orang lebih suka pakai sosial media ketimbang ngobrol tatap muka, maka tak jarang di tempat tempat tertentu, tempat yang memungkinkan ngobrol singkat disebabkan mengantre, bisa di klinik, ATM, kasir atau dipinggir jalan waktu nungguin temen, atau lagi-lagi pas ngobrol di tempat parkiran. Ngobrol face to face itu jadi indah rasanya.  Eh, tiba-tiba ada Bapak-bapak usia 45-an lebih, setelah ngobrol sana-sini, eh tiba-tiba tanpa diundang dia malah berbagi kisah. Tolong ya jangan salah baca berbagi K-I-S-A-H (bukan kasih) waktu mudanya.

“Dulu saya juga pakai King, Mas. Ya maklumlah, masih anak muda. Nggak bisa kontrol emosi. Diblayer sedikit langsung panasan. Nggak pakai lama langsung kejar. Sekali dua kali ya ada kalanya menang, kadang juga kalah settingan motor saya. Nah, yang membuat saya insyaf ketika sudah punya anak. Takut, kalau kenapa-kenapa. Lalu dari pada saya kenapa-kenapa, saya jual aja tuh motor. (Ya dari pada kenapa-kenapa, terus kenapa-kenapa lagi, mending kenapa-kenapa lagi, Bang. Ini ada lho orang yang dalam satu kalimat menggunakan kata kenapa-kenapa berulang-ulang, seperti Emaknya Kipli). Nah, tuh Gaes, kalau mau trek-trek an mending di sirkuit aja. Balapan resmi. Biar jelas gitu. 


4.      Memutar tuas bensin pada posisi res



Sebagai raja yang doyan minum bensin tentu tak mengherankan jika pemakai motor begal ini sering kehabisan bensin. Terutama bagi pengendara yang melepas indikator bensin. Masih baik jika ternyata jumlah minimum bensin cadangan sekitar satu liter. Cukuplah untuk mencari pom bensin terdekat. Kira-kira pernah nggak ngalamin pas bensin sudah di posisi res, eh ternyata nggak nemu-nemu pom bensin, dan akhirnya dorong tuh motor. Alamak... beratnya sih bisa ditanggung, tapi malunya ini... Kagak nahan, Tjoy...


5.      Disayang Polisi

Ampun Pak. :D


Sudah dapat dipastikan. Mesti plat nomer pajak masih panjang. Spion dan lampu sen komplit, lampu depan nyala pada siang hari, eh... masih aja dapat salam hormat dari pak Polisi.
“Selamat siang, Mas?”
“Siang, Pak.”
“Tahu kesalahannya apa?”
“Ndak, Pak.”
“Itu speedo meternya kemana?”
Waduh... Ini bapak Polisi matanya sudah kayak Superman aja dah. Pakai lihat Speedo meter segala. Kalau nggak ya karena knalpot bobokan. Pokoknya kalau pengin dapet salam cinta dari Pak Polisi, tunggangi dah King, jangan Honda Win 100. Kalau pakai yang saya sebut terakhir dijamin aman seratus persen.

Mungkin masih banyak kisah lain yang seru, Gan. Silakan berbagi pengalaman di komentar. nanti kalau senggang saya tambahkan kisah Agan ke dalam blog.

*. sumber gambar dari berbagai laman (saya lupa nyatet satu persatu, Gan).

13 Mei 2016

Resensi Kumcer Wajah Negeri yang Terlupakan.



Membaca buku “Wajah Negeri yang Terlupakan” seperti membaca hidup penulisnya. Saya menerka bahwa hampir separuh kisah yang disajikan adalah hasil olah pengalaman dan pengamatan sekelilingnya. Dari sudut pandang kaum proletar Sang penulis mengambil sudut pandang dan memposisikan diri. Cerita dibuka dengan sosok bocah kecil pencinta hujan. Dalam arti yang satire. Seorang anak yang dipaksa keadaan untuk ikut membantu keuangan kedua orang tuanya. Sang Ayah harus menjadi pengemis karena kecelakaan yang menyebabkan cacat permanen, dan PHK tak luput dari ujian berikutnya. Jalinan kisah berkelindan dengan seorang lelaki kelas menengah yang sedang mengalami keretakan rumah tangga. Kenyataan hidup yang kontras. Menggambarkan dua keluarga dengan dua sisi yang paradoksional. Yang satu keluarganya utuh, harmonis namun mengalami kesulitan ekonomi, sedang satunya dalam keadaan ekonomi yang mapan namun kondisi rumah tangganya sedang dalam keadaan yang tidak kondusif.

Penulis mengajak kita untuk merenung dengan kehidupan wong cilik. Aktifitasnya sebagai seorang akuntan di sebuah kementrian begitu kental dalam tulisannya. Juga pengamatan tentang kehidupan di sepanjang rel kereta api menjadi salah satu  cerita yang runut.(Mengingatkan saya pada Sungging Raga, yang sering menuliskan ihwal kereta api dalam cerpen-cerpennya, tentu dengan sudut pandang yang berbeda). Mas Joko Rehutomo mengalami peristiwa penertiban area stasiun yang terjadi pada era Ignatius Jonan. Hal yang menjadi dilematis. Kebutuhan perut selalu menjadi alasan klasik, sedang di sisi lain, pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik berupa ketertiban dan tempat yang nyaman. Sayangnya kedua kubu seringkali tidak pernah menemukan titik temu. Dan ujung dari peristiwa perulangan sejarah itu; yang kecil harus menyingkir.


Jawa sentris

Orang Jawa bertutur tentang kehidupan orang Jawa. Enam belas cerpen yang terangkum dalam Kumcer ini hampir semuanya beraroma Jawa. Mulai dari nama, setting, juga polemik kehidupan yang dialami. Pun jika setting bukan di Jawa, kisah yang dihadirkan adalah cerita tentang orang Jawa yang merantau di Jakarta atau tempat lain. Hadir pula tokoh dan selipan cerita pewayangan semisal Arjuna, Bimasena, Lesmana dan lain-lain. Tentu hal ini tak lepas dari kelahiran penulis sendiri, yang memang besar dan tumbuh di Provinsi Jawa Timur. Frase, peribahasa, klenik Jawa tersebar di sana-sini. Entah ini disengaja atau tidak oleh Mas Joko. 

Menimbang kedekatan saya dengan pribadi penulis. Saya tahu bahwa beberapa cerpen yang dikisahkan di dalam buku ini tak bisa lepas dari kemelekatan pribadi Mas Joko dan lingkungannya. Ada satu cerpen yang mengisahkan tentang keluarga beserta kakak perempuannya yang mengidap kanker payudara. Meski di kemudian hari kakaknya dipanggil lebih dahulu setelah berjuang dengan anugrah Tuhan itu. (Semoga almarhumah diberikan keluasan rahmat dan cinta yang tak terhingga dari Yang Maha Segalanya. Amin...)

Penulis sendiri saya kira besar dan tumbuh dari keluarga kelas menengah. Gaya tutur yang lembut, sopan dan terkesan menghindari kalimat-kalimat langsung dan sarkasme diganti dengan kalimat melingkar. Sebut saja kata perawan diganti dengan mahkota satu-satunya bagi seorang perempuan, Bahkan dalam kasus pertikaian pun dipilihkan gaya yang “njawani banget.” Sebut saja salah satu adegan seorang ibu yang memilih diam menahan sekam amarah, diikuti dengan ngambek mengurung diri dalam kamar. Dalam kepala saya seolah berdiri seorang Raden yang menceritakan kisahnya saat menjelang usia senja. Sopan santun, unggah-ungguh dijaga dan dipertahankan. Atau mungkin ini penulis tetapkan karena ikut tergabung dalam salah satu komunitas menulis yang konon menjaga sastra santun. Keberadaan dua buah cerpen berjudul “Elegi Stasiun Tua” dan “Senja Wihara Tua” seolah hanya sekedar selingan semata, agar cerita tak terlalu Jawa sentris.


Penghormatan Setinggi-tingginya Pada sosok Ibu.

Dalam cerpen yang berbeda, Mas Joko menggambarkan sosok perempuan Jawa yang sempurna. Lembah-lembut, nrimo ing pandum (menerima keadaan) meski menjadi seorang perempuan yang diduakan, sosok ibu dalam tokoh cerpen Mas Joko ditokohkan dengan perempuan Jawa yang sekali lagi saya katakan sempurna. Tetap menjadikan suami yang tak lama menyambangi rumahnya sebagai seutuhnya pria dalam hidupnya.

Juga tokoh Bunda dalam cerpen “Pesarean.” Sosok Tuhan yang mengejawantah ini digambarkan begitu agung, tulus dan lugu. Sebagaimana penulis lain yang menggambarkan tokoh dalam kisah hidupnya. Pram misalnya lebih menyukai sosok pilihan perempuan yang tangguh, cerdas, dan mandiri; Nyai Ontosoroh dan Gadis Pantai. Nama terakhir konon merupakan bentuk “pemujaan” setinggi-tingginya terhadap sikap mendiang nenek Pram. 

Lain hal misalnya Andrea Hirata yang lebih menitik beratkan pada sosok “ayah nomer satu sedunia.” Tentu keberpihakan dan sisi kedekatan emosional tiap penulis berbeda-beda. Dan tanpa mengurangi sisi manusiawi sebagai seorang anak. Memilih kedekatan emosional antara ayah atau ibu tentu tak terelakkan.


Menunggu Kejutan Sang Idealis.

Sebenarnya saya sedikit kecewa. Ekspektasi saya tentang pegawai negeri di salah satu kementrian negeri ini ternyata sedikit meleset. Memang ada satu dua sentilan melalui kisah surealis dalam cerpen “Saksi Sumbang” kisah tentang tokek yang jengah melihat transaksi di balik terali besi. Juga sindiran halus Patung MH Thamrin. Sedari awal membaca Kumcer ini dari halaman per halaman saya menunggu tema tentang keberadaan kisah tikus-tikus di balik meja, transaksi-transaksi dengan nota fiktif, atau kasus lain yang bersentuhan langsung dengan keseharian penulis. Mungkin Mas Joko punya alasan yang lain. Entahlah.

Tak ada gading yang tak retak. Tentu tak semua karya bebas dari kekurangan. Saya menemukan sedikit kesalahan logika yang ada di cerpen “Perempuan Pinggiran” setidaknya ada dua kesalahan logika yang ada di sana. Misalnya bagaimana seorang Nunung yang serta merta gigi depannya tanggal sebanyak empat buah bisa berbicara jelas? (orang ompong biasanya kesulitan dalam mengucapkan huruf tertentu)
Lalu diceritakan pada paragraf selanjutnya ketika penyebutan Nunung sebagai “Janda Kembang.” Istilah janda kembang yang saya tahu mengacu pada janda yang ditinggal mati oleh suaminya tanpa seorang anak yang menyertai. Di dalam cerpen itu dikisahkan Nunung sebelumnya telah menikah dengan suami pertamanya dan dikaruniai seorang anak?

Pada akhirnya penulis telah mati setelah karyanya lahir. Silakan menikmati buku ini. Anda akan disuguhi cerpen realis dan surealis. Jika ditanya cerpen mana yang menurut saya paling oke? Pilihan saya jatuh pada “Dramaturgi Katak.” Anda penasaran dengan kisahnya? Silakan beli di toko buku terdekat, atau silakan hubungi penulis langsung di akun FB (Joko Rehutomo) atau via email: rehutomosunu@gmail.com. Selamat membaca dan salam literasi.




Judul Buku          : Wajah Negeri yang Terlupakan
Penulis                : Joko Rehutomo
Penerbit              : Trust Media
Tebal                  : 206 Halaman.



 
 
Blogger Templates