Saya masih berusaha menahan tawa
ketika menulis artikel ini. Baru beberapa menit yang lalu saya mengkhatamkan
kumcernya Gunawan Tri Atmodjo, “Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya.”
Buku kedua yang saya baca. Buku pertama Mas Gunawan yang saya baca adalah
“Sundari Keranjingan Puisi.” Di tengah kegamangan acara televisi yang saling
beradu rating, tanpa memperdulikan moralitas. Di tengah kejenuhan media sosial
yang makin hari makin tidak karuan sehabis pilpres terakhir, dendam kesumat,
saling ejek di kedua kubu yang kian hari tak terbaca tanda surutnya. Buku yang
sengaja saya pesan langsung dari penulisnya ini memberikan obat bagi jiwa yang
merana seperti saya ini.
Kebahagian yang tak tergambarkan.
Mas Gunawan selalu menyodorkan istilah, frase, juga candaan-candaan khas
“celelekan” orang Solo dan sekitarnya. Bisa dilihat dari pilihan nama tokoh
yang terkesan dipilih sekedarnya saja. Asal jadi, asal ketemu dan asal njeplak.
Seolah bagi penulis, nama itu tak terlalu penting. Salah satu pembuktian bagi
penulis pemula bahwa pemilihan nama karakter merupakan kesulitan yang
sebenarnya bisa dihindari. Sebut saja deretan nama: Rika Ribut, Santoso
Sejahtera (Perkiraan saya penulis suka baca komik, karena menggunakan inisial
nama yang tak asing. Ingat tokoh Peter Parker?), Rima yang nama panjangnya
Terima Kasih, Ha Jingang (Plesetan dari umpatan Bajingan), Pa Lonten (Palonten:
tempat prostitusi), Didik Rabiulakhir, juga sederet nama dan istilah yang
sebenarnya dekat sekali dengan keseharian kita. (Terutama yang besar dan tumbuh
di Solo dan sekitarnya)
Sederhana, mudah dimengerti dan
tentu saja penuh sisipan joke yang membuat tertawa terpingkal-pingkal. Membaca
cerpen-cerpen Mas Gunawan seolah-olah mengajak kita untuk ikut melihat kondisi
yang ada disekitar kita. Melihat dan ikut membersamai cerita tersebut. Bukan
sekedar mengintip atau mengamati persoalan dari balik kaca.
Reading is healing. Bahwa dunia sastra tak melulu harus diisi
dengan imajinasi yang rumit, serius dan angker untuk pembaca awam. Jangan
salah. Bukan hanya persoalan-persoalan remeh-temeh yang diangkat dalam
tulisannya. Sebut saja cerpen yang berjudul, “Imam Ketiga.” Ini adalah cerpen
favorit saya dalam kumcer ini. Bagaimana Mas Gunawan mengisahkan persoalan
“perebutan kekuasaan,” yang nampaknya hanya persoalan sepele; menjadi imam
mushola. Dan sebenarnya ini menjadi kisah klasik tak bersudahan di beberapa
tempat. Termasuk musholla tempat tinggal saya sekarang ini.
Menurunkan derajat Ke-tabu-an.
Di tangan penjahat pisau menjadi
alat pembunuh, di tangan ibu-ibu rumah tangga pisau jadi alat dapur, di tangan
tukang daging pisau jadi alat pemotong. Di tangan Mas Gunawan kata dan istilah
yang dianggap “ora elok” tidak pantas
diucapkan itu dijadikan bahan guyonan yang segar. Maka deretan istilah yang
dalam keseharian kita dianggap sebagai kata “makruh menuju haram,” di tangan
Mas Gunawan dijadikan bahan olok-olok belaka. Sebenarnya seperti pisau di atas.
Kata makian pun akan berbeda makna jika dipakai pada siapa, saat apa, dan dalam
intonasi seperti apa. Kalau meminjam istilahnya Kang Tep (Panggilan Taufan E.
Prast) itu soal rasa bahasa. Sama semisal orang Jawa Timur yang tiap bertemu
dengan kawan lama hampir tak lupa mengucapkan kata, “Cuk” (=jancuk).
Apakah ada yang salah dengan kata
makian? Cak Nun dalam sela-sela ceramahnya sering melontarkan kata makian, kata
jorok yang membahagiakan jama’ahnya. Persoalan yang sering terjadi kita sering
mengagungkan pakem dan menafikan nilai yang lain. Sehingga tolok ukur kebaikan,
kebenaran itu sesuai kacamata “kekakuan” fiqih semata.
Barang kali ada beberapa orang
yang tak mau disama-samakan dengan orang lain. Tapi apa boleh buat, cara
mengemas dan konten yang berusaha membuat sesederhana mungkin persoalan yang
dilakukan Mas Gun mengingatkan saya pada tulisan-tulisan renyah dan gampang
ditelan ala Kang Jalal (Prof. Jalaludin Rakhmat). Menikmati karya keduanya tak
perlu mengerutkan dahi. Silakan baca cerpen utama yang sekaligus menjadi judul
buku tersebut. Tak ada istilah lokal yang njelimet seperti cara penulis lain
yang seolah ingin mencitrakan rasa lokal. Tentu cara itu sah dan tak ada
salahnya, namun kekurangannya terletak pada pembaca yang kebetulan orang luar
daerah atau di luar keilmuan yang harus bolak-balik melihat catatan kaki untuk
sekedar menikmati cerita itu.
Kekentalan Lokalitas.
Mas Gunawan nampaknya salah satu
penulis yang konsiten mengangkat lokalitas Solo. Cerita, nama dan tema yang
merakyat menjadikan saya yang kebetulan dilahirkan di sekitar Solo. (Tepatnya
di Kabupaten Sragen. Lebih tepatnya Solo coret). Cak Nun punya Markesot,
Sungging Raga dengan Nalea, SGA melahirkan Sukab, Dan GTA punya anak kandung
bernama Trijoko dan Sundari. Dua tokoh yang berganti baju dan peran di beberapa
cerpen yang dituliskannya.
Selain tempat, nama dan kebiasaan
ada satu hal lagi yang tak lupa diselipkan GTA dalam cerpennya, yakni tentang
secuil kisah musik Dangdut. Terutama genre Dangdut Koplo. Beberapa nama
penyanyi tak luput dari penyebutannya.
Well di akhir tulisan saya
simpulkan selamat membaca dan selamat tertawa. Selamat menikmati Sanggar Seni
Sari Rapet, Fredy Surga yang tak dirindukan, Gracia Senantiasa Bermuhasabah dan
tentu tak ikut tertinggal; Koko Peli yang membuat saya tertawa lepas. Hingga
lupa bahwa saya punya utang di warung sebelah.
Penulis : Gunawan Tri Atmodjo
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit : Mei 2016
Tebal : 244 halaman
Desain sampul yang ciamik. |
Sayangnya saya bukan kolektor kata kata mutiara seperti Sundari. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar