Social Icons

Halaman

8 Mei 2016

Resensi Kumcer Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya



Saya masih berusaha menahan tawa ketika menulis artikel ini. Baru beberapa menit yang lalu saya mengkhatamkan kumcernya Gunawan Tri Atmodjo, “Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya.” Buku kedua yang saya baca. Buku pertama Mas Gunawan yang saya baca adalah “Sundari Keranjingan Puisi.” Di tengah kegamangan acara televisi yang saling beradu rating, tanpa memperdulikan moralitas. Di tengah kejenuhan media sosial yang makin hari makin tidak karuan sehabis pilpres terakhir, dendam kesumat, saling ejek di kedua kubu yang kian hari tak terbaca tanda surutnya. Buku yang sengaja saya pesan langsung dari penulisnya ini memberikan obat bagi jiwa yang merana seperti saya ini.

Kebahagian yang tak tergambarkan. Mas Gunawan selalu menyodorkan istilah, frase, juga candaan-candaan khas “celelekan” orang Solo dan sekitarnya. Bisa dilihat dari pilihan nama tokoh yang terkesan dipilih sekedarnya saja. Asal jadi, asal ketemu dan asal njeplak. Seolah bagi penulis, nama itu tak terlalu penting. Salah satu pembuktian bagi penulis pemula bahwa pemilihan nama karakter merupakan kesulitan yang sebenarnya bisa dihindari. Sebut saja deretan nama: Rika Ribut, Santoso Sejahtera (Perkiraan saya penulis suka baca komik, karena menggunakan inisial nama yang tak asing. Ingat tokoh Peter Parker?), Rima yang nama panjangnya Terima Kasih, Ha Jingang (Plesetan dari umpatan Bajingan), Pa Lonten (Palonten: tempat prostitusi), Didik Rabiulakhir, juga sederet nama dan istilah yang sebenarnya dekat sekali dengan keseharian kita. (Terutama yang besar dan tumbuh di Solo dan sekitarnya)

Sederhana, mudah dimengerti dan tentu saja penuh sisipan joke yang membuat tertawa terpingkal-pingkal. Membaca cerpen-cerpen Mas Gunawan seolah-olah mengajak kita untuk ikut melihat kondisi yang ada disekitar kita. Melihat dan ikut membersamai cerita tersebut. Bukan sekedar mengintip atau mengamati persoalan dari balik kaca.

Reading is healing. Bahwa dunia sastra tak melulu harus diisi dengan imajinasi yang rumit, serius dan angker untuk pembaca awam. Jangan salah. Bukan hanya persoalan-persoalan remeh-temeh yang diangkat dalam tulisannya. Sebut saja cerpen yang berjudul, “Imam Ketiga.” Ini adalah cerpen favorit saya dalam kumcer ini. Bagaimana Mas Gunawan mengisahkan persoalan “perebutan kekuasaan,” yang nampaknya hanya persoalan sepele; menjadi imam mushola. Dan sebenarnya ini menjadi kisah klasik tak bersudahan di beberapa tempat. Termasuk musholla tempat tinggal saya sekarang ini.

Menurunkan derajat Ke-tabu-an.

Di tangan penjahat pisau menjadi alat pembunuh, di tangan ibu-ibu rumah tangga pisau jadi alat dapur, di tangan tukang daging pisau jadi alat pemotong. Di tangan Mas Gunawan kata dan istilah yang  dianggap “ora elok” tidak pantas diucapkan itu dijadikan bahan guyonan yang segar. Maka deretan istilah yang dalam keseharian kita dianggap sebagai kata “makruh menuju haram,” di tangan Mas Gunawan dijadikan bahan olok-olok belaka. Sebenarnya seperti pisau di atas. Kata makian pun akan berbeda makna jika dipakai pada siapa, saat apa, dan dalam intonasi seperti apa. Kalau meminjam istilahnya Kang Tep (Panggilan Taufan E. Prast) itu soal rasa bahasa. Sama semisal orang Jawa Timur yang tiap bertemu dengan kawan lama hampir tak lupa mengucapkan kata, “Cuk” (=jancuk).

Apakah ada yang salah dengan kata makian? Cak Nun dalam sela-sela ceramahnya sering melontarkan kata makian, kata jorok yang membahagiakan jama’ahnya. Persoalan yang sering terjadi kita sering mengagungkan pakem dan menafikan nilai yang lain. Sehingga tolok ukur kebaikan, kebenaran itu sesuai kacamata “kekakuan” fiqih semata.

Barang kali ada beberapa orang yang tak mau disama-samakan dengan orang lain. Tapi apa boleh buat, cara mengemas dan konten yang berusaha membuat sesederhana mungkin persoalan yang dilakukan Mas Gun mengingatkan saya pada tulisan-tulisan renyah dan gampang ditelan ala Kang Jalal (Prof. Jalaludin Rakhmat). Menikmati karya keduanya tak perlu mengerutkan dahi. Silakan baca cerpen utama yang sekaligus menjadi judul buku tersebut. Tak ada istilah lokal yang njelimet seperti cara penulis lain yang seolah ingin mencitrakan rasa lokal. Tentu cara itu sah dan tak ada salahnya, namun kekurangannya terletak pada pembaca yang kebetulan orang luar daerah atau di luar keilmuan yang harus bolak-balik melihat catatan kaki untuk sekedar menikmati cerita itu.


Kekentalan Lokalitas.
Mas Gunawan nampaknya salah satu penulis yang konsiten mengangkat lokalitas Solo. Cerita, nama dan tema yang merakyat menjadikan saya yang kebetulan dilahirkan di sekitar Solo. (Tepatnya di Kabupaten Sragen. Lebih tepatnya Solo coret). Cak Nun punya Markesot, Sungging Raga dengan Nalea, SGA melahirkan Sukab, Dan GTA punya anak kandung bernama Trijoko dan Sundari. Dua tokoh yang berganti baju dan peran di beberapa cerpen yang dituliskannya.

Selain tempat, nama dan kebiasaan ada satu hal lagi yang tak lupa diselipkan GTA dalam cerpennya, yakni tentang secuil kisah musik Dangdut. Terutama genre Dangdut Koplo. Beberapa nama penyanyi tak luput dari penyebutannya.

Well di akhir tulisan saya simpulkan selamat membaca dan selamat tertawa. Selamat menikmati Sanggar Seni Sari Rapet, Fredy Surga yang tak dirindukan, Gracia Senantiasa Bermuhasabah dan tentu tak ikut tertinggal; Koko Peli yang membuat saya tertawa lepas. Hingga lupa bahwa saya punya utang di warung sebelah.


Judul     : Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya
Penulis   : Gunawan Tri Atmodjo
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit : Mei 2016
Tebal : 244 halaman




Desain sampul yang ciamik.
Sayangnya saya bukan kolektor kata kata mutiara seperti Sundari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates