Social Icons

Halaman

19 Apr 2016

Review Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon









Sampul Kumcer Eko Triono



Hal yang sangat penting. Terutama bagi saya pribadi, mengenal karakter seorang penulis buku. Karakter sebenarnya, bukan karakter tokoh yang dia ciptakan dalam cerpen maupun novel. Meski sah-sah saja jika ternyata ada seorang penulis yang begitu besar karyanya, diminati dan dielukan di seantero jagad, namun jika ternyata suatu hari, saya mendapati bahwa tokoh-tokoh  impian yang diciptakan tak sesuai dengan dirinya, maka orang itu di mata saya tak lebih dari seorang pembual saja.  Seorang penulis adalah Tuhan bagi karyanya, terserah dia mau membuat karya seperti apa, tapi bagi saya pribadi, penulis yang baik itu tak terlepas dari nilai yang dia impikan dalam sebuah cerpen. Bukankah hampir sebagian besar penulis adalah pemimpi dalam dunia fiksi. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang “lari” dari peliknya hidup, tentang penderitaan yang tak menemukan keadilan, kesedihan-kesedihan dalam patah hatinya, atau emosi lain yang diselipkan dalam cerita rekaan mereka.

Seperti mubalig. Tokoh dalam sebuah cerita adalah refleksi diri dari penulis. Bayangan dari geber dalam pewayangan. Meski tak selamanya begitu. Bisa saja penulis menciptakan karakter jauh keluar dari kediriannya. Percuma saja mubalig yang pandai berceramah, pintar menyitir dalil-dalil jika kenyataan antara mulut dan laku lampahnya teryata jauh panggang dari api. 

Saya mengenal Eko Triono kurang lebih setahun yang lalu. Kebetulan Eko menginap di kosan saya waktu itu. (bedeng lebih tepatnya, Haha... harap dimaklumi waktu itu kosan saya dekat dengan kali. Karena memang waktu itu bukan prioritas untuk mencari kosan yang layak. Rencana tinggal di kos hanya beberapa bulan saja). Itu pun saya tidak sempat ngobrol panjang lebar. Hanya sebatas tegur sapa biasa. Karena malam hari ketika Eko datang, saya sedang asik mendengarkan diskusi di acara rutin Kenduri Cinta, Taman Ismail Marzuki.

Takdir yang mempertemukan kami berdua. Waktu itu jaket kesayangannya tertinggal di kosan. Kebetulan Eko sendiri sering bolak-balik Solo-Jakarta. Dua minggu sekali kalau saya tidak salah. Eko terpilih menjadi salah satu peserta kelas menulis novel yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta.

Saat itu saya berjanji untuk bertemu dengannya di stasiun Senen. Di warung penjual donat kami ngorbol panjang lebar. Tepatnya saya menjadi pendengar yang beruntung mendengarkan kisah hidupnya yang heroik. Mulai dari kisah mendebarkan ketika dia dan keluarga harus keluar dari Aceh karena sedang terjadi konflik (Kisah ini dituangkan dalam cerpen berjudul, “Mereka Mengokang Senjata”), masa-masa “kesepiannya” selama sekolah, hingga waktu Eko mencemplungkan diri dalam kawah Candradimuka. Perpustakaan sekolah. Konon hanya lewat tulisanlah dia bisa menghilangkan trauma masa kecilnya.

Dia adalah seorang yang melampaui usianya. Saya yakin dibalik cerpen-cerpen yang terlihat “rumit” ada yang lebih berkecamuk di dalam kepalanya. Entah itu persoalan hidup atau kumpulan bacaan yang saling bertarung di tempurung kepalanya. Dan... Well, sebagai orang yang terlahir lebih dulu ke dunia, saya harus menundukkan kepala saya serendah-rendahnya di hadapannya. Sambil berucap, “Jadikan aku muridmu, Shifu... :D”

Pengalaman hiduplah yang mengajarkan seseorang tentang kedewasaan. Karakter terbentuk dari cara mengambil sikap terhadap polemik yang sedang dihadapi. Sejak saya dipinjami buku kumcernya yang berjudul “Kakek dan cerita lainnya.” (Ikal yang meminjamkan saya buku tersebut), saya langsung kagum dengan apa yang ditulisnya. Terutama cerpen, “Ikan Kaleng.” Saya bukan pembaca yang baik, karena sampai saat ini pun saya sendiri tak bisa mengklasifikasi ini cerpen realis, surealis atau apalah sebutannya dalam dunia sastra. Saya menikmati cerpen hanya sepintas lalu. Saya lebih menikmati pesan apa yang disampaikan penulis dari pada sekedar akrobat kata. Seringkali saya tersesat pada sebuah cerpen yang memainkan kata dan ketika cerpen itu berakhir saya seperti orang yang masih terkena sihir kata-kata itu tanpa tahu pesan yang disampaikan. Bisa sampai pesan itu, namun kurang utuh, ada yang “tercecer” dalam muatannya.

Jadi berdasarkan bacaan saya yang tidak seberapa, saya hanya bisa menyimpulkan Kumcer “Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-Pohon.” Sebisa saya. Kalau perihal kritik sastra, sudah ada maestro-maestro yang menuliskan essai di awal halaman kumcernya. Ibarat sama-sama punya lidah, tak semua orang bisa mendefinisikan rasa enak tidaknya sebuah masakan. Sudah ada Tim Kurator yang hebat di dalam pengantar buku tersebut. (Ada Bang Joni Ariadinata, Pak Tia Setiadi, Pak Edi,  Pak Ahmad Muchlis Amrin). 

Saya kira Eko merupakan sosok penulis muda harapan bangsa. (Habis itu saya langsung kerek bendera bertulis Eko Triono. Haha... ). Sekali lagi sebagai pembaca buku apa saja, saya memberikan tiga jempol buat Eko, soalnya satu jempol sudah dipakai buat SIM. Apresiasi yang setinggi-tingginya buat Kumcer yang diterbitkan Diva Press. Cerpen ini membuat saya belajar banyak tentang bagaimana menulis cerpen, eksplorasi “ide-ide liar” yang dilakukan Eko. Saya kira Eko adalah penulis yang berani melakukan eksperimen-eksperimen, baik dari segi plot maupun kaidah umum sebuah cerpen. Ada satu fiksimini yang ditulis dalam satu paragraf. Juga ada yang ditulis satu kalimat utuh, tanpa jeda tanda koma maupun titik. Silakan beli dan baca sendiri kumcer ini. Nanti kalau kebanyakan dikiranya saya promosi. Satu cerpen yang membuat saya tersenyum-senyum adalah pengolahan ide yang menurut saya sederhana sekali, tapi penuh dengan riset yang matang yaitu cerpen, “Sepasang Semut dalam Tetes Mata.” Jika membaca cerpen ini saya jadi teringat gaya Mas Gunawan Tri Atmojo yang menurut saya asik bercanda dengan cerpennya. Bagi kedua penulis ini barang kali cerpen adalah makhluk yang sudah “dijinakkan.” Jadi terserah mereka mau nulis apa dan bagaimana. 

Akhir kata, selamat membaca kumcer ini. Saya kira anda tidak akan menyesal membelinya. Dan standing applouse buat Amo ( Saya nggak tahu ini cewek apa cowok) Ilustrasi cerpennya bagus sekali. Terima kasih sudah membuat saya bahagia.

ilustrasi cerpen, "Pledoi Spesies Tikus"



                       
 
 
Blogger Templates