Sampul Kumcer Eko Triono |
Hal yang sangat penting. Terutama
bagi saya pribadi, mengenal karakter seorang penulis buku. Karakter sebenarnya,
bukan karakter tokoh yang dia ciptakan dalam cerpen maupun novel. Meski sah-sah
saja jika ternyata ada seorang penulis yang begitu besar karyanya, diminati dan
dielukan di seantero jagad, namun jika ternyata suatu hari, saya mendapati
bahwa tokoh-tokoh impian yang diciptakan
tak sesuai dengan dirinya, maka orang itu di mata saya tak lebih dari seorang
pembual saja. Seorang penulis adalah
Tuhan bagi karyanya, terserah dia mau membuat karya seperti apa, tapi bagi saya
pribadi, penulis yang baik itu tak terlepas dari nilai yang dia impikan dalam
sebuah cerpen. Bukankah hampir sebagian besar penulis adalah pemimpi dalam
dunia fiksi. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang “lari” dari peliknya
hidup, tentang penderitaan yang tak menemukan keadilan, kesedihan-kesedihan
dalam patah hatinya, atau emosi lain yang diselipkan dalam cerita rekaan
mereka.
Seperti mubalig. Tokoh dalam sebuah
cerita adalah refleksi diri dari penulis. Bayangan dari geber dalam pewayangan.
Meski tak selamanya begitu. Bisa saja penulis menciptakan karakter jauh keluar
dari kediriannya. Percuma saja mubalig yang pandai berceramah, pintar menyitir
dalil-dalil jika kenyataan antara mulut dan laku lampahnya teryata jauh
panggang dari api.
Saya mengenal Eko Triono kurang lebih
setahun yang lalu. Kebetulan Eko menginap di kosan saya waktu itu. (bedeng
lebih tepatnya, Haha... harap dimaklumi waktu itu kosan saya dekat dengan kali.
Karena memang waktu itu bukan prioritas untuk mencari kosan yang layak. Rencana
tinggal di kos hanya beberapa bulan saja). Itu pun saya tidak sempat ngobrol
panjang lebar. Hanya sebatas tegur sapa biasa. Karena malam hari ketika Eko
datang, saya sedang asik mendengarkan diskusi di acara rutin Kenduri Cinta,
Taman Ismail Marzuki.
Takdir yang mempertemukan kami
berdua. Waktu itu jaket kesayangannya tertinggal di kosan. Kebetulan Eko
sendiri sering bolak-balik Solo-Jakarta. Dua minggu sekali kalau saya tidak
salah. Eko terpilih menjadi salah satu peserta kelas menulis novel yang diadakan
Dewan Kesenian Jakarta.
Saat itu saya berjanji untuk bertemu
dengannya di stasiun Senen. Di warung penjual donat kami ngorbol panjang lebar.
Tepatnya saya menjadi pendengar yang beruntung mendengarkan kisah hidupnya yang
heroik. Mulai dari kisah mendebarkan ketika dia dan keluarga harus keluar dari
Aceh karena sedang terjadi konflik (Kisah ini dituangkan dalam cerpen berjudul,
“Mereka Mengokang Senjata”), masa-masa “kesepiannya” selama sekolah, hingga
waktu Eko mencemplungkan diri dalam kawah Candradimuka. Perpustakaan sekolah.
Konon hanya lewat tulisanlah dia bisa menghilangkan trauma masa kecilnya.
Dia adalah seorang yang melampaui
usianya. Saya yakin dibalik cerpen-cerpen yang terlihat “rumit” ada yang lebih
berkecamuk di dalam kepalanya. Entah itu persoalan hidup atau kumpulan bacaan
yang saling bertarung di tempurung kepalanya. Dan... Well, sebagai orang yang
terlahir lebih dulu ke dunia, saya harus menundukkan kepala saya
serendah-rendahnya di hadapannya. Sambil berucap, “Jadikan aku muridmu,
Shifu... :D”
Pengalaman hiduplah yang mengajarkan
seseorang tentang kedewasaan. Karakter terbentuk dari cara mengambil sikap
terhadap polemik yang sedang dihadapi. Sejak saya dipinjami buku kumcernya yang
berjudul “Kakek dan cerita lainnya.” (Ikal yang meminjamkan saya buku
tersebut), saya langsung kagum dengan apa yang ditulisnya. Terutama cerpen, “Ikan
Kaleng.” Saya bukan pembaca yang baik, karena sampai saat ini pun saya sendiri
tak bisa mengklasifikasi ini cerpen realis, surealis atau apalah sebutannya
dalam dunia sastra. Saya menikmati cerpen hanya sepintas lalu. Saya lebih
menikmati pesan apa yang disampaikan penulis dari pada sekedar akrobat kata.
Seringkali saya tersesat pada sebuah cerpen yang memainkan kata dan ketika
cerpen itu berakhir saya seperti orang yang masih terkena sihir kata-kata itu
tanpa tahu pesan yang disampaikan. Bisa sampai pesan itu, namun kurang utuh,
ada yang “tercecer” dalam muatannya.
Jadi berdasarkan bacaan saya yang
tidak seberapa, saya hanya bisa menyimpulkan Kumcer “Agama Apa yang Pantas Bagi
Pohon-Pohon.” Sebisa saya. Kalau perihal kritik sastra, sudah ada
maestro-maestro yang menuliskan essai di awal halaman kumcernya. Ibarat
sama-sama punya lidah, tak semua orang bisa mendefinisikan rasa enak tidaknya
sebuah masakan. Sudah ada Tim Kurator yang hebat di dalam pengantar buku
tersebut. (Ada Bang Joni Ariadinata, Pak Tia Setiadi, Pak Edi, Pak Ahmad Muchlis Amrin).
Saya kira Eko merupakan sosok penulis
muda harapan bangsa. (Habis itu saya langsung kerek bendera bertulis Eko
Triono. Haha... ). Sekali lagi sebagai pembaca buku apa saja, saya memberikan
tiga jempol buat Eko, soalnya satu jempol sudah dipakai buat SIM. Apresiasi
yang setinggi-tingginya buat Kumcer yang diterbitkan Diva Press. Cerpen ini
membuat saya belajar banyak tentang bagaimana menulis cerpen, eksplorasi “ide-ide
liar” yang dilakukan Eko. Saya kira Eko adalah penulis yang berani melakukan
eksperimen-eksperimen, baik dari segi plot maupun kaidah umum sebuah cerpen. Ada
satu fiksimini yang ditulis dalam satu paragraf. Juga ada yang ditulis satu
kalimat utuh, tanpa jeda tanda koma maupun titik. Silakan beli dan baca sendiri
kumcer ini. Nanti kalau kebanyakan dikiranya saya promosi. Satu cerpen yang
membuat saya tersenyum-senyum adalah pengolahan ide yang menurut saya sederhana
sekali, tapi penuh dengan riset yang matang yaitu cerpen, “Sepasang Semut dalam
Tetes Mata.” Jika membaca cerpen ini saya jadi teringat gaya Mas Gunawan Tri
Atmojo yang menurut saya asik bercanda dengan cerpennya. Bagi kedua penulis ini
barang kali cerpen adalah makhluk yang sudah “dijinakkan.” Jadi terserah mereka
mau nulis apa dan bagaimana.
Akhir kata, selamat membaca kumcer
ini. Saya kira anda tidak akan menyesal membelinya. Dan standing applouse buat
Amo ( Saya nggak tahu ini cewek apa cowok) Ilustrasi cerpennya bagus sekali.
Terima kasih sudah membuat saya bahagia.
ilustrasi cerpen, "Pledoi Spesies Tikus" |