Sepagi tadi, sehabis buka toko, saya
seperti terseret dalam mesin waktunya Doraemon. Lalu tiba-tiba saja saya sudah
berada di lapangan Tiananmen atau di tengah-tengah pasar di daerah Pecinan. Dua
orang bermata sipit berada tak sampai satu meter di depan saya. Was... wes...
wos, mereka berdua bercakap-cakap dengan bahasa ibunya. Saya seperti orang
dungu yang hanya bisa tersenyum untuk menutupi ketidaktahuannya.
“Ini kalau diganti berapa?” Tanya
salah satu pria bermata sipit itu. Saya sebutkan angka sekian-sekian. Keduanya
hanya melempar pandang. Dua unit CPU itu teronggok di meja kerja saya. Kemudian
mereka kembali bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak saya mengerti sepenggal
kata pun. Saya cuma bisa membaca mimik wajah mereka, mengartikan gesture tubuh
mereka. “Nggak usah diganti, mahal.” Hehe... dugaan saya benar. Tak lama
setelah itu kalimat bernada mirip keluar dari sang penerjemah.
Setengah jam sebelum dua lelaki
bermata sipit itu datang, pelanggan pertama di toko sudah datang, Junaedi,
seorang tuna wicara yang menurut saya “keren.” Di tengah suaranya yang dicekat
Tuhan semenjak lahir, Tuhan memberikan dia kelebihan-kelebihan yang mungkin
tidak dipunyai oleh orang lain. Salah satu bukti adalah mahirnya dia memainkan mouse dan
keyboard, menyetting angka dan IP addres di komputer.
Balik lagi ke dua orang asing tadi. Beberapa
tahun yang lalu ada seorang Profesor berkebangsaan Malaysia dengan bahasa
Indonesia dan Inggris yang terbata-bata datang ke toko. Saya tidak tahu, apakah
saya yang nggak bisa menangkap setiap perkataannya atau memang begitu ciri
seorang Profesor. Sebut saja namanya Jie An. Meski nama aslinya masih saya
ingat, kartu namanya masih saya simpan. Seorang Profesor yang bekerja sebagai
wirausahawan, menjual sabut kelapa untuk dibuat rumbai-rumbai atap dan sejenis
gapura di tempat-tempat wisata. Jangan salah, jualnya kelas kakap. Dia ekspor
barang-barang itu sampai ke Brazil, Brunei dan negara-negara di kawasan Eropa.
Datang dengan muka kikuk dan bahasa
Indonesia yang terbata-bata. Dia berkata, “Insgtall... you olang bisa ingstall.”
“Nanti... saya bayal...”
“Belapa?”
Singkat
cerita ternyata Mr. Jie An ini sudah keliling ruko, dari lantai dasar hingga
lantai 1. Tidak ada yang mau menerima dia. Maksud saya tidak ada yang mau
mengerjakan komputernya yang rusak. Bahasa menjadi salah satu kendala. Meski,
ke depannya baru saya ketahui bukan hanya itu. Ternyata orangnya ribet minta
ampun.
Komputer
yang diinstal itu minta dimasukkan juga multi languange-nya. Dia minta agar
bisa nulis huruf Mandarin di dalamnya. Sekali saya pernah dimaki-maki, karena
koneksi internetnya nggak jalan. Sebenarnya bukan nggak jalan. Cuma nama
shortcutnya saja yang saya ganti. Saya namai sembarang. Dia tidak tahu kalau
nama shortcut itu tidak berpengaruh pada fungsi konektifitasnya.
Cerita
berlalu, hingga Mr. Jie An menjadi salah satu langganan toko. Setelah itu baru
saya mengumpulkan cerita yang terlontar secara langsung maupun tidak langsung.
Istrinya menjadi warga negara Singapura dan tinggal di sana. Anaknya berapa? Saya
tidak tahu.
Beberapa
kali, di kemudian hari, dia datang ke toko untuk menjual beberapa perangkat
elektroniknya. Antara lain printer multifungsi (bisa print, scan dan copy),
handphone, dan modem. Yang sungguh mengejutkan adalah ketika dia kemudian
datang ke toko dengan membawa seorang anak kecil. Saya sebut anak kecil, karena
menurut perkiraan saya baru berumur belasan, mungkin masih duduk di SMP, kalau
dia sekolah tentunya. Anak itu berjenis kelamin perempuan.
“Hei,
Bos besal, apa kabal?” setelah basa-basi panjang lebar, Mr. Jie An bercerita ke
sana kemari. Mulai dari menyebutkan nama-nama klub malam di kawasan Mangga Dua,
Mangga Besar dan sekitarnya.
“Bos
besal, you olang mau tidak sama dia?”
“Tidak
mahal...?”
“Satu
juta sajah...”
Makjleb...
Seperti tamparan palu godam ke depan cermin. Prak...! cermin itu kemudian
hancur menjadi serpihan keping-keping yang tak mungkin dapat disatukan kembali.
Oh, ini bukan cerita satu-satunya secara tidak sengaja bersingungan dengan
saya. Tak jauh dari warung yang biasa saya makan, terutama jika saya pulang
agak larut. Dan ketika sudah terlalu lapar. Dua atau tiga gadis bermata sipit
yang tidak bisa cakap berbahasa Indonesia datang ke warung itu. Kadang makan
dengan sayur dan telur. Kadang malah masak mie rebus sendiri. Dengan membuang minyak
bumbunya. Kupikir mereka vegetarian. Karena setahuku ada dua jenis vegetarian
dalam ajaran Budhis. Ada yang boleh makan telur tapi tidak boleh makan bawang,
atau tidak boleh kedua-duannya.
“Sinten,
Bu?” (Siapa, Bu)
“Biasa,
Mas? Yang tinggal di situ.” Ucap sang pemilik warung sambil menunjukkan
kos-kosan di belakang hotel. Tampaknya bukan hanya komputer, bawang, kedelai
yang harus diimpor. Untuk urusan yang satu itupun negeri ini masih impor juga.
Meski hal semacam ini sudah menjadi cerita lama. Namun, aku baru sempat
menuliskannya hari ini.