Social Icons

Halaman

30 Okt 2015

Rumah Kedua

Penderitaan diciptakan untuk menaikkan derajat manusia. Bisa jadi sebaliknya. Tinggal bagaimana seseorang mampu melewati ujian tersebut. Sikap, selanjutnya-lah yang menentukan sebuah musibah itu menjadi cambuk penguat atau menjadi racun perontok kehidupan seseorang. Demikian pula dengan patah hati. Pada satu kesimpulan, akhirnya saya bisa menarik premis, bahwa patah hati itu melembutkan hati. Dan saya yakin sampai saat ini. Mungkin posisi hubungan terdekat saya dengan Tuhan, terjadi ketika saya sedang patah hati.

Entah skenario apa yang sedang Tuhan berikan pada saya saat itu. Hampir setiap persoalan saya dibenturkan pada dua arus. Dalam organisasi kepenulisan, saya harus bertemu dengan golongan abangan dan golongan puritan. Bagi saya awalnya tidak tertarik untuk terlibat langsung. Karena sedari awal saya memang tidak punya ketertarikan untuk mengelola sebuah organisasi, ikut menjadi pengurus. Jika terpaksa jadi pengurus, saya lebih memilih untuk duduk dibalik layar. Berada di dapur, membantu mencuci piring, menjaga api agar masakan tidak gosong karena apinya kebesaran atau tidak matang karena apinya mati. Tak kurang dari itu.

Dalam dunia pencarian jati diri. Saya dihadapkan pada dua kutub yang saling berbenturan dan seolah-olah tidak ada titik temu sama sekali. Rasanya seperti hitam dan putih. Tak ada pilihan warna lain. Sedang saya sendiri dalam situasi seperti itu. Akhirnya saya memilih untuk keluar dari lingkaran perselisihan yang tak berujung itu. Saya memilih menjadi murid murtad. Terlempar dari lingkaran. Tidak memilih kubu satu ataupun lawannya. Dalam situasi seperti itu saya pernah menulis sebuah puisi yang saya upload ke Facebook. (nanti akan saya cari puisi tersebut)

Mengurai, menganalisa, ikut terjun langsung. Ikut bergerak. Niat awal sebenarnya menjadi penengah. Mencari solusi. Ikut bergumul tapi tak ikut larut. Namun pada akhirnya setelah keterlibatan dengan persoalan yang ada di depan mata, akhirnya saya bisa menjejakkan kaki. Tepat di mana seharusnya saya mencari pijakan.

Barangkali penderitaan diciptakan Tuhan sebagai kawah pencucian diri. Sebagai kawah Candradimuka. Agar saya tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Di sela-sela itu semua. Tuhan menggiring saya ke rumah. Tempat bersandar. Tempat peristirahatan sejenak. Nunut ngiyup. Numpang berteduh untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang harus saya tempuh. Rumah itu beralamat di jalan Perintis III no 8. Komplek Pepabri, Kunciran, Pinang, Kota Tangerang. Markas para jomblo semacam Saya, Mas Ali, Soson, Ikal dan beberapa anak yang kehilangan arah hidupnya saat itu. Saya rasa begitu adanya. 

Tak ada kegiatan yang istimewa di tempat itu. Sama seperti rumah biasa pada umumnya. Pun jika malam minggu tiba. Selepas pulang dari tempat kerja saya di Mangga Dua. Saya langsung meluncur ke sana. Ngobrol di saung, makan bersama, bercanda, nonton film. Sesekali ikut diskusi dan seminar kecil-kecilan. Bagaimana cara menciptakan ide menulis. Bagaimana peluang dan media mapping. Juga berbagi trik-trik menembus media. Jika tolok ukurnya adalah menjadi penulis. Tentu saya berada di daftar urutan pertama dari peserta yang GAGAL. Dengan huruf kapital. Setidaknya sampai saat belum ada satu pun karya saya yang di muat di media cetak atau media online. Tapi, saya lebih menyukai tolok ukur bagi pribadi saya sendiri. Dari rumah itu saya menemukan banyak hal. Saya menemukan rumah, bukan sekedar tempat singgah. Menemukan keluarga bukan sekedar teman satu kepentingan.

Lalu apa saja kegiatan di sana? Biasanya malam minggu kami mengadakan “pengajian.” Mungkin bukan pengajian semacam khalayak ramai. Melainkan hanya ngobrol tentang diri, berkelakar dengan hal-hal kecil semisal (mohon maaf) berlomba dengan besar-besaran bunyi kentut. Bercerita tentang masa lalu. Mengasyikkan sekali. Pada akhirnya kami seperti menguliti diri sendiri. Untuk kemudian berdamai dengan masa lalu. Pernah sekali waktu saya dipaksa tampil dalam sebuah wawancara televisi lokal. Sebelumnya saya sedang bersih-bersih. Merapikan sampah dan piring. Oleh Bunda Era (FYI= di rumah ini kami memanggil dengan sebutan “Panda dan Bunda”. Buat lucu-lucuan aja. Tapi serius. Kami sudah menganggap bahwa pemilik rumah itu adalah ayah dan ibu kami sendiri). Saya dipanggil. Ditodong dengan microphone. Dalam barisan bangku itu. Fhia, Mas Andi “joy” terjal, Saya dan Mas Soson.

“Sampai sejauh ini, karya apa yang sudah anda terbitkan?”
Skak mat. Memasuki pertanyaan itu saya sempat tertohok. Seperti ujung belati yang menempel di tenggorokan. Saya terdiam sesaat. Kemudian menjawab, “Kalau karya sebenarnya ada Ikal yang entah kemana, sama satu lagi, adik saya yang paling ujung. Cerpennya sudah dimuat di majalah.”
“Kalau bagi mas sendiri. Apa arti FUN Institut?” Itu Mas wartawannya sudah ngejar dengan pertanyaan menohok. (Semisal, “Buruan cepet kawinin aku. Kalau tidak tak panggilin satu RT buat ngeroyok kamu.”)
“Karena saya perantauan. Anak kos. Saya menemukan rumah kedua di sini. Di sini sudah seperti rumah saya sendiri. Saya bebas berbuat apa saja. Tak perlu sungkan. Jaim seperti kebanyakan orang Jawa. Harus punya unggah-ungguh. Dan yang terpenting. Di rumah ini saya menemukan diri saya sendiri.”
Peristiwa itu terjadi saat perayaan ulang tahun pertama Fun Institut. Wawancara dilakukan setelah acara melukis bagi anak-anak TK dan pemotongan tumpeng. Satu atau dua tahun yang lalu. 

***

Luka di masa lalu bisa saja menjadi kenangan penuh senyum. Saat di dalam kamar. Sendiri. Atau saat berkendara. Ketika tak ada teman yang bisa diajak bicara. Tiba-tiba kenangan lahir membentuk makhluk bernama senyum. Ya, semua akan indah pada waktunya. Nampaknya anggota rumah itu terus bertambah, seiring dengan berjalannya waktu. Bergerak menambah kemanfaatan bagi orang lain. 

“Jika telah selesai dengan dirimu. Maka lebarkanlah sayap kebahagiaan itu untuk orang lain.”
 “Biarkan saja orang mau bicara apa tentang kita. Diamkan saja. Bukankah kebencian adalah cinta yang tak mengenali dirinya sendiri. Kebencian adalah cinta yang menyembunyikan wajahnya. Kebencian adalah cinta yang masih mencari ruang.”
“Jangan terlalu lama menjadi ulat bulu. Sesegeralah menjadi kupu-kupu yang menyenangkan orang lain.”
“Silakan makan sekenyangnya di rumah ini. Mau nginep. Pindah kos di sini juga nggak apa-apa.”
“Belajar dan bacalah apa saja. Belajarlah dari siapa saja. Sebab kita tidak tahu perputaran roda nasib. Perbanyaklah referensi. Menjiplak, meniru, copy the master itu boleh dan sah-sah saja. Dalam hal untuk belajar. Namun, ketika kau telah selesai dengan itu semua. Jadilah dirimu sendiri.”

 Kalimat-kalimat itu terbang mencari tuannya. Menjadi kupu-kupu imajinasi di dalam kepala saya. Hei... Kamu. Iya, kamu. Apakah kau ingat momen-momen itu? Tertawa riang, makan rujak bareng, bingung mencari rongga tersisa di perut karena makanan yang berlimpah. Menertawai cerita apa saja. Sebab hidup ini cuma sebentar. Berbahagialah dengan yang sederhana.  

Tumpengan ultah 1 FI


 Wawancara dadakan tanpa skenario


Menikmati makan siang di saung


                                           Sok serius sekali Bapak yang satu ini :D


Mahatir, kemana saja kau?


Tebar pesona ala Mas Ali :D



   Pada serius perkenalannya. Mbak Ega langsung promo microsolnya yang uenak itu.


Nih, dicatet yang mau buat acara pelatihan menulis di sekolah, kampus atau komunitas menulis di tempat masing-masing, Gaes...

                                      Lama-lama Ikal kok jadi cemburu juga, ya... :D


Tak ada kata kelaparan di FI. Alhamdulillah...


Es kelapa mudanya laris. Apalagi wanita muda... Hehe...

"Berbagi itu puncak dari Cinta," kata Kang Tep.


Ultah FI ke-3


Tumpengan lageee...


Masih kaku aja. Sini Mbak Vitri contohin :D


Tinggal dipilih mana yang layak jadi putri Indonesia tahun 2015.


Berbagi di rumah yatim-piatu. 


Biar kelihatan hobi baca. Numpang eksis salah satu rak buku koleksi FI

29 Okt 2015

Secuil Kisah Hachi dan Piko



Anggap saja tulisan ini sebagai pengobat rindu bagi penggemar saya. (Ceileh... Sok ngartis banget, yak). Padahal mah yang mengunjungi blog juga nggak ada. Tapi biarlah. Sesekali menghibur diri sendiri. Dari pada nungguin orang lain yang memuji bisa tambah sakit hati :D. 

Ok Gaes. Kita mulai dengan kisah ringan, seringan snack harga gopek-an. Menikah menyeret seseorang ke dalam frekuensi yang berbeda. Hanya dalam hitungan bulan saya merasakan hal tersebut. Segala hal dipacu. Hal yang tadinya bisa dianggap santai, khas saya sedari dulu. menganggap enteng. Yah, gampang, nanti juga ada, kini seolah-olah harus diperhitungkan dengan matang. Harus cepat dan tanggap ala bapak-bapak pemadam kebakaran.

Dulu saya tergolong orang yang intoleran terhadap diri sendiri. Anggap saja kalau di dalam dunia elektronika maka nilai toleransinya dilambangkan dengan nilai emas. Nilai toleransi yang terkecil. Lebih gampangnya saya itu tipe perfeksionis. Tapi tulisan ini tidak sedang membicarakan tentang pernikahan dan sejenisnya. Atau tiba-tiba saja saya mau mengkampanyekan menikah di usia dini, dengan mengutip satu dua ayat. Mudah-mudahan saja saya tidak seperti itu, Gaes. Menikah itu seperti hujan. Ya, hampir semuanya seperti peristiwa di dunia ini. Jika kita benar-benar yakin bahwa ada yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Apa yang disebut dengan garis takdir itu tidak bisa dimajukan dan dimundurkan. Tidak bisa ditolak kalau sudah ketetapan. Yang namanya usaha maksimal pun belum tentu menghasilkan buah sebagai mana rencana kita sebelumnya. Bukan begitu saudara-saudaraku sekalian. Sebangsa* dan semaksiat :D. Ups... kalimat ini belum disensor. 

Menikah itu mengayakan. Benar adanya. Bukti kecilnya adalah sekarang saya punya tiga ekor kucing lucu-lucu. Induknya bernama Hachiko. Istri saya ngefans berat dengan kisah anjing Jepang yang inspiratif itu. hingga menamai kucing kesayangannya Hachi. Hachi adalah sosok ‘primadona’. Untungnya dalam dunia perhewanan tidak dikenal dengan istilah perkawinan. Jadi anggap saja yang mengikuti gaya seperti itu tak jauh beda dengan yah... itu tadi (dalam bahasa kita, Hachi itu wanita murahan, sering gonta-ganti pasangan). :P

Di balik itu Hachi adalah sosok ibu yang kuat. The Strong women. Sampai sejauh ini dia telah mengalami tujuh kali persalinan. Jika ditotal keseluruhan seharusnya Hachi sudah mempunyai 14 anak. Dan jika dia sosok ibu yang materialis bisa saja dari ke-14 anaknya itu dia kirim ke Arab, Hongkong, Taiwan, atau ke Malaysia untuk menjadi TKW atau TKI. (Hehe... Becanda yak. Bagaimanapun saya salut kepada para TKW dan TKI yang hebat-hebat itu). Sayangnya sampai saat ini, anak Hachi hanya tersisa dua ekor. Selebihnya ada yang meninggal, diculik orang, dibuang tetangga, ada juga yang sengaja ditelantarkan majikannya dengan cara yang sadis. Di buang di sekolahan. Eksekutor pembuangan itu adalah Imam. Adik Ipar saya yang imut. Jadi jika ada komnas perlindungan kucing. Maka Adik saya dan saya bisa dikenakan pasal berlapis. Karena dengan terencana melakukan skenario pembuangan itu. Sebenarnya sih kasihan. Tapi berhubung rumah kami masih sederhana. Jadi tidak bisa menampung terlalu banyak anak ‘haram’ hasil hubungan gelap Hachi dengan beberapa pacarnya. Eh, nggak tahu juga sih. Hachi mungkin sudah melakukan nikah siri, nikah mut’ah atau sengaja mengikuti program poliandri. Itu sih sampai saat ini belum saya temukan bukti kuat yang menyatakan soal itu. Nanti kalau saya sempet gila, bisa  saya cek di KUP terdekat. (Kantor Urusan Perkucingan). Siapa tahu di dalam dunia perkucingan tidak riweh soal Hachi itu Syi’ah, Syi’ Beh, atau Syi’ Ceh.

Setidaknya salah satu do’a dan harapan saya terkabul. Dulu saya ngidam sekali memelihara anjing. Sayangnya dalam aturan agama saya, Anjing termasuk binatang yang repot kalau dipelihara. Karena harus bla... bla... bla... Namun harapan itu seolah dijawab Tuhan langsung. Seperti layaknya anjing. Kucing dan mungkin binatang lain pun bisa setia seperti itu. asal kita rawat dan kita “openi” dengan apik, maka dia akan nurut. Awalnya sih ribet juga karena sering berak dan kencing di sembarang tempat. Istri saya yang google holic, akhirnya menemukan artikel yang bagus dengan cara membuat Hachi beserta Piko (anaknya yang masih bertahan hidup sampai sekarang) lebih bermoral dan beradab. Meski saya yakin Hachi dan Piko nggak mungkin hapal Pancasila. Sejak menemukan artikel itu Hachi dan Piko tahu di mana dan kapan tempat yang pantas buat buang keinginan (baca= hajat). Barangkali ini adalah kalimat sufistik sekali. Bahwa sebenarnya hajat atau keinginan yang kita bela-belain dengan pertumpahan darah itu, dalam kondisi tertentu tak lebih berharga dari itu tadi, “kotoran” kita masing-masing. (maaf yak. Buat yang lagi makan). Dengan syahdu. Kini Hachi dan Piko bisa pepsi dan pup di kamar mandi. Prok... prok... prok buat istri saya.

Kelebihan lain dari Hachi dan Piko adalah soal tata cara penyambutan dan pelepasan. Seolah tak mau kalah dengan adengan film Hollywood. Setiap pulang dan pergi dari bekerja. Hachi dan Piko seolah-olah memberikan salam perpisahan dan ucapan selamat datang, dengan cara berdiri di depan pintu sampai saya atau anggota keluarga yang lain pergi. Jika pulang kebiasaan Piko dalah mengendus-endus kaki.

Dulu saya kagum dengan kisah Buya Hamka dengan kucingnya. Yang setia mengantarkan beliau ke surau atau masjid. Menunggui sampai selesai sholat. Tapi setelah punya kucing, saya kira itu bukanlah hal yang istimewa. Karena kucing saya juga begitu. Pernah satu dua kali ikut mengantarkan saya ke musholla (Pas kebetulan saja. Saya ini jarang sholat berjama’ah di musholla. Semoga Tuhan mengaruiakan hidayah itu secepatnya *_*). Nah, Si Piko juga ikut “nginthil” di belakang saya. Cuma di pertigaan jalan dia berhenti. Mengendus-endus di tembok. Saya rasa itu sudah melewati daerah teritorial kekuasaannya. Karena dia hanya berdiri di situ. Tak berani melanjutkan perjalanan ke barat untuk mengambil kitab suci. :P.

Bukan hanya sekali, melainkan sering. Hachi atau Piko naik ke kasur, mengendus-endus kaki dan pipi membangunkan saya sholat Subuh. Atau jika saya kembali terlelap sehabis subuh maka hal serupa itu dilakukan keduanya untuk membangunkan saya. Seolah mereka berkata, “Bangun pemalas. Sudah saatnya berangkat bekerja.” 

Terus endingnya apa? Pesan moralnya apa? Carilah sendiri apa yang tersirat dalam cerita saya. Saya kira sudah pada gede. Jadi silakan mengambil kesimpulan masing-masing. Doakan saya biar rajin berjama’ah di musholla yak. Itu inti dari cerita ini. Sekian dan Salam Kuper!


 
    Gambar Hachi waktu masih bohai


Gambar anak-anak persalinan pertama Hachi. Lihat saja sendiri. Itu Bapaknya pasti beda-beda :D

12 Feb 2015

Surat Lampu Merah Ayat Satu (Bukan Kitab Suci)



“Berusahalah membaca ayat Tuhan yang ada di sekelilingmu.”
“Caranya gimana, Mas?”
“Kamu kan dibekali mata, telinga, kepala untuk berfikir dan hati untuk merasa. Gunakanlah sebaik-baiknya. Berusahalah sekuat-kuatnya, Tuhan tidak melihat hasil, Tuhan seringkali melihat seberapa kita berusaha dan sampai level mana kita pasrah pada takdir.”

Tiba-tiba saja ingatan percakapan itu menyeruak. Di bawah rinai hujan yang jatuh rintik-rintik. Kukira memang hujan memang jatuh dari langit, bukan turun dari langit. Kalau turun, mestinya jaraknya tidak terlalu tinggi. Bunyi klakson terdengar dari mobil dan sepeda motor di belakangku. Aku berada di barisan kedua. Di perempatan lampu lalu-lintas Hotel Golden Truly. Arah Senen menuju Ancol. “Woi... itu sudah lampu hijau!” teriak dari salah satu pengendara motor yang tak sabar dari belakang. Bunyi klakson semakin riuh. Susul-menyusul.

Kusapu kacamataku yang berembun. Sambil menghela nafas. Aku bayangkan kemacetan jalan adalah negeri ini. Sedang orang-orang yang di barisan depan, terdekat dengan lampu lalu lintas adalah orang-orang yang berada di dalam barisan terdepan suatu masalah. Bisa jadi kepala negara, ketua organisasi, atau kepala sebuah institusi tertentu. Meski disadari setiap lampu lalu-lintas telah diprogram sedemikian rupa, menggunakan “waktu tunda” atau waktu toleransi dari setiap arahnya, tetap saja ada yang menyerobot. 

Anggap saja lampu lalu lintas adalah rambu-rambu, hukum, peraturan atau AD/RT dalam sebuah organisasi. Lihat dan tentukan posisi anda berada di mana? Apakah anda berada di belakang barisan, tengah atau di barisan terdepan. Orang yang berada di baris belakang bisa saja melihat bahwa lampu lalu-lintas sudah menyala hijau, tapi apakah mereka tahu bahwa ada orang tua yang menyebrang, ada pedagang kaki lima yang menyebrang, atau lebih seringnya sisi jalur lain sedang macet, hingga menutupi jalan yang seharusnya dilewati jalur lain.

Jika saja kita saling menyadari posisi kita dalam bernegara, kelompok atau dalam sebuah pertandingan olah raga. Tentu posisi kita menentukan langkah apa yang paling tepat untuk kita lakukan. Sekali lagi, tentu kita akan bisa berpikir panjang dan mempunyai nilai “ngrumangsani” punya nilai sadar diri. Di mana posisi kita. Apakah kita pemain atau penoton di balik kaca jendela. Kalau ternyata kita sadar posisi bahwa kita adalah penonton, maka selayaknya kita bisa menjaga diri dan tidak asal mbacot.

26 Jan 2015

Cinta Itu Hanya Cemilan



“Salah satu kesalahan yang umum terjadi di masyarakat saat ini adalah kehilangan sudut pandang.”
“Contohnya apa, Mas?” Sahutku sambil meraih secangkir teh panas di atas meja.
“Satu dari sekian hal yang dapat kutemukan saat ini adalah kita telah kehilangan ukuran. Kehilangan patokan. Kita sudah tak bisa lagi membedakan mana yang pokok dan mana yang bukan. Mana yang utama dan mana yang kebutuhan tambahan.”

Saya terus mencoba memahami ke mana obrolan ini akan bermuara. Langit seputih santan. Sesendu perawan yang dirundung kesedihan karena ditinggal pergi sang mantan.

“Bisa diperjelas, Mas? Maklumlah ngobrol sama saya ini kudu gamblang. Biar sepulang dari sini saya nggak salah tafsir dan bikin agama baru... Hehe...”
“Hahah... Maksudku begini. Sebagian dari kita sudah terjebak dalam kebingungan. Karena itu tadi, tidak bisa membedakan mana yang harus dikerjakan, mana yang dianjurkan untuk dikerjakan, mana yang boleh, mana yang dianjurkan, mana yang harus ditinggalkan demi kebaikan.”
“Contoh yang spesifik, Mas?”
“Contoh yang paling sederhana. Dan yang paling kaprah di masyarakat, terutama kalangan muda saat ini adalah cinta?”
“Nah, kalau sudah ngomingin cinta, ini pasti menarik, Mas.”
“Ngomong-ngomong kamu waktunya longgar apa nggak?”
“Lumayan, Mas. Paling nanti habis Ashar ada temen yang mau main ke rumah.”
“Oh, yo wis kalau begitu. Kamu mesti nunggu istri saya sebentar, biar kewajiban saya sebagai tuan rumah saya laksanakan.”
“Mbak’e tehnya diminum, monggo...?”
“Anu, Mas... Istri saya ini nggak bisa minum atau makan-makanan panas. Nanti kalau sudah dingin juga diminum.”
“Oh, bagus itu. Itu juga salah satu contoh bagaimana kita melupakan hak-hak gigi kita. Seringnya habis makan bakso langsung minum es teh. Ya sudah paling umur tiga puluhan giginya sudah pada rampal...”

            Hari itu sedari pagi cuaca mendung. Kami melanjutkan obrolan ke sana- ke mari. Tiap pulang kampung ke Sragen, tepatnya di dusun yang bila mana saya tuliskan, kamu juga nggak akan tahu. Meski tentunya ada seorang teman dekat saya yang akan menyebut saya nglunjak ngaku-ngaku kampungnya di Sragen, padahal itu kota kabupaten, sedang kampung saya masih di perbatasan, tapi biarlah demikian adanya. Selain rumah di mana saya dibesarkan, rumah Mas Khoirul Ma’ruf adalah rumah yang “wajib” saya kunjungi. Rasanya tidak komplit kalau pulang kampung tidak mampir ke sana.

“Menurutmu cinta itu hal yang pokok atau enggak dalam sebuah rumah tangga?”
“Kalau menurut saya sih nggak tahu, Mas? Hehe...” Saya memasang tampang paling bodoh sedunia.
“Orang jaman sekarang ini menaruh posisi cinta itu segaris di bawah peringkat nabi dan Tuhan. Bahkan kadang-kadang bisa lebih tinggi dari itu. Lha gimana lagi, anak jaman sekarang ini demi apa yang dinamakan cinta sudah habis-habisan dibela. Kadang nggak pakai logika lagi. Coba kamu cek lagi, apakah ada dalam rukun nikah itu mencantumkan cinta sebagai syarat wajib? Cek lagi hadits yang menyebutkan memilih minimal satu di antara empat; nikahilah karena hartanya, garis nasab, kecantikannya dan karena agamanya? Yang kaprah sekarang ini kan cinta itu ditaruh di depan. Dan porsinya mendapat porsi yang paling besar.”
“Bener juga, ya, Mas?”
“Coba tanya istri saya nanti. Apakah awalnya saya mencintai dia? Nggak. Yang pasti waktu itu saya katakan padanya bahwa bahkan sampai detik ini aku tidak mencintai kamu, tapi aku akan menikahi kamu. Nah, kalau Mbak sendiri kenapa mau menikah dengan Agus?”
“Ehm... mungkin karena pelet, Mas.”
“Haha...” Kami bertiga serempak tertawa.
“Posisi cinta dalam sebuah rumah tangga itu kan nggak beda seperti cemilan dalam strata pokok makanan. Cinta itu cuma snack, bukan nasi, gandum atau jagung. Sekali lagi posisi dan kualitas cemilan nggak bisa menggantikan makanan pokok. Makanya wajar kalau sekarang ada pasangan yang baru nikah dua atau tiga tahun terus cerai dengan alasan sudah nggak ada cinta lagi, sudah nggak ada kecocokan satu sama lain. Ya iyalah... wong menikah itu adalah menggabungkan dua orang yang berbeda karakter, berbeda pemikiran, beda jenis kelamin.”
“Tapi sekarang marak nikah sesama jenis lho, Mas?”
“Wah kalau itu jangan dibahas di sini, nanti bisa-bisa dituduh ortodok. Salah satu alasan yang menjadi penting dalam sebuah pernikahan adalah komitmen. Janji untuk hidup bersama. Baik saat miskin atau pun kaya, saat susah atau pun senang, saat masih cantik atau sudah keriput dan gembrot nantinya. Nah, kalau itu sudah dipegang kedua belah pihak insya Alloh langgeng rumah tangganya. Yang namanya berantem, marahan pasti ada. Namanya beda kepala, beda pemikiran.”
“Sik, aku tak takon kowe, Gus? Nalare kepiye tho? Kok kowe nduwe gagasan rabi barang?” (Sebentar, aku mau nanya kamu, Gus? Logikanya gimana tho? Kok kamu punya pemikiran menikah?)
“Trus alasanmu menikah itu karena apa?”

           Saya sejenak terdiam mencari-cari alasan yang pas. Yang sekiranya pantes buat orang semacam saya. Tadinya mau saya jawab untuk melanjutkan dakwah, Mas. Tapi kok rasa-rasanya nggak pantes banget. Muka gedek seperti saya ini kok berdakwah segala. Wong sholat subuh aja sering kesiangan. Mau saya jawab karena ke gap Pak Hansip, nanti nggak enak sama istri saya. Setelah berpikir keras, maka dengan tegas dan gagah berani saya menjawab; “Saya menikah demi melestarikan kelangsungan hidup generasi jomblo di masa yang akan datang, agar mereka tidak punah, Mas?” :P

*. Khoirul Ma’ruf adalah seorang konsultan rumah tangga. Semasa mudanya selama enam bulan pernah melakukan perjalanan berkeliling pulau Jawa dengan berjalan kaki. Suami dari Ana Saptarini ini mempunyai cita-cita membuka sebuah fakultas Rumah Tangga di perguruan tinggi atau sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah menengah umum. Ia sangat percaya bahwa rumah adalah pusat dari tata negara yang sebenarnya. Sebab pentingnya perihal tersebut kenapa sampai sekarang tidak ada perguruan tinggi, sekolah atau pesantren yang memasukkan pelajaran Rumah Tangga beserta permasalahannya ke dalam mata pelajaran. Di sela-sela waktunya menjadi salah satu idetor di sebuah pondok pesantren beliau sering menghabiskan waktunya membaca buku-buku sastra, filsafat, dan salah satu pengagum karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Jika anda mempunyai permasalahan seputar rumah tangga silakan konsultasi dengan beliau. Bisa mampir ke rumah beliau yang beralamat di desa Pilang tengah RT 13, Masaran, Sragen, Jawa Tengah.

Apa yang saya tulis merupakan hasil ngobrol ngalor ngidul dengan beliau. Semoga bermanfaat terutama sebagai pengingat bagi diri saya sendiri. Seperti kalimat yang dituturkan Sayyidina Ali, Ikatlah ilmu dengan menuliskanya. Semoga menjadi catatan kecil yang tak hilang ditelan waktu. seperti kata orang Jawa. Verba Valent, Scripta Manent. Terima kasih. Semoga hidup anda selalu dilimpahi kebahagian dan karunia manfaat bagi orang lain. Salam.




           




 
 
Blogger Templates