Social Icons

Halaman

2 Mei 2014

Review Film City Of Angels



“Aku tak pernah berdoa. Tapi, jika kau mengeluarkanku dari keadaan ini.  Akan kulakukan setelah ini.”

Perempuan berambut pirang itu khawatir. Ditambah lagi ketika dilihatnya thermometer menunjukkan angka 105 derajat. Kamar temaram. Hanya secuil cahaya menerangi dari jendela yang setengah terbuka. Angin menggoyangkan tirai.

“Oh, Tuhan, 105 derajat. Baiklah aku akan membawanya ke kamar mandi dan menelpon dokter.”

Di atas tempat tidur. Susan, gadis mungil berusia tujuh tahun itu mengulurkan tangan kirinya, mencoba meraih tangan Lelaki berpakaian serba hitam. Lelaki itu duduk di samping ranjang. Datang untuk menjemput Susan. Tapi, ibunya tak dapat melihat sosok lelaki itu.

 “Dingin…”                                                                              
“Aku tahu, Nak. Bertahanlah.”

Dengan tergesa ibunya merendam Susan ke dalam sebuah bath up. Kemudian segera menekan sederet angka telepon genggamnya.

“Dingin sekali, Bu…” Erang Susan sambil menangis.
“Susan.. Susan…!”

Dialog di atas adalah scene pembuka film, “City of Angel.” Entah sudah berapa kali saya menontonya. Mungkin lebih dari sepuluh kali. Pertama kali saya menontonnya ketika film itu diputar di salah satu stasiun televisi. Setelah dibawa ke rumah sakit, akhirnya Susan meninggal.

Dari balik kaca, kamar rumah sakit. Arwah Susan berdiri mengamati ibunya yang menangis. Di atas ranjang beroda, tubuhnya ditekan-tekan dengan alat pemicu jantung. Dua orang perawat menekan-nekan dadanya. Di samping Susan berdiri sosok berpakaian serba hitam yang ditemuinya di dalam kamarnya beberapa waktu yang lalu.

“Apakah kamu Tuhan?”
“Tidak, namaku Seth.”
“Kemana kita akan pergi?”
“Ke rumah”
“Can Mommy come?” (ini salah satu adegan yang saya sukai)
“Apakah ibu akan mengerti?”
“Ya, dia akan mengerti… Suatu hari nanti.”
Keduanya berjalan bergandengan tangan. Berjalan melewati koridor rumah sakit
“Bisakah aku menayakan sesuatu?”
“Ya?”
“What do you like best?”
“Pajamas”

Bintang utama film ini adalah Nicholas Cage sebagai Seth Plate dan Meg Ryan sebagai Maggie Rice. Seth Plate adalah malaikat yang yang akhirnya jatuh cinta kepada sosok Maggie. Seorang doktor spesialis yang idealis, cantik, berkarakter kuat, cekatan sekaligus “angkuh.” Sejauh berkarier sebagai seorang dokter Maggie belum pernah sekalipun gagal dalam menangani pasiennya. Sampai akhirnya seorang lelaki meninggal di meja operasinya. Kegagalan itu membuat Maggie depresi. Terlebih setelah dia dengan berat hati mengatakan kepada keluarga si pasien bahwa suaminya tidak dapat diselamatkannya.

“Harusnya dia hidup. Ini text book sekali.” Di tangga darurat Maggie kembali menyesali kekeliruannya tentang kondisi pasienya. Lalu sedikit demi sedikit dia menyadari kekeliruannya tentang hidup dan mati. Bahwa apa yang diusahakannya. Apa yang dilakukannya sebagai seorang dokter bukanlah hal yang menyelamatkan pasiennya. Pada satu kesimpulan bahwa dia tidak berkuasa atas hal apapun mengenai hidup dan mati pasien di mejanya.

Seth Plate adalah malaikat yang bertugas mendampingi manusia.  Dia tertarik sekali dengan sisi-sisi kemanusiaan. Mulai dari menyentuh tangan, mengecap rasa, hingga akhirnya dia jatuh cinta pada Maggie. Sejauh ini Seth Plate selalu mengawasi gerak-gerik Maggie. Membuntuti ketika Maggie putus asa. Hingga suatu saat mereka akhirnya bisa bertemu. Serendipitious, yakni kondisi di mana dua dunia yang berbeda itu bisa terhubung. Maggie bisa melihat Seth Plate sebagaimana manusia.

Tatapan mata Seth Plate yang cool dan pertanyaan yang terkadang “konyol” membuat Maggie merasa nyaman. Seth Plate sering bertanya tentang bagaimana rasa buah Peer. Karena di dunia malaikat tak pernah tahu apa itu rasa. Film ini beberapa kali menampilkan buku Ernest Hemingway, “Moveable Feast.” Malaikat adalah sosok yang menyenangkan bagi siapa saja termasuk Earl. Anjing milik Maggie. 

Selama di rumah sakit Seth Plate bertemu dengan Nathaniel Messinger. Seorang malaikat yang lebih dulu melakukan tranformasi. Messinger jatuh cinta pada Hanna. Dan pada akhirnya dia jatuh dari ketinggian dan memilih menjadi manusia. Messinger mempunyai keluarga yang bahagia. Dan sudah mempunyai anak dan cucu.

Selalu ada pemahaman yang baru, ketika saya menonton ulang film ini. Saya menemukan banyak sekali kata-kata indah di dalamnya. Suatu ketika Seth Plate dan Cassiel, teman sesama malaikat mengadakan ritual rutin. Yakni mendengarkan suara suci yang hanya di dengar saat matahari terbit dan tenggelam. Dia menceritakan bahwa Susan ingin sekali menjadi malaikat. 

“Katakan saja bahwa manusia dan malaikat itu berbeda,” jawab Cassie.
“Tidak semudah itu mengatakannya pada anak kecil. Pernah ada keinginanku untuk memberikannya sayap kertas. Tapi Susan menjawab. Apa gunanya punya dua sayap yang tidak bisa menerbangkanmu, dan kau tak bisa merasai angin yang menerpa wajahmu.” 

Beberapa kebiasaan malaikat adalah berkumpul di perpustakaan kota. Di perpustakaan, Maggie pamit pada Seth Plate. Bahwa dia akan menikah dengan pacarnya. Karena dia dan pacarnya sama-sama manusia. Karena dorongan inilah Seth Plate akhirnya memutuskan untuk jatuh dari gedung tinggi dan menjadi manusia. Setelah menjadi manusia dia lari ke rumah sakit. Di tengah jalan dia berusaha bertanya pada tiga orang perempuan China pengasuh bayi. Sayangnya setelah menjadi manusia kemampuan mengetahui semua bahasa, pergi secepat kilat, membaca pikiran dan kemampuan lainnya lenyap. Jadi terasa lucu. Ketika para pengasuh bayi itu marah-marah dalam bahasa China. Sama lucunya ketika seorang menyanyikan lagu dengan gitar kecil, “Spiderman… Spiderman, Where are you, Spiderman,” dalam fil Spiderman pertama.

Adegan lucu juga terjadi di awal film. Saat Maggie selesai mengoperasi, saat membereskan peralatan operasi, seorang perawat berkata, “Sial, di mana sponnya?” (hehe… kejadian mal praktek yang sering terjadi di beberapa kasus rumah sakit). 

Sayangnya film ini berakhir dengan suul khotimah :P alias sad ending, sesaat ketika akhirnya Seth Plate berlari mencari Maggie dan setelah mereka bertemu. Pagi harinya Maggie menabrak sebuah truk besar yang memuat kayu gelondongan. Maggie meninggal di pelukan Seth. Sebelum meninggal Maggie berkata pada Seth. Bahwa jika nanti ada malaikat yang bertanya, apakah yang aku sukai, aku akan menjawab; kamu.

*****

“Aku tak dapat melihatmu, tapi aku dapat merasakan bahwa kau disana.” Kalimat ini diucapkan lebih dua kali di dalam film ini. Pertama ketika Seth Plate menunggui Messinger. Dan kedua di beberapa menit sebelum ending, percakapan antara Cassiel dengan Seth setelah pemakaman Maggie.

Di akhir cerita Cassie menemui Seth Plate yang sedang bersedih. 

“Apakah Tuhan akan menghukumku?”
“Kau lebih tahu dari pada aku. Inilah kehidupan. Kau hidup sekarang. Dan suatu hari kau akan sekarat… Seperti apa rasanya?”
“Apa?”
“Kehangatan?”
“It’s wonderfull”
“Jika kau menyadari dari awal bahwa semua akan terjadi seperti ini, apakah kau tetap akan melakukannya?”
“Lebih baik sekali aku bisa membaui rambutnya, menciumnya, menyentuh tangannya daripada hidup abadi tanpa pernah bisa merasakannya…. Sekali saja.”

 Pesan kuat dari film ini adalah penggambaran bagaimana dahsyatnya kekuatan cinta. Cinta mampu membuat malaikat melepaskan jubah kesuciannya, jubah keabadiannya dan rela menderita menjadi manusia. Juga pesan religius bahwa pada hakikatnya apapun yang kita lakukan sejatinya kita tidak dapat menentukan hasil akhirnya. Empat jempol saya untuk film ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates