Social Icons

Halaman

26 Jan 2015

Cinta Itu Hanya Cemilan



“Salah satu kesalahan yang umum terjadi di masyarakat saat ini adalah kehilangan sudut pandang.”
“Contohnya apa, Mas?” Sahutku sambil meraih secangkir teh panas di atas meja.
“Satu dari sekian hal yang dapat kutemukan saat ini adalah kita telah kehilangan ukuran. Kehilangan patokan. Kita sudah tak bisa lagi membedakan mana yang pokok dan mana yang bukan. Mana yang utama dan mana yang kebutuhan tambahan.”

Saya terus mencoba memahami ke mana obrolan ini akan bermuara. Langit seputih santan. Sesendu perawan yang dirundung kesedihan karena ditinggal pergi sang mantan.

“Bisa diperjelas, Mas? Maklumlah ngobrol sama saya ini kudu gamblang. Biar sepulang dari sini saya nggak salah tafsir dan bikin agama baru... Hehe...”
“Hahah... Maksudku begini. Sebagian dari kita sudah terjebak dalam kebingungan. Karena itu tadi, tidak bisa membedakan mana yang harus dikerjakan, mana yang dianjurkan untuk dikerjakan, mana yang boleh, mana yang dianjurkan, mana yang harus ditinggalkan demi kebaikan.”
“Contoh yang spesifik, Mas?”
“Contoh yang paling sederhana. Dan yang paling kaprah di masyarakat, terutama kalangan muda saat ini adalah cinta?”
“Nah, kalau sudah ngomingin cinta, ini pasti menarik, Mas.”
“Ngomong-ngomong kamu waktunya longgar apa nggak?”
“Lumayan, Mas. Paling nanti habis Ashar ada temen yang mau main ke rumah.”
“Oh, yo wis kalau begitu. Kamu mesti nunggu istri saya sebentar, biar kewajiban saya sebagai tuan rumah saya laksanakan.”
“Mbak’e tehnya diminum, monggo...?”
“Anu, Mas... Istri saya ini nggak bisa minum atau makan-makanan panas. Nanti kalau sudah dingin juga diminum.”
“Oh, bagus itu. Itu juga salah satu contoh bagaimana kita melupakan hak-hak gigi kita. Seringnya habis makan bakso langsung minum es teh. Ya sudah paling umur tiga puluhan giginya sudah pada rampal...”

            Hari itu sedari pagi cuaca mendung. Kami melanjutkan obrolan ke sana- ke mari. Tiap pulang kampung ke Sragen, tepatnya di dusun yang bila mana saya tuliskan, kamu juga nggak akan tahu. Meski tentunya ada seorang teman dekat saya yang akan menyebut saya nglunjak ngaku-ngaku kampungnya di Sragen, padahal itu kota kabupaten, sedang kampung saya masih di perbatasan, tapi biarlah demikian adanya. Selain rumah di mana saya dibesarkan, rumah Mas Khoirul Ma’ruf adalah rumah yang “wajib” saya kunjungi. Rasanya tidak komplit kalau pulang kampung tidak mampir ke sana.

“Menurutmu cinta itu hal yang pokok atau enggak dalam sebuah rumah tangga?”
“Kalau menurut saya sih nggak tahu, Mas? Hehe...” Saya memasang tampang paling bodoh sedunia.
“Orang jaman sekarang ini menaruh posisi cinta itu segaris di bawah peringkat nabi dan Tuhan. Bahkan kadang-kadang bisa lebih tinggi dari itu. Lha gimana lagi, anak jaman sekarang ini demi apa yang dinamakan cinta sudah habis-habisan dibela. Kadang nggak pakai logika lagi. Coba kamu cek lagi, apakah ada dalam rukun nikah itu mencantumkan cinta sebagai syarat wajib? Cek lagi hadits yang menyebutkan memilih minimal satu di antara empat; nikahilah karena hartanya, garis nasab, kecantikannya dan karena agamanya? Yang kaprah sekarang ini kan cinta itu ditaruh di depan. Dan porsinya mendapat porsi yang paling besar.”
“Bener juga, ya, Mas?”
“Coba tanya istri saya nanti. Apakah awalnya saya mencintai dia? Nggak. Yang pasti waktu itu saya katakan padanya bahwa bahkan sampai detik ini aku tidak mencintai kamu, tapi aku akan menikahi kamu. Nah, kalau Mbak sendiri kenapa mau menikah dengan Agus?”
“Ehm... mungkin karena pelet, Mas.”
“Haha...” Kami bertiga serempak tertawa.
“Posisi cinta dalam sebuah rumah tangga itu kan nggak beda seperti cemilan dalam strata pokok makanan. Cinta itu cuma snack, bukan nasi, gandum atau jagung. Sekali lagi posisi dan kualitas cemilan nggak bisa menggantikan makanan pokok. Makanya wajar kalau sekarang ada pasangan yang baru nikah dua atau tiga tahun terus cerai dengan alasan sudah nggak ada cinta lagi, sudah nggak ada kecocokan satu sama lain. Ya iyalah... wong menikah itu adalah menggabungkan dua orang yang berbeda karakter, berbeda pemikiran, beda jenis kelamin.”
“Tapi sekarang marak nikah sesama jenis lho, Mas?”
“Wah kalau itu jangan dibahas di sini, nanti bisa-bisa dituduh ortodok. Salah satu alasan yang menjadi penting dalam sebuah pernikahan adalah komitmen. Janji untuk hidup bersama. Baik saat miskin atau pun kaya, saat susah atau pun senang, saat masih cantik atau sudah keriput dan gembrot nantinya. Nah, kalau itu sudah dipegang kedua belah pihak insya Alloh langgeng rumah tangganya. Yang namanya berantem, marahan pasti ada. Namanya beda kepala, beda pemikiran.”
“Sik, aku tak takon kowe, Gus? Nalare kepiye tho? Kok kowe nduwe gagasan rabi barang?” (Sebentar, aku mau nanya kamu, Gus? Logikanya gimana tho? Kok kamu punya pemikiran menikah?)
“Trus alasanmu menikah itu karena apa?”

           Saya sejenak terdiam mencari-cari alasan yang pas. Yang sekiranya pantes buat orang semacam saya. Tadinya mau saya jawab untuk melanjutkan dakwah, Mas. Tapi kok rasa-rasanya nggak pantes banget. Muka gedek seperti saya ini kok berdakwah segala. Wong sholat subuh aja sering kesiangan. Mau saya jawab karena ke gap Pak Hansip, nanti nggak enak sama istri saya. Setelah berpikir keras, maka dengan tegas dan gagah berani saya menjawab; “Saya menikah demi melestarikan kelangsungan hidup generasi jomblo di masa yang akan datang, agar mereka tidak punah, Mas?” :P

*. Khoirul Ma’ruf adalah seorang konsultan rumah tangga. Semasa mudanya selama enam bulan pernah melakukan perjalanan berkeliling pulau Jawa dengan berjalan kaki. Suami dari Ana Saptarini ini mempunyai cita-cita membuka sebuah fakultas Rumah Tangga di perguruan tinggi atau sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah menengah umum. Ia sangat percaya bahwa rumah adalah pusat dari tata negara yang sebenarnya. Sebab pentingnya perihal tersebut kenapa sampai sekarang tidak ada perguruan tinggi, sekolah atau pesantren yang memasukkan pelajaran Rumah Tangga beserta permasalahannya ke dalam mata pelajaran. Di sela-sela waktunya menjadi salah satu idetor di sebuah pondok pesantren beliau sering menghabiskan waktunya membaca buku-buku sastra, filsafat, dan salah satu pengagum karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Jika anda mempunyai permasalahan seputar rumah tangga silakan konsultasi dengan beliau. Bisa mampir ke rumah beliau yang beralamat di desa Pilang tengah RT 13, Masaran, Sragen, Jawa Tengah.

Apa yang saya tulis merupakan hasil ngobrol ngalor ngidul dengan beliau. Semoga bermanfaat terutama sebagai pengingat bagi diri saya sendiri. Seperti kalimat yang dituturkan Sayyidina Ali, Ikatlah ilmu dengan menuliskanya. Semoga menjadi catatan kecil yang tak hilang ditelan waktu. seperti kata orang Jawa. Verba Valent, Scripta Manent. Terima kasih. Semoga hidup anda selalu dilimpahi kebahagian dan karunia manfaat bagi orang lain. Salam.




           




 
 
Blogger Templates