“Salah satu kesalahan yang umum
terjadi di masyarakat saat ini adalah kehilangan sudut pandang.”
“Contohnya apa, Mas?” Sahutku sambil
meraih secangkir teh panas di atas meja.
“Satu dari sekian hal yang dapat
kutemukan saat ini adalah kita telah kehilangan ukuran. Kehilangan patokan. Kita
sudah tak bisa lagi membedakan mana yang pokok dan mana yang bukan. Mana yang
utama dan mana yang kebutuhan tambahan.”
Saya terus mencoba memahami ke mana
obrolan ini akan bermuara. Langit seputih santan. Sesendu perawan yang
dirundung kesedihan karena ditinggal pergi sang mantan.
“Bisa diperjelas, Mas? Maklumlah
ngobrol sama saya ini kudu gamblang. Biar sepulang dari sini saya nggak salah
tafsir dan bikin agama baru... Hehe...”
“Hahah... Maksudku begini. Sebagian dari
kita sudah terjebak dalam kebingungan. Karena itu tadi, tidak bisa membedakan
mana yang harus dikerjakan, mana yang dianjurkan untuk dikerjakan, mana yang
boleh, mana yang dianjurkan, mana yang harus ditinggalkan demi kebaikan.”
“Contoh yang spesifik, Mas?”
“Contoh yang paling sederhana. Dan yang
paling kaprah di masyarakat, terutama kalangan muda saat ini adalah cinta?”
“Nah, kalau sudah ngomingin cinta,
ini pasti menarik, Mas.”
“Ngomong-ngomong kamu waktunya
longgar apa nggak?”
“Lumayan, Mas. Paling nanti habis
Ashar ada temen yang mau main ke rumah.”
“Oh, yo wis kalau begitu. Kamu mesti
nunggu istri saya sebentar, biar kewajiban saya sebagai tuan rumah saya
laksanakan.”
“Mbak’e tehnya diminum, monggo...?”
“Anu, Mas... Istri saya ini nggak
bisa minum atau makan-makanan panas. Nanti kalau sudah dingin juga diminum.”
“Oh, bagus itu. Itu juga salah satu
contoh bagaimana kita melupakan hak-hak gigi kita. Seringnya habis makan bakso
langsung minum es teh. Ya sudah paling umur tiga puluhan giginya sudah pada rampal...”
Hari
itu sedari pagi cuaca mendung. Kami melanjutkan obrolan ke sana- ke mari. Tiap pulang
kampung ke Sragen, tepatnya di dusun yang bila mana saya tuliskan, kamu juga
nggak akan tahu. Meski tentunya ada seorang teman dekat saya yang akan menyebut
saya nglunjak ngaku-ngaku kampungnya
di Sragen, padahal itu kota kabupaten, sedang kampung saya masih di perbatasan,
tapi biarlah demikian adanya. Selain rumah di mana saya dibesarkan, rumah Mas
Khoirul Ma’ruf adalah rumah yang “wajib”
saya kunjungi. Rasanya tidak komplit kalau pulang kampung tidak mampir ke sana.
“Menurutmu cinta itu hal yang pokok
atau enggak dalam sebuah rumah tangga?”
“Kalau menurut saya sih nggak tahu,
Mas? Hehe...” Saya memasang tampang paling bodoh sedunia.
“Orang jaman sekarang ini menaruh
posisi cinta itu segaris di bawah peringkat nabi dan Tuhan. Bahkan kadang-kadang
bisa lebih tinggi dari itu. Lha gimana lagi, anak jaman sekarang ini demi apa
yang dinamakan cinta sudah habis-habisan dibela. Kadang nggak pakai logika
lagi. Coba kamu cek lagi, apakah ada dalam rukun nikah itu mencantumkan cinta
sebagai syarat wajib? Cek lagi hadits yang menyebutkan memilih minimal satu di
antara empat; nikahilah karena hartanya, garis nasab, kecantikannya dan karena
agamanya? Yang kaprah sekarang ini kan cinta itu ditaruh di depan. Dan porsinya
mendapat porsi yang paling besar.”
“Bener juga, ya, Mas?”
“Coba tanya istri saya nanti. Apakah awalnya
saya mencintai dia? Nggak. Yang pasti waktu itu saya katakan padanya bahwa
bahkan sampai detik ini aku tidak mencintai kamu, tapi aku akan menikahi kamu.
Nah, kalau Mbak sendiri kenapa mau menikah dengan Agus?”
“Ehm... mungkin karena pelet, Mas.”
“Haha...” Kami bertiga serempak
tertawa.
“Posisi cinta dalam sebuah rumah
tangga itu kan nggak beda seperti cemilan dalam strata pokok makanan. Cinta itu
cuma snack, bukan nasi, gandum atau jagung. Sekali lagi posisi dan kualitas
cemilan nggak bisa menggantikan makanan pokok. Makanya wajar kalau sekarang ada
pasangan yang baru nikah dua atau tiga tahun terus cerai dengan alasan sudah
nggak ada cinta lagi, sudah nggak ada kecocokan satu sama lain. Ya iyalah...
wong menikah itu adalah menggabungkan dua orang yang berbeda karakter, berbeda
pemikiran, beda jenis kelamin.”
“Tapi sekarang marak nikah sesama
jenis lho, Mas?”
“Wah kalau itu jangan dibahas di
sini, nanti bisa-bisa dituduh ortodok. Salah satu alasan yang menjadi penting
dalam sebuah pernikahan adalah komitmen. Janji untuk hidup bersama. Baik saat
miskin atau pun kaya, saat susah atau pun senang, saat masih cantik atau sudah
keriput dan gembrot nantinya. Nah, kalau itu sudah dipegang kedua belah pihak
insya Alloh langgeng rumah tangganya. Yang namanya berantem, marahan pasti ada.
Namanya beda kepala, beda pemikiran.”
“Sik, aku tak takon kowe, Gus? Nalare kepiye tho? Kok kowe nduwe gagasan
rabi barang?”
(Sebentar, aku mau nanya kamu, Gus? Logikanya gimana tho? Kok kamu punya
pemikiran menikah?)
“Trus alasanmu menikah itu karena
apa?”
Saya sejenak terdiam mencari-cari
alasan yang pas. Yang sekiranya pantes buat orang semacam saya. Tadinya mau
saya jawab untuk melanjutkan dakwah, Mas. Tapi kok rasa-rasanya nggak pantes
banget. Muka gedek seperti saya ini
kok berdakwah segala. Wong sholat subuh aja sering kesiangan. Mau saya jawab
karena ke gap Pak Hansip, nanti nggak enak sama istri saya. Setelah berpikir
keras, maka dengan tegas dan gagah berani saya menjawab; “Saya menikah demi
melestarikan kelangsungan hidup generasi jomblo di masa yang akan datang, agar
mereka tidak punah, Mas?” :P
*. Khoirul Ma’ruf adalah seorang
konsultan rumah tangga. Semasa mudanya selama enam bulan pernah melakukan
perjalanan berkeliling pulau Jawa dengan berjalan kaki. Suami dari Ana
Saptarini ini mempunyai cita-cita membuka sebuah fakultas Rumah Tangga di
perguruan tinggi atau sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah menengah umum. Ia sangat percaya bahwa rumah adalah pusat dari tata negara yang sebenarnya.
Sebab pentingnya perihal tersebut kenapa sampai sekarang tidak ada perguruan
tinggi, sekolah atau pesantren yang memasukkan pelajaran Rumah Tangga beserta
permasalahannya ke dalam mata pelajaran. Di sela-sela waktunya menjadi salah
satu idetor di sebuah pondok pesantren beliau sering menghabiskan waktunya
membaca buku-buku sastra, filsafat, dan salah satu pengagum karya-karya Pramoedya
Ananta Toer.
Jika anda mempunyai permasalahan
seputar rumah tangga silakan konsultasi dengan beliau. Bisa mampir ke rumah
beliau yang beralamat di desa Pilang tengah RT 13, Masaran, Sragen, Jawa
Tengah.
Apa yang saya tulis merupakan hasil
ngobrol ngalor ngidul dengan beliau. Semoga bermanfaat terutama sebagai
pengingat bagi diri saya sendiri. Seperti kalimat yang dituturkan Sayyidina
Ali, Ikatlah ilmu dengan menuliskanya. Semoga menjadi catatan kecil yang tak hilang ditelan waktu. seperti kata orang Jawa. Verba Valent, Scripta Manent. Terima kasih. Semoga hidup anda selalu
dilimpahi kebahagian dan karunia manfaat bagi orang lain. Salam.