Pemilu tahun ini membawa nuansa yang
beda. Ada sengkarut masalah yang menjadikannya begitu indah untuk dicermati.
Betapa tidak. Jika pemilu-pemilu sebelumnya satu partai bisa mendukung satu
calon presiden, untuk pemilu tahun ini satu partai politik bisa mendukung calon
A sedang beberapa anggotanya mendukung calon B.
Ada kesan bahwa sesungguhnya
pertarungan pemilihan presiden tahun ini seperti hitam vs putih, sipil vs
militer, kaum proletar vs bangsawan, masih banyak idiom yang sebenarnya lebih
ekstrem semisal “benar” vs “salah,” “muslim” vs “kafir.” Cuma yang menjadi
sedikit terlihat lucu bagi saya adalah kita sebenarnya tidak sependapat dalam
idiom itu semua. Kita ini masih sering terjebak dalam definisi yang berbeda,
sehingga acapkali kita bertengkar untuk sesuatu yang sebenarnya kita belum
saling faham akan sesuatu itu sendiri.
Satu hal yang bisa saya ambil
kesimpulan, bahwa sebenarnya bangsa ini rindu akan seorang figur pemimpin yang
ideal. Dan itu tak bisa dipungkiri lagi. Bagi pendukung Prabowo-Hatta, tak ayal
maka untuk membangkitkan negara besar yang sedang tidur ini butuh seorang
pemimpin yang kuat, visioner, tegas. Sedang bagi pendukung Jokowi-JK, negeri
ini butuh pemimpin yang dekat dengan rakyat, yang sederhana, yang mewakili
rakyat kebanyakan.
Perlu dicatat, betapapun rindunya
kita pada figur presiden yang ideal, harus diterima dengan akal sehat, bahwa
siapapun nanti yang terpilih, dia adalah manusia biasa, bukan pesulap atau
nabi. Jadi jangan berharap lebih. Bahwa presiden yang terpilih nanti akan mampu
menyelesaikan semua persoalan negara ini. Memilih presiden itu saya umpamakan
seperti seorang bujangan yang akhirnya memilih untuk mengakhiri masa lajangnya.
Ketika telah menempuh proses mencari pasangan yang pas, mempersiapkan tanggal
pernikahan serta mencari ubo rampe-nya,
maka tanggal hari H pernikahan itu hanyalah awal dari perjalanan panjang sebuah
pernikahan. Siapapun nanti yang akhirnya menjadi pemenang pada tanggal 9 Juli
nanti, sebagai rakyat kita harus tetap tunduk kepada pemenang tersebut. Ikut
berkeringat jika negara nduwe gawe,
jangan cuma ikut berteriak ketika menang, memaki-maki jika kalah.
Hari ini muncul di mana-mana gambar
Soekarno, presiden pertama kita. Sosok yang dianggap mampu menjadi simbol
kebangkitan melawan penjajah Belanda maupun Jepang. Lalu muncul gambar Soeharto
di mana-mana plus dengan slogan, piye
kabare? Enak jamanku tho?. Tak lupa kembali sosok Gus Dur yang diterima
semua kalangan, dibawa dan diseret-seret dari alun-alun satu ke alun-alun yang
lain demi merebut massa sebanyak-banyaknya.
Bangsa ini memang bangsa pelupa. Apa
bedanya bangsa ini dengan bani Israel. Berapa banyak nabi dan orang suci yang
Tuhan kirimkan. Namun, ketika kita sudah mendapatkan pemimpin itu kita ingkari
satu persatu. Di luar kebanggaan atas kharismatik para presiden pendahulu kita,
coba tengok sedikit ke belakang. Soekarno harus tumbang ketika terjadi
pergolakan yang konon terindikasi dengan partai komunis, Soeharto harus legowo
untuk tidak “patheken” jika tidak
jadi presiden untuk ke sekian kali. Habibie, Gus Dur harus merelakan melepas
tanggung jawab karena mengutamakan keutuhan bangsa ini.
Di kedua belah kubu, kekuatan militer
nampak terlihat jelas. Militer yang seharusnya netral secara teori,
kenyataannya tetap ikut campur dalam urusan pilpres. Statemen terbuka mantan
petinggi saling tinju-meninju. Membuka aib lama seolah sebuah prestasi terbaru.
Lalu ke mana saja kemarin-kemarin? Kenapa tidak diurus dahulu jika salah satu
capres dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM.
Kalau Jokowi jadi presiden maka
Jakarta akan dipimpin oleh Ahok yang nota bene seorang keturunan Tioghoa. Saya kira
lucu. Jika kebangsaan kita hari ini dinilai dari kacamata ras. Ada “paranoid”
yang akut jika ternyata pihak orang Islam mayoritas dipimpin oleh orang yang
minoritas. Hanya menilik sedikit, hari ini pendangan tentang baik dan buruk
sudah sebegitu kabur. Lagi-lagi kita terjebak dalam definisi. Ada opini publik
yang mengatakan begini. “Yang penting Islam, tak peduli apakah nanti dia
korupsi atau tidak, itu urusan belakangan.”
Kita sudah disuguhi banyak informasi
sampah. Mau tidak mau sebagai pemilih kita mesti sangat hati-hati dan bijak
dalam menyikapi kabar yang kita terima. Segala bentuk kampanye hitam anggap
saja sebagai dialektika demokrasi. Sama seperti kemarahan seorang ayah kepada
anaknya. Sejatinya marah adalah salah satu bentuk komunikasi hanya saja
levelnya beberapa oktaf di atas nada dasar pada umumnya. Seberapa pesan itu
sampai kepada penerima, semua tergantung kondisi kemarahan itu pas atau tidak.
Tuhan menawarkan banyak alternatif. Untuk
hal yang “mudah” kenapa harus dipersulit. Jika anda benar-benar bingung harus
milih siapa? Ada buku, koran, website, ada rekam jejak tiap capres di sana. Adanya
kampanye hitam itu hanya bentuk pelintir memelintir informasi. Memotong sebagian
untuk menyembunyikan sebagian informasi yang lain. Kalau masih bingung, tentu
anda punya orang yang bisa anda percayai semisal teman dekat, guru, kiai atau
siapa saja yang kapasitas nalar serta pendapatnya bisa anda percayai. Jika mentok.
Anda bingung dengan pilihan itu semua, bagi yang beragama Islam silakan sholat
Istikhoroh. Dan susunan pilihan ini bisa anda balik dari belakang.
Biarkanlah anjing menggonggong
kafilah berlalu. Berapa miliar rupiah yang digelontorkan tiap capres? Itu nggak
usah anda bahas. Dari sekian uang yang dikeluarkan ada para ulama yang akhirnya
mendukung salah satu capres demi menghidupi dapur dan ribuan santrinya. “Lho,
berarti mereka itu menjual agama dong.” Hehe... sudah kalau memang bukan
kapasitas kita berkomentar, nggak usah berkomentar. Tentu para ulama, kiai
lebih faham soal begini. (lagi pula, mengharapkan bantuan dari anda, paling
cuma ngisi tromol Rp.1000; itu pun cuma pas Jum’atan). Ada artis yang seperti burung beo. Asal diberi
makan maka disuruh ngoceh apa saja bisa. Ada ratusan buzzer yang sengaja dibentuk untuk menghancurkan opini dan
menggiring ke salah satu capres. Lalu anda ini kebagian apa? Kok sampai tega-teganya
menghina satu dan memuji yang lain. Mbok ya sudah. Boleh mengumumkan saya cinta
si anu. Saya dukung si ini. Tapi tetap dalam koridor bhinneka tunggal ika.
Mari kita belajar melihat dengan mata kepala, mata hati yang terbuka. mari kita melihat dari segala sudut pandang. Biar semua menjadi jelas. Jangan-jangan selama ini kita hanya mengintip dari lubang yang salah.
Hadeh, kok saya jadi ngelantur macam
begini. Sudah, perut saya lapar. Pilihan saya apa? Ya, itu urusan saya. Katanya
pemilu itu LUBER. Langsung Umum Bebas dan Rahasia. Nanti jadi nggak asik lagi
kalau diomongin. Kan rahasia. :P