Social Icons

Halaman

28 Jun 2014

Marhaban Yaa Prabowo Marhaban Yaa Jokowi




Tak semua orang bisa memasak. Tapi lumrahnya lidah yang sehat bisa mencecap mana makanan yang enak, mana yang tidak. Tentu antara juru masak dan penikmat makanan punya kedukukan yang berbeda dalam hal keahlian dan keilmuan. Sayangnya seringkali kita tidak memposisikan diri sesuai takarannya. Penikmat seringkali berkomentar sak penake dhewe, semaunya sendiri. Sedang juru masak tak siap dengan komentar. Lalu sembari ndongkol dia menyerang balik, “emang Lu bisa masak?” 

Di sinilah awal mula semua pertengkaran dimulai. Jelas posisi mereka berbeda. Kalau tak siap dikomentari, ya jangan jadi pemain. Kalau tak tahu kondisi lapangan, ya jangan sok tahu, asal jeplak. Kalau kata Cak Lontong; MIKIR...!

Sebentar lagi bulan Ramadhan datang. Time line Facebook dan Twitter masih terlihat menyebalkan. Tadi pagi sambil menunggu HP dicharge karena kehabisan daya. Saya terbang. Menaiki pikiran saya sendiri. Jauh melintasi batas zaman. Saya kumpulkan kembali sepotong demi sepotong ayat atau hadits tentang ghibah dan fitnah. Dalam hati saya tertawa cekikan di samping seorang kawan yang sedang ngutak-atik laptop, entah membuat cerpen atau sedang membaca berita. 

“Seandainya besok itu Ramadhan datang. Maka yang berhak memasuki bulan yang suci itu tentu orang-orang yang suci.”

Iya, saya ngomong dengan diri saya sendiri. Ndremimil sendirian.
 
“Maksudmu gimana?”
“Ya, kamu tahu sendiri ayat-ayat yang bicara tentang bahaya fitnah dan ghibah, seperti memakan bangkai saudaranya sendiri, atau fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”
“Bentar... bentar. Omonganmu ini mau mengarah ke mana, Bro? Kok aku nggak konek?”
“Wah, kepalamu itu emang isinya goyang oplosan aja. Begini maksudku. Seandainya segala pemberitaan tentang capres itu benar. Berarti selama ini kita ini sudah ghibah. Ngomongin boroknya orang di depan semua orang. Ikut menyebar-nyebarkan aib yang seharusnya kita tutupi demi kebaikan orang itu.”
“Trus...?”
“Nah, kalau nyatanya segala macam berita itu ternyata salah. Itu kan namanya fitnah. Dosannya tambah-tambah.”
“Wah, kamu rupanya sudah jadi timses? Prabowo atau Jokowi?”
“Otakmu itu isinya cuma dukung mendukung aja? Maksudku begini. Jika ternyata salah satu dari kedua capres itu ternyata tak ada niat sedikit pun untuk mengungkapkan kebobrokan lawannya (Jika yang punya ide nyebar-nyebarin ternyata tim suksesnya). Alangkah indahnya cara Tuhan membersihkan Jokowi atau Prabowo. Dengan adanya fitnah dan ghibah yang tersiar seantero jagat dunia maya itu, maka gugurlah dosa-dosa mereka. Nah, justru sebenarnya mereka berdua lah yang nyatanya dipersiapkan Tuhan untuk memasuki bulan Ramadhan. Disucikan dari segala kotoran.”

25 Jun 2014

Mengintip Dari Lubang Yang Salah.



Pemilu tahun ini membawa nuansa yang beda. Ada sengkarut masalah yang menjadikannya begitu indah untuk dicermati. Betapa tidak. Jika pemilu-pemilu sebelumnya satu partai bisa mendukung satu calon presiden, untuk pemilu tahun ini satu partai politik bisa mendukung calon A sedang beberapa anggotanya mendukung calon B.

Ada kesan bahwa sesungguhnya pertarungan pemilihan presiden tahun ini seperti hitam vs putih, sipil vs militer, kaum proletar vs bangsawan, masih banyak idiom yang sebenarnya lebih ekstrem semisal “benar” vs “salah,” “muslim” vs “kafir.” Cuma yang menjadi sedikit terlihat lucu bagi saya adalah kita sebenarnya tidak sependapat dalam idiom itu semua. Kita ini masih sering terjebak dalam definisi yang berbeda, sehingga acapkali kita bertengkar untuk sesuatu yang sebenarnya kita belum saling faham akan sesuatu itu sendiri.

Satu hal yang bisa saya ambil kesimpulan, bahwa sebenarnya bangsa ini rindu akan seorang figur pemimpin yang ideal. Dan itu tak bisa dipungkiri lagi. Bagi pendukung Prabowo-Hatta, tak ayal maka untuk membangkitkan negara besar yang sedang tidur ini butuh seorang pemimpin yang kuat, visioner, tegas. Sedang bagi pendukung Jokowi-JK, negeri ini butuh pemimpin yang dekat dengan rakyat, yang sederhana, yang mewakili rakyat kebanyakan.

Perlu dicatat, betapapun rindunya kita pada figur presiden yang ideal, harus diterima dengan akal sehat, bahwa siapapun nanti yang terpilih, dia adalah manusia biasa, bukan pesulap atau nabi. Jadi jangan berharap lebih. Bahwa presiden yang terpilih nanti akan mampu menyelesaikan semua persoalan negara ini. Memilih presiden itu saya umpamakan seperti seorang bujangan yang akhirnya memilih untuk mengakhiri masa lajangnya. Ketika telah menempuh proses mencari pasangan yang pas, mempersiapkan tanggal pernikahan serta mencari ubo rampe-nya, maka tanggal hari H pernikahan itu hanyalah awal dari perjalanan panjang sebuah pernikahan. Siapapun nanti yang akhirnya menjadi pemenang pada tanggal 9 Juli nanti, sebagai rakyat kita harus tetap tunduk kepada pemenang tersebut. Ikut berkeringat jika negara nduwe gawe, jangan cuma ikut berteriak ketika menang, memaki-maki jika kalah.

Hari ini muncul di mana-mana gambar Soekarno, presiden pertama kita. Sosok yang dianggap mampu menjadi simbol kebangkitan melawan penjajah Belanda maupun Jepang. Lalu muncul gambar Soeharto di mana-mana plus dengan slogan, piye kabare? Enak jamanku tho?. Tak lupa kembali sosok Gus Dur yang diterima semua kalangan, dibawa dan diseret-seret dari alun-alun satu ke alun-alun yang lain demi merebut massa sebanyak-banyaknya.

Bangsa ini memang bangsa pelupa. Apa bedanya bangsa ini dengan bani Israel. Berapa banyak nabi dan orang suci yang Tuhan kirimkan. Namun, ketika kita sudah mendapatkan pemimpin itu kita ingkari satu persatu. Di luar kebanggaan atas kharismatik para presiden pendahulu kita, coba tengok sedikit ke belakang. Soekarno harus tumbang ketika terjadi pergolakan yang konon terindikasi dengan partai komunis, Soeharto harus legowo untuk tidak “patheken” jika tidak jadi presiden untuk ke sekian kali. Habibie, Gus Dur harus merelakan melepas tanggung jawab karena mengutamakan keutuhan bangsa ini. 

Di kedua belah kubu, kekuatan militer nampak terlihat jelas. Militer yang seharusnya netral secara teori, kenyataannya tetap ikut campur dalam urusan pilpres. Statemen terbuka mantan petinggi saling tinju-meninju. Membuka aib lama seolah sebuah prestasi terbaru. Lalu ke mana saja kemarin-kemarin? Kenapa tidak diurus dahulu jika salah satu capres dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM.

Kalau Jokowi jadi presiden maka Jakarta akan dipimpin oleh Ahok yang nota bene seorang keturunan Tioghoa. Saya kira lucu. Jika kebangsaan kita hari ini dinilai dari kacamata ras. Ada “paranoid” yang akut jika ternyata pihak orang Islam mayoritas dipimpin oleh orang yang minoritas. Hanya menilik sedikit, hari ini pendangan tentang baik dan buruk sudah sebegitu kabur. Lagi-lagi kita terjebak dalam definisi. Ada opini publik yang mengatakan begini. “Yang penting Islam, tak peduli apakah nanti dia korupsi atau tidak, itu urusan belakangan.” 

Kita sudah disuguhi banyak informasi sampah. Mau tidak mau sebagai pemilih kita mesti sangat hati-hati dan bijak dalam menyikapi kabar yang kita terima. Segala bentuk kampanye hitam anggap saja sebagai dialektika demokrasi. Sama seperti kemarahan seorang ayah kepada anaknya. Sejatinya marah adalah salah satu bentuk komunikasi hanya saja levelnya beberapa oktaf di atas nada dasar pada umumnya. Seberapa pesan itu sampai kepada penerima, semua tergantung kondisi kemarahan itu pas atau tidak.

Tuhan menawarkan banyak alternatif. Untuk hal yang “mudah” kenapa harus dipersulit. Jika anda benar-benar bingung harus milih siapa? Ada buku, koran, website, ada rekam jejak tiap capres di sana. Adanya kampanye hitam itu hanya bentuk pelintir memelintir informasi. Memotong sebagian untuk menyembunyikan sebagian informasi yang lain. Kalau masih bingung, tentu anda punya orang yang bisa anda percayai semisal teman dekat, guru, kiai atau siapa saja yang kapasitas nalar serta pendapatnya bisa anda percayai. Jika mentok. Anda bingung dengan pilihan itu semua, bagi yang beragama Islam silakan sholat Istikhoroh. Dan susunan pilihan ini bisa anda balik dari belakang.

Biarkanlah anjing menggonggong kafilah berlalu. Berapa miliar rupiah yang digelontorkan tiap capres? Itu nggak usah anda bahas. Dari sekian uang yang dikeluarkan ada para ulama yang akhirnya mendukung salah satu capres demi menghidupi dapur dan ribuan santrinya. “Lho, berarti mereka itu menjual agama dong.” Hehe... sudah kalau memang bukan kapasitas kita berkomentar, nggak usah berkomentar. Tentu para ulama, kiai lebih faham soal begini. (lagi pula, mengharapkan bantuan dari anda, paling cuma ngisi tromol Rp.1000; itu pun cuma pas Jum’atan).  Ada artis yang seperti burung beo. Asal diberi makan maka disuruh ngoceh apa saja bisa. Ada ratusan buzzer yang sengaja dibentuk untuk menghancurkan opini dan menggiring ke salah satu capres. Lalu anda ini kebagian apa? Kok sampai tega-teganya menghina satu dan memuji yang lain. Mbok ya sudah. Boleh mengumumkan saya cinta si anu. Saya dukung si ini. Tapi tetap dalam koridor bhinneka tunggal ika.

Mari kita belajar melihat dengan mata kepala, mata hati yang terbuka. mari kita melihat dari segala sudut pandang. Biar semua menjadi jelas. Jangan-jangan selama ini kita hanya mengintip dari lubang yang salah.   

Hadeh, kok saya jadi ngelantur macam begini. Sudah, perut saya lapar. Pilihan saya apa? Ya, itu urusan saya. Katanya pemilu itu LUBER. Langsung Umum Bebas dan Rahasia. Nanti jadi nggak asik lagi kalau diomongin. Kan rahasia. :P




19 Jun 2014

Risalah Untuk Burung Penghisap Madu.



Untuk perempuan yang dulu pernah mencoba menemaniku di kota asing, dan hidup dalam keterasingan. Jika surat ini telah sampai ke tanganmu, barangkali purnama tengah bersinar di kotamu. Para petani telah sibuk dan bersiap-siap memanen padi di ladang-ladang mereka, sedang anak-anak kecil berlarian bermain di pematang sawah, menangkapi belalang yang terusik dari lelap tidur siangnya.

Apakah mawar juga sedang bermekaran di kebun penjual bunga? atau melati tak mau kalah mencoba beradu cantik dengan menebarkan aroma wangi tubuhnya. Barangkali semua keindahan itu tak berarti bagimu, karena lentera suci telah menyala dari dalam hatimu yang sunyi.

Dari kota asing di pesisir laut, yang terlalu bising dengan raungan knalpot dan aroma deodoran yang bercampur tangis. Aku kabarkan bahwa keadaanku sama baiknya saat terakhir kali kau bertemu denganku, tidak kurang sama sekali. Mungkin ada sebgian episode yang terlewat selama kita bersama. Ada syair yang sumbang dan memekakkan telinga, karena rima dan jumlah baitnya tidak serasi. Tapi bagiku itu adalah diriku yang sebenarnya. Aku bukan lelaki yang terbiasa bicara dalam bahasa sutra, dalam indahnya syair anggur dan cahaya purnama? Aku adalah lelaki batu yang bicara tentang kerasnya garis tangan takdir dan kejamnya cakar- cakar penguasa. 

Aku adalah lelaki dari kaum sudra yang hanya bisa bicara tentang lapar dan dahaga. Aku juga bukan dari golongan orang-orang suci yang bersemayam di balik langit dan bersembunyi di balik indahnya firman Tuhan, aku adalah lelaki batu yang berbicara dalam sajak ketidakberdayaan. Aku akan ikut tertawa jika ternyata lentera yang kau pilih lebih bercahaya, yang sinarnya melebihi sinar matahari senja, teduh dan menentramkan jiwa. Aku berharap pangeran yang kau pilih itu berbicara tentang indahnya syair serta manisnya cerita. aku berharap dialah lelaki yang akan membacakan dongeng tentang negeri di mana Cinderela hidup, atau ia akan membicarakan kisah tentang putri tidur dan tujuh kurcacinya.

Tidak seperti aku... Aku adalah lelaki dengan bahasa api, kalimat-kalimatku akan membakar habis syair-syair yang melupakan kita tentang keadaan orang-orang yang menangis di sekitar kita. Bagiku syair yang mendayu seperti anggur yang memabukkan itu harus aku musnahkan, karena ia seperti candu, atau seperti bidadari di tengah-tengah kaum marginal, mereka butuh beras bukan nyanyian? maafkan aku jika ternyata aku telah mengecewakanmu, aku bukan burung Simurgh dengan keindahan bulu-bulunya. Aku bukan Sulaiman dengan gemerlap intan berliannya. Aku bukan gibran dengan manis lisannya. Aku bukan elang yang siap mengangkat engkau dengan kepakan sayapnya yang tinggi menjulang ke angkasa. Aku hanya lelaki batu yang bicara tentang lagu kesedihan.

Semoga ia adalah imam yang akan membimbingmu ke Nirwana. Semoga ia adalah mursyid sejati yang akan menuntun sang salik ke jalan cahaya. Semoga ia berhati mulia seperti Junayd al-baghdady, atau sutra lembut dari kedalaman hati maulana Rumi. Sampaikan salam sejahteraku padanya. Sampaikan padanya, salam dariku, lelaki batu. Aku berharap ia akan menjadi ayah yang baik dari anak-anakmu. Jagalah ia seperti Fatimah tatkala membasuh luka-luka suaminya yang pulang dari medan laga. Aku berpesan padamu jangan pernah membuat luka untuk kedua kalinya.

Jika untuk mendapatkanmu adalah sebuah kompetisi? Ternyata aku telah lupa kapan genderang permulaan itu ditabuh? atau aku memang peserta yang tidak diharapkan untuk menang. Aku seperti musa yang pergi meninggalkan bani Israel dan menitipkan pada Harun, sementara Musa pergi menemui Tuhannya, dan ternyata ketika masa yang sebentar itu berlalu Musa telah kehilangan kaumnya. Kaumnya lebih cinta kepada Samiry dengan sapi betina yang bisa berbicara. Jangan sekalipun  kau tanya padaku tentang rasa yang ada dalam hati dan kepalaku? Perasaaan yang sama aku rasai seperti sang Nabi tatkala dikhiananti para sahabatnya di lembah Uhud; aku kecewa.

Jika ia kelak menjadi suami bagimu dan ayah bagi anak-anakmu, jagalah ia dari kejahatan dan liciknya mulutmu. Kebenaran yang nampak menyakitkan itu lebih baik dari pada ilusi tentang indahnya kematian. bukankah kebohongan itu seperti racun dalam darah. Seperti ular dalam semak belukar. Jika tidak kau kendalikan ia akan menjadi bencana bagi hidupmu sendiri.

Bukankah kejahatan itu berawal dari kebohongan dan mencuri? Jika kau berbohong kau telah mencuri kebenaran dari orang yang kau bohongi. Jika kau membunuh berarti kau telah mencuri nyawa seseorang. Jika kau selingkuh kau telah mencuri hak suami dan mencuri kebenaran dari suamimu kelak.

Aku tak ingin kau mengingatku meskipun dalam imaji dan bayang-bayang. Aku tak ingin sekalipun menjadi api pertengkaran jika kelak kalian bermusuhan. Buanglah jauh-jauh aku dan segala rupa tentang diriku dari dalam hati dan kepalamu. Anggaplah aku mati. Anggaplah aku telah musnah terbakar api. Anggaplah aku tak pernah ada. Anggaplah aku tak pernah terlahir di dunia. Aku bukanlah lelaki yang pantas terukir dan menjadi bagian dari sejarah. Aku berharap setelah membaca surat ini kau tertidur lelap dan keesokan harinya kau telah lupa tentang semua kisah indah yang pernah kita ukir dalam rencana dan rancangan masa depan kita dulu.

Hah... Masa depan? Aku benci bicara tentang masa depan itu sendiri. Ingatlah diriku sebatas lelaki batu yang hanya bicara dalam bahasa sarkasme. Yang tak bicara dalam bahasa aroma mawar. Tapi ingatlah satu hal, bahwa batu itu akan tetap menyimpan kata yang terukir di atasnya. Seperti prasasti yang menyimpan kebenaran ribuan tahun yang silam. Tidakkah kau lihat kini siapa yang berhasil bicara tentang arti kata; setia.

Simpan air mata itu untuknya. Untukku tak pantas kau jatuhkan airmata yang berharga itu. Aku tak pantas untuk kau tangisi barangkali pagar jeruji yang kubangun terlalu tinggi, sehingga menghalangi kepakan sayapmu, sedang kau adalah pemuja kebebasan itu sendiri. Kini terbanglah sebebas yang kau mau. Bernyanyilah seriang kau bisa. Hiduplah di taman Lumbini, di antara bunga teratai yang bermekaran indah.

Biarkan aku berjalan menuju tenggelamnya sang mentari, aku akan berjalan bersama para pendeta yang berjalan ke barat, biarkan aku berjalan menyusuri kabut malam yang mulai turun di lembah  Mandalawangi. Satu pesan terakhir dariku untukmu; demi aku, cintailah dirinya."



*. Tulisan ini saya tulis untuk seseorang sahabat yang saat itu dikecewakan seorang perempuan. Bulan lalu saya ditag oleh istri lelaki tersebut. Dan saya kaget, saya sadar, ternyata saya itu kejam sekali. Entah bagaimana perasaan perempuan itu, jika dia sempat membaca tulisan ini.
 
 
Blogger Templates