Hari ini adalah hari ketujuh belas
sejak peperangan itu dimulai. Hari yang rasanya terlalu panjang melebihi
hari-hari biasanya. Kelak padang ini akan menjadi tanah yang begitu subur.
Pepohonannya mampu menumbuhkan bebuahan yang manis dan beraneka ragam warna dan
jenisnya, udara yang sejuk, serta di kedalaman tanahnya tersimpan miliaran
barel minyak dan gas bumi. Tahukah kau? Kenapa tanah ini kelak menjadi tanah
yang subur? Ketahuilah, bahwa enam belas hari sebelum hari ini, tanah ini telah dibasuh dengan jutaan darah
dan kepentingan. Abimanyu yang belia itu telah mati di sini. Atas nama
kebanggaan anak muda. Dia tidak peduli bahwa sebenarnya yang di hadapinya
bukanlah perang tanding satu lawan satu, melainkan satu melawan konspirasi.
Bagi Abimanyu sendiri tak ada kematian yang lebih indah daripada kematian
seorang pejuang. Maka dia tidak peduli lagi lawannya satu atau sepuluh orang
sekaligus. Hari itu berpuluh-puluh anak panah menancap di tubuhnya, dia sendiri
tak lagi mengenali dari mana dan anak panah siapa yang menancap di tubuhnya.
Entah anak panah Karna, Dursasana, atau bahkan Duryodana.
Baju perang telah lengkap dikenakan. Gandiwa,
kereta kencana dan restu dari sang ibu pun telah dia dapatkan. Namun, wajahnya
masih menyiratkan ragu yang dalam. Apakah hari itu harus terjadi hari ini.
Tidak bisakah diundur minggu depan, lusa atau minimal keesokan harinya. Krisna
telah menunggu di atas kemudi kereta, menunggu Arjuna keluar dari dalam tenda.
Sama seperti sebelumnya, Krisna tetap tersenyum seolah semua baik-baik saja.
Meski sebenarnya kemampuan untuk ngerti
sak durunge winarah itu ada padanya. Tentu Krisna mafhum siapa saja yang
hari ini dijemput Dewa Yamadipati, dan siapa yang pulang dengan kemenangan.
“Ayo teman! Apalagi yang kau tunggu?”
Dengan canggung yang menggumpal
Arjuna keluar dari dalam tenda. Wajahnya terlihat pucat seperti melihat
kematiannya sendiri.
Ketika fajar subuh telah nampak.
Segera terompet ditiup, genderang ditabuh. Ratusan prajurit pejalan kaki yang
tersisa telah siap dengan tombak dan pedangnya. Sebagian tak tahu untuk apa
alasan mereka berperang. Apakah demi Astina Pura atau demi keegoisan dan
kerakusan. Satu dua di antara barisan terdapat petani yang sedang memandikan
kerbaunya di kali, lalu serta merta meninggalkan kerbau itu pada anaknya ketika panggilan perang itu datang. Yang lebih
menggembirakan bagi para panglima adalah para prajurit dengan wajah yang tak
takut mati. Wajah-wajah yang trengginas yang tak lain merupakan barisan rakyat
yang menanggung hutang, yang kesehariannya lebih menyiksa dibandingkan dengan
kematian itu sendiri. Ada juga barisan manusia patah hati yang barangkali
meninggal dengan cara mati terpenggal di medan pertempuran tentu menjadi sebuah
ilusi kebanggaan tersendiri. Sukur-sukur nanti dia dimakamkan di taman makam
pahlawan.
Hari ini di sebelah barat padang
Kurusetra berdirilah Guru Dorna yang telah siap dengan segalanya. Apalagi yang
perlu ditakutkan bagi orang semacam Dorna. Semua kesaktian pemberian Dewa telah
dia punya. Ilmu kebal, ilmu menghilang, serta puluhan anak panah dan kesaktian
yang bisa meluluh lantakkan musuh dalam sekali kibasan. Tapi tidak hari ini.
Tak ada kebanggaan sedikitpun dari setiap kemenangan. Bahkan perasaan malu
mungkin merupakan anak panah yang paling tajam melukai ulu hati dan nurani
seorang Dorna. Hari ini dia harus bertanding melawan murid kesayangannya. Murid
yang dia bangga-banggakan pada Bisma sang jomblo sejati itu. Hari ini Dorna
harus melawan Arjuna.
Dari jarak selemparan anak panah,
kedua orang guru-murid itu saling berhadapan. Satu anak panah melesat dari
Gandiwa, meluncur tinggi ke atas, sedemikian tinggi hingga tak nampak ekornya,
lalu beberapa saat kemudian puluhan anak panah turun tepat beberapa langkah di
depan kereta yang ditunggangi Guru Dorna, seolah lewat anak panah itu Arjuna
meminta restu pada Sang Guru. Dorna mengangkat tangan kanannya dan memberikan
senyum pada Arjuna yang serba canggung itu.
Tentu di antara keduanya tak pernah
menginginkan hal semacam ini terjadi. Tidak sekalipun di dalam angan-angan. Namun
kenyataan seringkali memaksa seseorang untuk menghadapi apa yang sebenarnya
ingin dihindari sejauh mungkin. Tak ada kebanggaan dari seorang guru yang mampu
mengalahkan muridnya, pun tak ada kebanggan seorang murid yang berani
mempermalukan gurunya di hadapan ribuan pasang mata
.
Satu demi satu anak panah dilepaskan.
Mata panah bertemu mata panah. Anak panah api bertemu dengan anak panah dengan
kesaktian menurunkan hujan. Angin dibalas dengan badai. Begitu seterusnya,
seolah hari itu adalah hari di mana Dorna sedang menguji kemampuan terbaik
muridnya.
Di sudut sebelah kanan Duryodana
kesal melihat permainan perang semacam itu. Duryodana yakin bahwa di antara
keduanya takkan mungkin rela melukai satu dengan yang lainnya.
“Guru! Apakah kau hari ini sedang memainkan
sandiwara di atas panggungmu sendiri?”
Sementara di samping Duryodana telah
berdiri sang pengobar api, Raja Gandara; Harya Sakuni.
“Keponakanku tak ada satu guru pun
yang berani mewariskan seluruh ilmunya kepada muridnya. Segera perintahkan Guru
Dorna untuk menghabisi Arjuna,”
“Guru segera habisi Arjuna!” Teriak
Durodana keras memekakkan telinga.
Begitulah kiranya seorang guru yang
terlanjur terpasung oleh sumpahnya. Hingga tak ada kehormatan sedikitpun dari
seorang murid yang ngelunjak. Hari
itu sudah terputus hubungan murid dan guru. Duryodana tak lagi bicara atas nama
murid ke pada gurunya, tapi atas nama putra mahkota Astina Pura kepada
bawahannya. Jika tidak demi menepati sumpahnya pada Aswatama tentu Dorna sudah
lebih dahulu meninggalkan tempat terkutuk ini. Apa daya, hari ini seorang ayah
telah tersandera oleh kemauan anaknya. Demi Aswatama, Dorna meninggalkan hutan
dan pertapaannya.
Satu anak panah dilepaskan Dorna ke
langit. Datanglah awan gelap berlapis-lapis, puluhan petir menyambar-nyambar,
hujan badai menggulung-gulung sekisaran arena perang Arjuna. Luluh sudah
kemampuan Arjuna. Gandiwa terlepas terbang terbawa angin topan yang
bergulung-gulung. Tali kekang kuda terlepas. Kereta jatuh tersungkur ke tanah.
Namun Krisna tetap tenang dengan senyumnya.
“Teman! Tenanglah semua tinggal
menunggu waktunya?”
Dorna telah mengambil anak panah
pamungkasnya. Tali busur telah ditarik sekencangnya. Arjuna menatap nanar,
mungkin ini lah saatnya dia menyusul Abimanyu putra tercintanya, juga Gatotkaca
yang meninggal beberapa hari yang lalu karena siasat Krisna. Sesaat sebelum
Dorna melepaskan anak panahnya, terdengar teriakan, “Aswatama telah mati...!
Aswatama telah mati...!”
Anak panah melesat jauh tanpa menemui
sasarannya. Seketika tulang belulang yang menyangga tubuh Dorna luruh tak
bertenaga. Terlepas busur dari tangannya. “Tak mungkin anakku terkalahkan!
padanya telah kuwariskan ilmu satu derajad lebih tinggi daripada
murid-muridku.” Begitu teriak keras Dorna.
Tak jauh dari tempatnya tersungkur
berdirilah Yudistira di atas kereta perangnya. Dorna berdiri menyatuhkan
segala tulang-belulang yang rasanya
terlepas dari persendiannya. Tak ada alasan lagi kenapa dia ikut dalam perang
ini. Lalu didekatinya Yudistira
“Anakku, apakah benar Aswatama telah
mati?”
“Benar Guru, gajah Aswatama telah mati di tangan Bima.”
Yudistira adalah ksatria yang tak kan
berbohong, namun demi sebuah siasat, maka dikatakanlah bahwa gajah yang bernama
Aswatama telah meninggal, saat mengucapkannya kata gajah sengaja dia lirihkan,
sehingga yang terdengar hanya, “Aswatama telah mati di tangan Bima.”
Dorna bertumpu pada ke dua lututnya.
Matahari sebentar lagi tenggelam. Waktu terhenti tiba-tiba. Senyap. Krisna
telah masuk dalam “kesuwungannya.”
Seluruh gerak Matahari, burung, prajurit-prajuit, kuda terhenti. Diam tak
bergerak, kecuali hanya tiga orang saja; Arjuna, Dorna dan Krisna.
“Maha Resi, Seharusnya perang ini
takkan terjadi jika saja kau lebih arif sebelumnya.”
“Apa maksudmu, Vasudev?”
“Demi alasan apa seorang guru
meninggalkan kebenaran yang dia ajarkan pada murid-muridnya, dan berperang demi
muridnya yang berambisi menjadi penguasa. Di mana kah guru agung Dorna berada
ketika seorang Drupadi meminta pertolongan saat dia ditelanjangi. Apakah
kekuatanmu tak mampu menghentikan kebejatan murid-muridmu dari dinasti Kuru.
Kediaman adalah api yang akan membakarmu kelak.”
Lidah Dorna terpasung. Kaku. Tak
dapat digerakkan sama sekali.
“Arjuna! Sekarang tiba waktumu.
Apalagi yang kau tunggu!
Arjuna mengendurkan tali Gandiwa. Kemudian
dia turun dari kereta. Berjalan menghampiri Dorna.
“Guru. Satu hal yang kusesali atas
pencapaianku saat ini. Jika benar pemanah nomor satu di Astina Pura ini adalah
aku, nyatanya kemenanganku telah ternodai oleh sebuah kehinaan yang harus
kutanggung seumur hidup. Kau telah mencurangi Ekalaya. Demi ambisimu
menjadikanku pemanah nomor satu, kau menyuruh Ekalaya melakukan dakshina. Dan ketahuilah Guru. Sejak
saat itu Arjuna telah mati. Bagiku tak ada kemenangan yang diraih melalui
kecurangan.”
Tepat di ujung kalimat itu
sekelebatan pedang menyambar leher Dorna. Darah segar memburat ke penjuru mata
angin. Kepala terguling-guling. Menggelinding beberapa kali. Satu hal yang
kuherankan, karena saat kepala itu berhenti, wajahnya telah berubah menjadi
wajah seseorang yang begitu kukenal, seorang reformis idolaku saat SMP dulu; Amir
Rois.
####
Drestagimna berdiri tegar dengan
pedangnya. Sedang aku berdiri di sudut itu hanya mampu diam menyaksikan semua
itu. Tanpa mampu berbuat apa-apa. Hingga sebuah suara ketukan keras terdengar. Pintu
tergedor-gedor. Suara itu begitu kukenal. Iya. Suara khas itu adalah suara
milik Bu Haji. Setengah menguap, kesadaran merasuki kepalaku. Oh, sial sekarang
sudah tanggal 4.
“Gus! Bangun. Uang kontrakannya mana...!”