Social Icons

Halaman

19 Agu 2014

Hari Terakhir Guru Dorna



Hari ini adalah hari ketujuh belas sejak peperangan itu dimulai. Hari yang rasanya terlalu panjang melebihi hari-hari biasanya. Kelak padang ini akan menjadi tanah yang begitu subur. Pepohonannya mampu menumbuhkan bebuahan yang manis dan beraneka ragam warna dan jenisnya, udara yang sejuk, serta di kedalaman tanahnya tersimpan miliaran barel minyak dan gas bumi. Tahukah kau? Kenapa tanah ini kelak menjadi tanah yang subur? Ketahuilah, bahwa enam belas hari sebelum hari ini,  tanah ini telah dibasuh dengan jutaan darah dan kepentingan. Abimanyu yang belia itu telah mati di sini. Atas nama kebanggaan anak muda. Dia tidak peduli bahwa sebenarnya yang di hadapinya bukanlah perang tanding satu lawan satu, melainkan satu melawan konspirasi. Bagi Abimanyu sendiri tak ada kematian yang lebih indah daripada kematian seorang pejuang. Maka dia tidak peduli lagi lawannya satu atau sepuluh orang sekaligus. Hari itu berpuluh-puluh anak panah menancap di tubuhnya, dia sendiri tak lagi mengenali dari mana dan anak panah siapa yang menancap di tubuhnya. Entah anak panah Karna, Dursasana, atau bahkan Duryodana.

Baju perang telah lengkap dikenakan. Gandiwa, kereta kencana dan restu dari sang ibu pun telah dia dapatkan. Namun, wajahnya masih menyiratkan ragu yang dalam. Apakah hari itu harus terjadi hari ini. Tidak bisakah diundur minggu depan, lusa atau minimal keesokan harinya. Krisna telah menunggu di atas kemudi kereta, menunggu Arjuna keluar dari dalam tenda. Sama seperti sebelumnya, Krisna tetap tersenyum seolah semua baik-baik saja. Meski sebenarnya kemampuan untuk ngerti sak durunge winarah itu ada padanya. Tentu Krisna mafhum siapa saja yang hari ini dijemput Dewa Yamadipati, dan siapa yang pulang dengan kemenangan.

“Ayo teman! Apalagi yang kau tunggu?”

Dengan canggung yang menggumpal Arjuna keluar dari dalam tenda. Wajahnya terlihat pucat seperti melihat kematiannya sendiri. 

Ketika fajar subuh telah nampak. Segera terompet ditiup, genderang ditabuh. Ratusan prajurit pejalan kaki yang tersisa telah siap dengan tombak dan pedangnya. Sebagian tak tahu untuk apa alasan mereka berperang. Apakah demi Astina Pura atau demi keegoisan dan kerakusan. Satu dua di antara barisan terdapat petani yang sedang memandikan kerbaunya di kali, lalu serta merta meninggalkan kerbau itu pada anaknya  ketika panggilan perang itu datang. Yang lebih menggembirakan bagi para panglima adalah para prajurit dengan wajah yang tak takut mati. Wajah-wajah yang trengginas yang tak lain merupakan barisan rakyat yang menanggung hutang, yang kesehariannya lebih menyiksa dibandingkan dengan kematian itu sendiri. Ada juga barisan manusia patah hati yang barangkali meninggal dengan cara mati terpenggal di medan pertempuran tentu menjadi sebuah ilusi kebanggaan tersendiri. Sukur-sukur nanti dia dimakamkan di taman makam pahlawan.

Hari ini di sebelah barat padang Kurusetra berdirilah Guru Dorna yang telah siap dengan segalanya. Apalagi yang perlu ditakutkan bagi orang semacam Dorna. Semua kesaktian pemberian Dewa telah dia punya. Ilmu kebal, ilmu menghilang, serta puluhan anak panah dan kesaktian yang bisa meluluh lantakkan musuh dalam sekali kibasan. Tapi tidak hari ini. Tak ada kebanggaan sedikitpun dari setiap kemenangan. Bahkan perasaan malu mungkin merupakan anak panah yang paling tajam melukai ulu hati dan nurani seorang Dorna. Hari ini dia harus bertanding melawan murid kesayangannya. Murid yang dia bangga-banggakan pada Bisma sang jomblo sejati itu. Hari ini Dorna harus melawan Arjuna.

Dari jarak selemparan anak panah, kedua orang guru-murid itu saling berhadapan. Satu anak panah melesat dari Gandiwa, meluncur tinggi ke atas, sedemikian tinggi hingga tak nampak ekornya, lalu beberapa saat kemudian puluhan anak panah turun tepat beberapa langkah di depan kereta yang ditunggangi Guru Dorna, seolah lewat anak panah itu Arjuna meminta restu pada Sang Guru. Dorna mengangkat tangan kanannya dan memberikan senyum pada Arjuna yang serba canggung itu.

Tentu di antara keduanya tak pernah menginginkan hal semacam ini terjadi. Tidak sekalipun di dalam angan-angan. Namun kenyataan seringkali memaksa seseorang untuk menghadapi apa yang sebenarnya ingin dihindari sejauh mungkin. Tak ada kebanggaan dari seorang guru yang mampu mengalahkan muridnya, pun tak ada kebanggan seorang murid yang berani mempermalukan gurunya di hadapan ribuan pasang mata
.
Satu demi satu anak panah dilepaskan. Mata panah bertemu mata panah. Anak panah api bertemu dengan anak panah dengan kesaktian menurunkan hujan. Angin dibalas dengan badai. Begitu seterusnya, seolah hari itu adalah hari di mana Dorna sedang menguji kemampuan terbaik muridnya.

Di sudut sebelah kanan Duryodana kesal melihat permainan perang semacam itu. Duryodana yakin bahwa di antara keduanya takkan mungkin rela melukai satu dengan yang lainnya.

“Guru! Apakah kau hari ini sedang memainkan sandiwara di atas panggungmu sendiri?”
Sementara di samping Duryodana telah berdiri sang pengobar api, Raja Gandara; Harya Sakuni.
“Keponakanku tak ada satu guru pun yang berani mewariskan seluruh ilmunya kepada muridnya. Segera perintahkan Guru Dorna untuk menghabisi Arjuna,” 
“Guru segera habisi Arjuna!” Teriak Durodana keras memekakkan telinga.

Begitulah kiranya seorang guru yang terlanjur terpasung oleh sumpahnya. Hingga tak ada kehormatan sedikitpun dari seorang murid yang ngelunjak. Hari itu sudah terputus hubungan murid dan guru. Duryodana tak lagi bicara atas nama murid ke pada gurunya, tapi atas nama putra mahkota Astina Pura kepada bawahannya. Jika tidak demi menepati sumpahnya pada Aswatama tentu Dorna sudah lebih dahulu meninggalkan tempat terkutuk ini. Apa daya, hari ini seorang ayah telah tersandera oleh kemauan anaknya. Demi Aswatama, Dorna meninggalkan hutan dan pertapaannya.

Satu anak panah dilepaskan Dorna ke langit. Datanglah awan gelap berlapis-lapis, puluhan petir menyambar-nyambar, hujan badai menggulung-gulung sekisaran arena perang Arjuna. Luluh sudah kemampuan Arjuna. Gandiwa terlepas terbang terbawa angin topan yang bergulung-gulung. Tali kekang kuda terlepas. Kereta jatuh tersungkur ke tanah. Namun Krisna tetap tenang dengan senyumnya.

“Teman! Tenanglah semua tinggal menunggu waktunya?”

Dorna telah mengambil anak panah pamungkasnya. Tali busur telah ditarik sekencangnya. Arjuna menatap nanar, mungkin ini lah saatnya dia menyusul Abimanyu putra tercintanya, juga Gatotkaca yang meninggal beberapa hari yang lalu karena siasat Krisna. Sesaat sebelum Dorna melepaskan anak panahnya, terdengar teriakan, “Aswatama telah mati...! Aswatama telah mati...!”

Anak panah melesat jauh tanpa menemui sasarannya. Seketika tulang belulang yang menyangga tubuh Dorna luruh tak bertenaga. Terlepas busur dari tangannya. “Tak mungkin anakku terkalahkan! padanya telah kuwariskan ilmu satu derajad lebih tinggi daripada murid-muridku.” Begitu teriak keras Dorna.

Tak jauh dari tempatnya tersungkur berdirilah Yudistira di atas kereta perangnya. Dorna berdiri menyatuhkan segala  tulang-belulang yang rasanya terlepas dari persendiannya. Tak ada alasan lagi kenapa dia ikut dalam perang ini. Lalu didekatinya Yudistira

“Anakku, apakah benar Aswatama telah mati?”
“Benar Guru, gajah Aswatama telah mati di tangan Bima.” 

Yudistira adalah ksatria yang tak kan berbohong, namun demi sebuah siasat, maka dikatakanlah bahwa gajah yang bernama Aswatama telah meninggal, saat mengucapkannya kata gajah sengaja dia lirihkan, sehingga yang terdengar hanya, “Aswatama telah mati di tangan Bima.”

Dorna bertumpu pada ke dua lututnya. Matahari sebentar lagi tenggelam. Waktu terhenti tiba-tiba. Senyap. Krisna telah masuk dalam “kesuwungannya.” Seluruh gerak Matahari, burung, prajurit-prajuit, kuda terhenti. Diam tak bergerak, kecuali hanya tiga orang saja; Arjuna, Dorna dan Krisna.

“Maha Resi, Seharusnya perang ini takkan terjadi jika saja kau lebih arif sebelumnya.”
“Apa maksudmu, Vasudev?”
“Demi alasan apa seorang guru meninggalkan kebenaran yang dia ajarkan pada murid-muridnya, dan berperang demi muridnya yang berambisi menjadi penguasa. Di mana kah guru agung Dorna berada ketika seorang Drupadi meminta pertolongan saat dia ditelanjangi. Apakah kekuatanmu tak mampu menghentikan kebejatan murid-muridmu dari dinasti Kuru. Kediaman adalah api yang akan membakarmu kelak.”
Lidah Dorna terpasung. Kaku. Tak dapat digerakkan sama sekali.
“Arjuna! Sekarang tiba waktumu. Apalagi yang kau tunggu!

Arjuna mengendurkan tali Gandiwa. Kemudian dia turun dari kereta. Berjalan menghampiri Dorna.

“Guru. Satu hal yang kusesali atas pencapaianku saat ini. Jika benar pemanah nomor satu di Astina Pura ini adalah aku, nyatanya kemenanganku telah ternodai oleh sebuah kehinaan yang harus kutanggung seumur hidup. Kau telah mencurangi Ekalaya. Demi ambisimu menjadikanku pemanah nomor satu, kau menyuruh Ekalaya melakukan dakshina. Dan ketahuilah Guru. Sejak saat itu Arjuna telah mati. Bagiku tak ada kemenangan yang diraih melalui kecurangan.”

Tepat di ujung kalimat itu sekelebatan pedang menyambar leher Dorna. Darah segar memburat ke penjuru mata angin. Kepala terguling-guling. Menggelinding beberapa kali. Satu hal yang kuherankan, karena saat kepala itu berhenti, wajahnya telah berubah menjadi wajah seseorang yang begitu kukenal, seorang reformis idolaku saat SMP dulu; Amir Rois.

####

Drestagimna berdiri tegar dengan pedangnya. Sedang aku berdiri di sudut itu hanya mampu diam menyaksikan semua itu. Tanpa mampu berbuat apa-apa. Hingga sebuah suara ketukan keras terdengar. Pintu tergedor-gedor. Suara itu begitu kukenal. Iya. Suara khas itu adalah suara milik Bu Haji. Setengah menguap, kesadaran merasuki kepalaku. Oh, sial sekarang sudah tanggal 4.
“Gus! Bangun. Uang kontrakannya mana...!”


6 Agu 2014

Dialog Kesunyian



Ramadhan telah pergi, lebaran pun telah usai, namun pertanyaan yang tak kunjung terjawab itu semakin datang memenuhi kepala. Selama liburan kemarin, sebenarnya aku ingin sekali membaca ulang Tetralogi Buru atau Arok Dedes-nya Pram, sayangnya semua bukuku dipinjam teman, sungkan rasanya untuk meminta agar segera dikembalikan.

Dalam beberapa hari ini aku sering bermimpi, sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya, kebanyakan kabar tidak menyenangkan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa kebahagiaan yang terbesar adalah jika setiap mimpi menjadi kenyataan, tidak, tolong pikirkan dulu jika mimpi yang menyata itu adalah mimpi buruk. Awalnya seperti kau menonton sebuah film yang diulang, atau sebuah kejadian yang dikenal dengan de javu. Kau akan melihat seorang pedagang mie tek-tek datang setelah seorang anak kecil berlari menendang bola, lalu tepat ketika bola itu melambung ke langit tiba-tiba muncul sepeda motor dengan kecepatan tinggi menabrak anak kecil itu hingga menemui ajalnya.

            Bayangkan jika kejadian seperti itu ada di kehidupan nyatamu. Kau akan menyaksikan orang-orang terdekatmu menemui malaikat maut. Namun kau hanya dapat menyaksikannya tanpa dapat merubah atau menundanya barang sedetik pun. Apa perlunya Tuhan memberikan informasi semacam ini pada seseorang? Kadang aku berpikir; mungkin Tuhan sedang kesepian. Seperti kata seorang filosof, dulu Tuhan sendirian, karena dia kesepian maka satu demi satu dibuatlah galaksi, lalu bumi ditumbuhkan dengan berbagai macam tanaman, bebatuan, hewan, dan manusia. Lalu setelah itu Tuhan mulai menciptakan kesedihan, kebahagiaan dan berbagai macam skenario kehidupan.

            Di saat keponakanku terlelap, aku membongkar kembali tumpukan buku yang ada di lemari. Kutemukan sebuah novel dan kumcer. Aku kaget, ternyata dulu aku pernah membeli kumcer yang diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House. Ya, sebagian besar ceritanya semacam itu. Cerpen yang setiap endingnya ‘harus’ menginsyafkan pembacanya. Novel yang kutemukan adalah novelnya Orhan Pamuk yang berjudul Yeni Hayat atau Kehidupan Baru, terjemahan Serambi. Novel ini pernah dua kali kubaca, sayangnya tidak selesai. Lalu demi mengusir kebosanan, novel itu kubaca lagi. Ternyata benar kata seorang kawan, bahwa membaca Pamuk tidak boleh tergesa-gesa, mesti dinikmati paragraf per paragraf. Rasanya aku ingin sekali segera menamatkannya.
 
 
Blogger Templates