“Berusahalah membaca ayat Tuhan yang
ada di sekelilingmu.”
“Caranya gimana, Mas?”
“Kamu kan dibekali mata, telinga,
kepala untuk berfikir dan hati untuk merasa. Gunakanlah sebaik-baiknya. Berusahalah
sekuat-kuatnya, Tuhan tidak melihat hasil, Tuhan seringkali melihat seberapa
kita berusaha dan sampai level mana kita pasrah pada takdir.”
Tiba-tiba saja ingatan percakapan itu
menyeruak. Di bawah rinai hujan yang jatuh rintik-rintik. Kukira memang hujan memang
jatuh dari langit, bukan turun dari langit. Kalau turun, mestinya jaraknya
tidak terlalu tinggi. Bunyi klakson terdengar dari mobil dan sepeda motor di
belakangku. Aku berada di barisan kedua. Di perempatan lampu lalu-lintas Hotel
Golden Truly. Arah Senen menuju Ancol. “Woi... itu sudah lampu hijau!” teriak
dari salah satu pengendara motor yang tak sabar dari belakang. Bunyi klakson
semakin riuh. Susul-menyusul.
Kusapu kacamataku yang berembun.
Sambil menghela nafas. Aku bayangkan kemacetan jalan adalah negeri ini. Sedang
orang-orang yang di barisan depan, terdekat dengan lampu lalu lintas adalah
orang-orang yang berada di dalam barisan terdepan suatu masalah. Bisa jadi
kepala negara, ketua organisasi, atau kepala sebuah institusi tertentu. Meski
disadari setiap lampu lalu-lintas telah diprogram sedemikian rupa, menggunakan
“waktu tunda” atau waktu toleransi dari setiap arahnya, tetap saja ada yang
menyerobot.
Anggap saja lampu lalu lintas adalah
rambu-rambu, hukum, peraturan atau AD/RT dalam sebuah organisasi. Lihat dan
tentukan posisi anda berada di mana? Apakah anda berada di belakang barisan,
tengah atau di barisan terdepan. Orang yang berada di baris belakang bisa saja
melihat bahwa lampu lalu-lintas sudah menyala hijau, tapi apakah mereka tahu
bahwa ada orang tua yang menyebrang, ada pedagang kaki lima yang menyebrang,
atau lebih seringnya sisi jalur lain sedang macet, hingga menutupi jalan yang
seharusnya dilewati jalur lain.
Jika saja kita saling menyadari
posisi kita dalam bernegara, kelompok atau dalam sebuah pertandingan olah raga.
Tentu posisi kita menentukan langkah apa yang paling tepat untuk kita lakukan. Sekali
lagi, tentu kita akan bisa berpikir panjang dan mempunyai nilai “ngrumangsani” punya nilai sadar diri.
Di mana posisi kita. Apakah kita pemain atau penoton di balik kaca jendela. Kalau
ternyata kita sadar posisi bahwa kita adalah penonton, maka selayaknya kita
bisa menjaga diri dan tidak asal mbacot.