Social Icons

Halaman

12 Feb 2015

Surat Lampu Merah Ayat Satu (Bukan Kitab Suci)



“Berusahalah membaca ayat Tuhan yang ada di sekelilingmu.”
“Caranya gimana, Mas?”
“Kamu kan dibekali mata, telinga, kepala untuk berfikir dan hati untuk merasa. Gunakanlah sebaik-baiknya. Berusahalah sekuat-kuatnya, Tuhan tidak melihat hasil, Tuhan seringkali melihat seberapa kita berusaha dan sampai level mana kita pasrah pada takdir.”

Tiba-tiba saja ingatan percakapan itu menyeruak. Di bawah rinai hujan yang jatuh rintik-rintik. Kukira memang hujan memang jatuh dari langit, bukan turun dari langit. Kalau turun, mestinya jaraknya tidak terlalu tinggi. Bunyi klakson terdengar dari mobil dan sepeda motor di belakangku. Aku berada di barisan kedua. Di perempatan lampu lalu-lintas Hotel Golden Truly. Arah Senen menuju Ancol. “Woi... itu sudah lampu hijau!” teriak dari salah satu pengendara motor yang tak sabar dari belakang. Bunyi klakson semakin riuh. Susul-menyusul.

Kusapu kacamataku yang berembun. Sambil menghela nafas. Aku bayangkan kemacetan jalan adalah negeri ini. Sedang orang-orang yang di barisan depan, terdekat dengan lampu lalu lintas adalah orang-orang yang berada di dalam barisan terdepan suatu masalah. Bisa jadi kepala negara, ketua organisasi, atau kepala sebuah institusi tertentu. Meski disadari setiap lampu lalu-lintas telah diprogram sedemikian rupa, menggunakan “waktu tunda” atau waktu toleransi dari setiap arahnya, tetap saja ada yang menyerobot. 

Anggap saja lampu lalu lintas adalah rambu-rambu, hukum, peraturan atau AD/RT dalam sebuah organisasi. Lihat dan tentukan posisi anda berada di mana? Apakah anda berada di belakang barisan, tengah atau di barisan terdepan. Orang yang berada di baris belakang bisa saja melihat bahwa lampu lalu-lintas sudah menyala hijau, tapi apakah mereka tahu bahwa ada orang tua yang menyebrang, ada pedagang kaki lima yang menyebrang, atau lebih seringnya sisi jalur lain sedang macet, hingga menutupi jalan yang seharusnya dilewati jalur lain.

Jika saja kita saling menyadari posisi kita dalam bernegara, kelompok atau dalam sebuah pertandingan olah raga. Tentu posisi kita menentukan langkah apa yang paling tepat untuk kita lakukan. Sekali lagi, tentu kita akan bisa berpikir panjang dan mempunyai nilai “ngrumangsani” punya nilai sadar diri. Di mana posisi kita. Apakah kita pemain atau penoton di balik kaca jendela. Kalau ternyata kita sadar posisi bahwa kita adalah penonton, maka selayaknya kita bisa menjaga diri dan tidak asal mbacot.

 
 
Blogger Templates