“Yo suwungo, yo rame’o
Yo Keriso, yo Warongko’o
Yo Ingsuno, yo Abdi’o”
Kemarin
saya “memaksakan” diri untuk libur. Hehe.. ada gitu karyawan yang libur
dipaksa? Abaikan saja soal itu. Yang pasti karena serangan komplikasi, hehe...
terdengar canggih sekali bahasa saya ini. Iya, kemarin saya seharian kluthak-kluthek di kosan. Sakit flu,
batuk dan diare bersamaan. Untuk sakit yang terakhir bisa anda bayangkan
termasuk seberapa tinggi strata kehidupan sosial saya. Menurut analisa dan
hipotesa modern, katanya strata sosial seseorang itu bisa dilihat dari penyakit
yang dideritanya. Misalnya; kolesterol, ginjal, paru-paru, jantungan, itu semua
kan penyakitnya orang yang berkantong tebal. Lha orang-orang seperti saya ini
kan cocoknya sakit panu, kudis, dan korengen.
Saya
sudah nggak menghitung lagi berapa kali saya bolak-balik ke kamar kecil. Untuk urusan
buang ingus dan temannya. Mondar-mandir. Berkali-kali saya menghidup dan
mematikan TV, bosen acaranya itu-itu saja. Gosip sepanjang Mbah Subur. Yo wis,
ya sudah, saya iseng ngutak-atik laptop saya yang sekarang sudah hampir dua
minggu. Sakit kronis, hard disknya nggak ke deteksi. Saya copot baut-bautnya
saya copot mainboard hard disk dengan bagian piringan magnetiknya. Dengan bantuan
bensin saya bersihkan mainboardnya yang jamuran. Betulkan kata saya. Strata sosial
seseorang itu bisa dilihat dari jenis penyakitnya. Ternyata hard disk laptop
saya juga panuan. Akibat tempat yang lembab.
“Di
bantu yak... bin salabin jadi apa...?”
“Hehe... kok nggak jadi apa-apa...?”
“Oh, kurang tepuk tangannya.”
“Dibantu yak... Bin salabin jadi apa...?
Prok... Prok... Prokkk!”
Hehe... sudah kaya Pak Tarno saja.
Berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, berhasilah hard disk saya. Dialah yang
menghidupkan dan yang mematikan :D. begitu setelah hidup, saya kebingungan lagi
mau ngapain?
Saya melihat kepingan DVD seorang
teman kos, kepingan DVD berjudul “Nabi Darurat, Rosul Ad Hoc.” Hampir setahun
yang lalu kami menyaksikan teater itu. Drama teatrikal yang penuh dengan bahasa
sufi. Saya sampai beberapa kali geleng-geleng kepala. Berapa lama Cak Nun
membuat naskah skenarionya. Pemilihan kata, dialog-dialognya, serta
sentilan-sentilan bernada kritik yang dikemas dalam joke-joke yang khas.
Cerita beskisar tentang Ruwat
Sengkolo, alias Joko Kamto. Seorang duda yang ditinggal istrinya. Dia melakukan
ritual mengurung diri dalam sangkar. Dan dari sangkar itulah dia mulai
berdialog, bermonolog tentang dunia, tentang hakikat diri, tentang hidup dan
kehidupan.
“Panca Ganjil”
“1. Keganjilan Yang Maha Ganjil”
“2. Keganjilan Yang Ganjil Dan Bergenjil”
“3.
Keganjilan Indonesia.”
“4.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh keganjilan Dalam Permusyawaratan Perganjilan”.
“5.
Keganjilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Ruwat Sengkolo mengajarkan bahwa
untuk menjadi jati diri, kita harus merobohkan sangkar kejumudan kita.
“Agama kok gitu?”
“Gitu kok agama!”
“Kiai kok gitu?”
“Gitu kok, Kiai!”
Ada Alex Sarpin, sang sarjana S2. Yang
dikemas dalam kritis. Cak Nun menggambarkan tokoh ini dengan sindiran, bahwa
sarjana-sarjana yang lahir di negeri ini adalah sarjana yang pandai menghafal
teks dalam buku-buku. Bahkan di sindir dengan guyonan sarjana Ensiklopedia. Karena
apapun yang dibicarakannya terus menerus mengacu pada buku-buku yang dia
pegang.
Asik, menarik, dan layak untuk anda
tonton. Untuk mengurangi kebosanan anda pada sinetron dan film-film hantu
Indonesia.
Well, dibalik suka ada duka. Karena suka
dan duka hanyalah dipisahkan oleh selebar perbedaan yang sangat tipis. Bisa jadi
mereka adalah dua makhluk ciptaan Tuhan yang kembar siam. Dan begitu saja cerita saya, untuk cerita lengkapnya silakan beli DVDnya. Yang paling
membahagiakan saya dibalik libur saya kemari. Hehe... laptop saya bernyawa
lagi.
Wassalam.
Jakarta, 24 April 2013
Damar Panuluh Jiwo.