Jika hati ibarat sebuah ruangan
kecil. Anggap saja kontrakan sederhana. Ukuran tiga kali tiga meter. Yang
setiap hari kita kunjungi. Kita tempati. Kita bersihkan. Dan kita hafal
detilnya satu persatu. Mulai dari perabotan semisal dispenser, lemari pakaian,
kasur, foto-foto sahabat yang tertempel pada dinding. Angap saja ruangan itu
akan kita ingat bentuknya. Langit-langitnya. Daun pintunya. Semuanya. Bahkan
kita ingat semuanya ketika kita tidak berada di sana.
Hampir sepuluh tahun saya harus
pergi dari orang-orang yang saya sayangi. Keluarga. Saya harus berjalan
menyusuri jalanan ibu kota. Mencari berkah yang disebar Tuhan. Belajar menjadi
lelaki, belajar menjadi manusia. Sejak jauh dari rumah, teman dan tetangga
adalah saudara baru bagi saya. Pada mereka saya sering bercerita tentang
keinginan-keinginan masa depan saya. Tentang apa saja yang ada dibenak saya.
Teman adalah sosok baru yang mengisi
ruang kosong yang ditinggalkan saudara dan keluarga. Meski tidak sempurna,
teman mampu mengisi jarak-jarak yang longgar itu menjadi jarak yang nyaman. Ada
ruang baru di mana kita bisa curhat, berbagi suka dan duka, berbagi mimpi.
Semasa kuliah saya menjadi orang
yang langganan terlambat. Jangan heran jika bangku yang menjadi langganan saya
adalah dua baris dari belakang. Itu pun sudah saya siasati untuk mengambil jam
pelajaran di kelas yang berbeda. Kelas saya H, sedang kelas yang sering saya
ikuti adalah jadwal kelas G. saya keluar dari tempat kerjaan setelah Maghrib. Sedang
jam pertama kelas I rata-rata jam 5 sore. Sedang kelas G antara jam 6 atau jam
7 malam.
Dari situlah saya menjadi orang “buangan.”
Nempel kesana-kemari demi mengejar pelajaran. Tepatnya mengejar kuota absensi. Urakan,
telat dan tukang rusuh itu statement dari para dosen terhadap orang-orang yang
duduk di belakang. Dari situlah kami berkumpul dengan orang-orang yang di cap
sebagai geng rusuh. Anggota kami waktu itu; Ona, Restu, Wuri, Ahmad, Siti,
Wulan, Alifah, Hilman yang sesekali ikut karena menemani Dian, Ade Hasan,
Parto, dan siapa lagi? Saya mungkin lupa satu atau dua nama.
Semasa kuliah saya sering
menghabiskan waktu di dalam kelas dengan membaca karya-karya Pramoedya Ananta
Toer, Kang Jalal, John Shors, makan gorengan, ngobrol kesana-kemari tentang
pekerjaan. Trus soal pelajaran? Saya adalah orang yang “tersesat” dalam dunia
akuntansi. Sampai kuliah berakhir pun saya malu mengakui angka-angka yang
tertera dalam transkip nilai saya itu. Saya menyadari bahwa apa yang tertera di
dalam kertas itu adalah sebuah kebohongan. Sebagai tanggung jawab pribadi saya,
tak pernah sekali pun menggunakan ijazah dan transkip nilai itu untuk melamar
pekerjaan.
Saya itu orang yang suka iseng. Seringkali
keisengan saya itu tidak ketulungan. Termasuk iseng ketika membuat dosen marah.
Pernah sekali peristiwa saat ada mata kuliah Character Building. Geng kami
menyingkatnya menjadi kata Cabul. Dosen yang mengajar kami marah-marah.
Ceritanya begini. Sebagai tugas
paruh semester dibentuklah delapan kelompok. Tiap kelompok terdiri dari sepuluh
orang. Bisa kurang dari itu. Tim yang maju untuk presentasi menjadi bahan untuk
ajang bantai-membantai semacam itulah. Suatu hari ada tim X. saya lupa tim ke
berapa, membahas tema tentang sistem pendidikan pesantren. Seperti biasanya
saya asik membaca salah satu tetralogi Buru. Karena suara pembicara yang kurang
keras juga suasana mahasiswa yang gaduh. Sang dosen marah.
Anehnya, kenapa sasaran kemarahannya
tertuju pada kelompok kami? Kelompok delapan. Oh ya, selama presetasi itu duduk
dipisah sesuai dengan kelompok masing-masing. Saya yang sedari tadi sebenarnya
sambil lalu mendengarkan sambil membaca agak tersinggung juga dengan sang dosen
itu. Saya tahu bahwa dosen X itu merupakan salah satu simpatisan partai
perserta pemilu yang berazaskan nilai keagamaan.
“Coba yang dibelakang! Apa yang
dibicarakan tadi?”
Tak ada satu pun mahasiswa yang
berani ngomong. Sang dosen tambah semakin besar kepala dengan kemarahannya. Yang
menjadi pertanyaan saya kenapa bila ada presentasi yang kurang menarik pihak
pendengarlah yang dijadikan sasaran kemarahan. Kenapa mereka tak berkaca kalau
topik yang dibawakan tidak menarik. Atau cara membawakannya yang monoton.
“Ayo, bicara. Tunjuk tangan yang mau
menjawab!”
Saya agak marah waktu itu. Maklum saya
itu tempramental. Saya mengacungkan telunjuk jari saya. Dosen menanyakan beberapa
pertanyaan dan mampu saya jawab. Sang dosen merasa malu dan nggak nyaman. Dian
cengengas-cengenges sambil menggengam somay yang tersisa dalam plastik.
“Saya tidak meminta anda
berkomentar!”
Sang dosen makin marah ketika saya
berhasil menjawab pertanyaan itu. Dan memotong komentar saya terhadap proses
pembawaan presentasi. Dan hal seperti itu biasa saya alami di kampus dulu. Kesan
bahwa orang yang duduk di bangku belakang itu urakan, tidak pernah peduli
dengan mata kuliah, dan stigma jelek itu terus menempel hingga lulus kuliah. Apakah
saya marah dengan itu? Tidak sama sekali. Karena di bangku belakang itu saya
senang. Saya bisa memperhatikan setiap gerak.
Ada kawan yang asik main BB, ada
teman yang asik dandan, memakai eye liner, asik ngobrol dengan pacar, dan semua
aktifitas untuk mengusir kebosanan selama pelajaran berlangsung.
Dari hal-hal seperti itulah kami
satu geng jadi akur. Dekat satu sama lain. Saling melengkapi. Saling mengcover
kekurangan. Saling berbagi contekan. Dan yang terakhir itu yang paling saya
suka.
Kehilangan sesuatu apa pun itu pasti
sangat menyakitkan. Termasuk kehilangan seorang yang kita cintai. Seperti yang
dialami sahabat saya kemarin. Istri tercintanya pulang lebih cepat kehadirat
Tuhan. Jujur dulu saya sangat suka mengobrol dengan teman saya itu. Saya yang
suka iseng selalu suka melihat ekspresi perempuan penyuka warna ungu itu. Kalau
saya ledek mukanya langsung merah.
“Ih..., Mas Agus nih. Jahat banget
sama Okti.”
Kehilangan orang dekat, apalagi
seorang istri mungkin adalah kehilangan yang mungkin takkan sembuh dalam
hitungan hari. Pasti ada ruang yang kosong. Seperti ada yang hilang dalam
kontrakan imajiner yang saya gambarkan di awal paragraf. Ada momen-momen
bersama yang hilang. Panggilan sayang, lagu kenangan, makanan kesukaan. Momen di
mana mereka sambil lalu bercanda. Menghabiskan waktu sebelum mata terpejam.
Saya tak mampu mewakilkan bentuk
kesedihannya dalam kata-kata yang lebih dramatis. Saya takut akan lebih melukai
siapa pun. Sekedar sebagai penghibur. Saya teringat kisah ketika Nabi Ibrahim
berdialog dengan malaikat pencabut nyawa.
“Apakah
kau tega mencabut manusia yang dari bibirnya melantunkan puji dan cinta pada
Tuhannya?”
Malaikat
hanya terdiam.
“Apakah
kau tega memisahkan sang kekasih dengan yang dicintainya?”
Sang
malaikat yang tak pernah diajari ilmu berdebat bingung harus menjawab apa? Dengan
kebingungannya sang malaikat menghadap Tuhan.
“Sampaikan
pesan ini pada Ibrahim.”
Sang
Malaikat kembali menjemput Ibrahim.
“Tuhan
mencabut nyawamu bukan untuk memisahkanmu. Hakikatnya Sang kekasih harus
bersatu dengan yang dikasihinya.”
Sedih? Sudah pasti. Sebagai seorang
sahabat pun saya merasa kehilangan. Apalagi sebagai seorang suami? Semoga Tuhan
menawarkan pilihan hidup yang lebih baik bagi keduanya di kemudian hari. semoga
yang ditinggal dilimpahkan kesabaran yang tak terbatas. Semoga yang telah pergi
ditempatkan dalam Surga yang tak terbatas. Rahmat dan ampunan Tuhan yang maha
luas.
Jakarta, 27 Maret 2013
Damar Panuluh Jiwo