Penderitaan diciptakan untuk
menaikkan derajat manusia. Bisa jadi sebaliknya. Tinggal bagaimana seseorang
mampu melewati ujian tersebut. Sikap, selanjutnya-lah yang menentukan sebuah
musibah itu menjadi cambuk penguat atau menjadi racun perontok kehidupan
seseorang. Demikian pula dengan patah hati. Pada satu kesimpulan, akhirnya saya
bisa menarik premis, bahwa patah hati itu melembutkan hati. Dan saya yakin
sampai saat ini. Mungkin posisi hubungan terdekat saya dengan Tuhan, terjadi
ketika saya sedang patah hati.
Entah skenario apa yang sedang Tuhan
berikan pada saya saat itu. Hampir setiap persoalan saya dibenturkan pada dua
arus. Dalam organisasi kepenulisan, saya harus bertemu dengan golongan abangan
dan golongan puritan. Bagi saya awalnya tidak tertarik untuk terlibat langsung.
Karena sedari awal saya memang tidak punya ketertarikan untuk mengelola sebuah
organisasi, ikut menjadi pengurus. Jika terpaksa jadi pengurus, saya lebih
memilih untuk duduk dibalik layar. Berada di dapur, membantu mencuci piring,
menjaga api agar masakan tidak gosong karena apinya kebesaran atau tidak matang
karena apinya mati. Tak kurang dari itu.
Dalam dunia pencarian jati diri. Saya
dihadapkan pada dua kutub yang saling berbenturan dan seolah-olah tidak ada
titik temu sama sekali. Rasanya seperti hitam dan putih. Tak ada pilihan warna
lain. Sedang saya sendiri dalam situasi seperti itu. Akhirnya saya memilih
untuk keluar dari lingkaran perselisihan yang tak berujung itu. Saya memilih
menjadi murid murtad. Terlempar dari lingkaran. Tidak memilih kubu satu ataupun
lawannya. Dalam situasi seperti itu saya pernah menulis sebuah puisi yang saya
upload ke Facebook. (nanti akan saya cari puisi tersebut)
Mengurai, menganalisa, ikut terjun
langsung. Ikut bergerak. Niat awal sebenarnya menjadi penengah. Mencari solusi.
Ikut bergumul tapi tak ikut larut. Namun pada akhirnya setelah keterlibatan
dengan persoalan yang ada di depan mata, akhirnya saya bisa menjejakkan kaki.
Tepat di mana seharusnya saya mencari pijakan.
Barangkali penderitaan diciptakan
Tuhan sebagai kawah pencucian diri. Sebagai kawah Candradimuka. Agar saya
tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Di sela-sela itu semua. Tuhan
menggiring saya ke rumah. Tempat bersandar. Tempat peristirahatan sejenak. Nunut ngiyup. Numpang berteduh untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang
harus saya tempuh. Rumah itu beralamat di jalan Perintis III no 8. Komplek
Pepabri, Kunciran, Pinang, Kota Tangerang. Markas para jomblo semacam Saya, Mas
Ali, Soson, Ikal dan beberapa anak yang kehilangan arah hidupnya saat itu. Saya
rasa begitu adanya.
Tak ada kegiatan yang istimewa di
tempat itu. Sama seperti rumah biasa pada umumnya. Pun jika malam minggu tiba.
Selepas pulang dari tempat kerja saya di Mangga Dua. Saya langsung meluncur ke
sana. Ngobrol di saung, makan bersama, bercanda, nonton film. Sesekali ikut
diskusi dan seminar kecil-kecilan. Bagaimana cara menciptakan ide menulis.
Bagaimana peluang dan media mapping. Juga berbagi trik-trik menembus media. Jika
tolok ukurnya adalah menjadi penulis. Tentu saya berada di daftar urutan
pertama dari peserta yang GAGAL. Dengan huruf kapital. Setidaknya sampai saat
belum ada satu pun karya saya yang di muat di media cetak atau media online.
Tapi, saya lebih menyukai tolok ukur bagi pribadi saya sendiri. Dari rumah itu
saya menemukan banyak hal. Saya menemukan rumah, bukan sekedar tempat singgah.
Menemukan keluarga bukan sekedar teman satu kepentingan.
Lalu apa saja kegiatan di sana?
Biasanya malam minggu kami mengadakan “pengajian.” Mungkin bukan pengajian semacam
khalayak ramai. Melainkan hanya ngobrol tentang diri, berkelakar dengan hal-hal
kecil semisal (mohon maaf) berlomba dengan besar-besaran bunyi kentut.
Bercerita tentang masa lalu. Mengasyikkan sekali. Pada akhirnya kami seperti
menguliti diri sendiri. Untuk kemudian berdamai dengan masa lalu. Pernah sekali
waktu saya dipaksa tampil dalam sebuah wawancara televisi lokal. Sebelumnya
saya sedang bersih-bersih. Merapikan sampah dan piring. Oleh Bunda Era (FYI= di
rumah ini kami memanggil dengan sebutan “Panda dan Bunda”. Buat lucu-lucuan
aja. Tapi serius. Kami sudah menganggap bahwa pemilik rumah itu adalah ayah dan
ibu kami sendiri). Saya dipanggil. Ditodong dengan microphone. Dalam barisan
bangku itu. Fhia, Mas Andi “joy” terjal, Saya dan Mas Soson.
“Sampai sejauh ini, karya apa yang
sudah anda terbitkan?”
Skak mat. Memasuki pertanyaan itu
saya sempat tertohok. Seperti ujung belati yang menempel di tenggorokan. Saya
terdiam sesaat. Kemudian menjawab, “Kalau karya sebenarnya ada Ikal yang entah
kemana, sama satu lagi, adik saya yang paling ujung. Cerpennya sudah dimuat di
majalah.”
“Kalau bagi mas sendiri. Apa arti FUN
Institut?” Itu Mas wartawannya sudah ngejar dengan pertanyaan menohok.
(Semisal, “Buruan cepet kawinin aku. Kalau tidak tak panggilin satu RT buat
ngeroyok kamu.”)
“Karena saya perantauan. Anak kos.
Saya menemukan rumah kedua di sini. Di sini sudah seperti rumah saya sendiri.
Saya bebas berbuat apa saja. Tak perlu sungkan. Jaim seperti kebanyakan orang
Jawa. Harus punya unggah-ungguh. Dan yang terpenting. Di rumah ini saya
menemukan diri saya sendiri.”
Peristiwa itu terjadi saat perayaan
ulang tahun pertama Fun Institut. Wawancara dilakukan setelah acara melukis
bagi anak-anak TK dan pemotongan tumpeng. Satu atau dua tahun yang lalu.
***
Luka di masa lalu bisa saja menjadi
kenangan penuh senyum. Saat di dalam kamar. Sendiri. Atau saat berkendara.
Ketika tak ada teman yang bisa diajak bicara. Tiba-tiba kenangan lahir
membentuk makhluk bernama senyum. Ya, semua akan indah pada waktunya. Nampaknya
anggota rumah itu terus bertambah, seiring dengan berjalannya waktu. Bergerak
menambah kemanfaatan bagi orang lain.
“Jika telah selesai dengan dirimu.
Maka lebarkanlah sayap kebahagiaan itu untuk orang lain.”
“Biarkan saja orang mau bicara apa tentang
kita. Diamkan saja. Bukankah kebencian adalah cinta yang tak mengenali dirinya
sendiri. Kebencian adalah cinta yang menyembunyikan wajahnya. Kebencian adalah
cinta yang masih mencari ruang.”
“Jangan terlalu lama menjadi ulat
bulu. Sesegeralah menjadi kupu-kupu yang menyenangkan orang lain.”
“Silakan makan sekenyangnya di rumah
ini. Mau nginep. Pindah kos di sini juga nggak apa-apa.”
“Belajar dan bacalah apa saja.
Belajarlah dari siapa saja. Sebab kita tidak tahu perputaran roda nasib.
Perbanyaklah referensi. Menjiplak, meniru, copy
the master itu boleh dan sah-sah saja. Dalam hal untuk belajar. Namun,
ketika kau telah selesai dengan itu semua. Jadilah dirimu sendiri.”
Kalimat-kalimat itu terbang mencari tuannya.
Menjadi kupu-kupu imajinasi di dalam kepala saya. Hei... Kamu. Iya, kamu.
Apakah kau ingat momen-momen itu? Tertawa riang, makan rujak bareng, bingung
mencari rongga tersisa di perut karena makanan yang berlimpah. Menertawai
cerita apa saja. Sebab hidup ini cuma sebentar. Berbahagialah dengan yang
sederhana.
Tumpengan ultah 1 FI
Wawancara dadakan tanpa skenario
Menikmati makan siang di saung
Sok serius sekali Bapak yang satu ini :D
Mahatir, kemana saja kau?
Tebar pesona ala Mas Ali :D
Pada serius perkenalannya. Mbak Ega langsung promo microsolnya yang uenak itu.
Lama-lama Ikal kok jadi cemburu juga, ya... :D
Tak ada kata kelaparan di FI. Alhamdulillah...
Es kelapa mudanya laris. Apalagi wanita muda... Hehe...
"Berbagi itu puncak dari Cinta," kata Kang Tep.
Ultah FI ke-3
Tumpengan lageee...
Masih kaku aja. Sini Mbak Vitri contohin :D
Tinggal dipilih mana yang layak jadi putri Indonesia tahun 2015.
Berbagi di rumah yatim-piatu.
Biar kelihatan hobi baca. Numpang eksis salah satu rak buku koleksi FI