Social Icons

Halaman

27 Feb 2014

Karena Dia Agus Yang Lain




Kau melenguh ketika sleeping bag-mu kutarik dengan paksa. “Cepatlah, atau perjalanan kita sia-sia.” Dengan malas kau merapikan tutup kepala. Aku hanya tersenyum melihat bekas liurmu. Tapi aku suka. Kau malah terlihat cantik seperti itu. Apa adanya. Tanpa polesan. Betapa bodohnya diriku, bukankah selama ini memang tak secuilpun make up kau sapukan.
                                                             
“Buruan!” satu tanjakan lagi.”

Kau terengah-engah. Ada kepulan hawa panas dari mulutmu. Seperti para jungkies penghisap ganja amatir. “Mestinya kita pindahkan saja gunung dan angin di sini ke Jakarta. Biar tak ada lagi orang yang merokok.” Kau tertawa sambil memonyongkan mulutmu. Mengepulkan hawa lebih banyak lagi.

“Untuk apa kita jauh-jauh, berjam-jam berjalan kaki, kalau hanya untuk melihat Matahari?”
“Ssst....”

Kukatupkan telunjukku tepat di depan bibirku. Mengunci dua mulut sekaligus. Tak usah kujawab. Nanti kau akan melihatnya sendiri. Kau dan aku terdiam. Menghadap ke timur. Menanti sang Mentari. Sepi. Hanya desisan kecil terdengar sesekali. Benarkah Tuhan juga menciptakan malaikat-malaikat yang bertasbih di waktu fajar. Aku tidak tahu.

“Mas, Kau jahat sekali.”

Aku lihat genangan air mata di kedua ekor matamu. Bukankah selama ini selalu begitu. Gadis lugu, naif dan terkadang terlalu ekspresif. Benar seperti kata cerpenis itu. Aku biarkan saja seluruh air matamu tumpah. Entah itu air mata bahagia, sedih atau apa pun itu. Biarkan puncak Gede menyimpan seluruh kisahmu. Tak perlu bagiku untuk bertanya. Itu air mata apa.

“Kenapa baru sekarang ngajak aku ke sini?”
“Iya, baru sempet. Males sih, sebenarnya. Yang ada nanti cuma nyusahin.”
“Ih... Dasar Jelek. Tanduknya keluar tuh.”
“Haha... Biarin.”

Saat itu aku hanya ingin bersimpati padamu. Seorang gadis lugu yang hampir dua bulan menghilang dari dunia. Mengurung diri dalam kamar. Gadis lugu yang selalu berprasangka baik, bahwa kekasihnya, cerpenis yang brengsek itu akan berubah. Sayangnya tidak sama sekali. Seperti kata pepatah bahwa ekor anjing yang bengkok tak dapat diluruskan kembali.
           
            Adakah hal yang menyakitkan selain terjebak di dalam kenangan? Mungkin ada. Tapi sampai saat ini aku belum menemukannya. Kadang aku sedikit heran. Kau itu seperti sebuah sindiran bagi Jakarta. Tepatnya mungkin sebuah lelucon. Kenapa gadis lugu, polos, ehmm... mungkin sedikit “bodoh” sepertimu itu bisa tumbuh di Jakarta. Bukankah ini seperti sebuah ironi. Seperti kau melihat sekuntum mawar merekah di atas kotoran sapi. Kenapa Jakarta yang keras, ambisius, kejam, dekil dan naif ini bisa menciptakan makhluk selugu dirimu. Ah, aku tak tahu. Mungkin saja masa lalumu lebih banyak kau habiskan dalam kamar bersekat.  Penjara suci yang diciptakan kedua orang tuamu. Tak heran, ketika kau pada akhirnya keluar dari istanamu itu. Kau hanyalah sesosok kambing kecil yang keluar dari kelompoknya. Sedang puluhan serigala telah mengintaimu dari segala penjuru mata angin. Kau adalah mangsa empuk bagi pria hidung belang.

            “Ayo buruan turun.”
            “Mas, sebentar lagi... Pliss...”
            “Nggak! Kau tahu, sebentar lagi bisa saja turun hujan.”
            “Mana mungkin?”

            Kutarik lenganmu. Aku kira sebentar lagi akan turun hujan. Awalnya aku juga tak mengira akan mendapati terbit mentari. Aku hanya berpikir, mungkin hanya sebuah keberuntungan dapat melihat mentari di antara kebut tebal semalam. Bukankah begitu. Gunung itu menyimpan banyak misteri dalam kediamannya. Termasuk juga cuaca di puncaknya.

            Tiga puluh menit kemudian, kami telah sampai di Kandang Badak. Benar saja. Tak lama waktu berselang hujan turun deras. Kami terburu-buru masuk ke dalam tenda. Dari dalam tenda kuraih kompor dan nesting. Memasukkan sisa air tadi malam.
           
“Mau kopi atau teh nona kecil?”
            “Request boleh nggak, Mas?”
            “Apa...?”
            “Hehe... Aku mau coklat panas”
            “Ah, Kau ini selalu saja merepotkan. Mana ada coklatnya. Kemarin aku nggak beli.”
           
             Belum selesai ocehanku. Kau malah tersenyum menyeringai. Senyuman licik yang selalu membuatku tambah kesal.

            “Hihi... Ini ada dua batang Silver queen.”
           
            Aku hanya menghela nafas. Kemudian menyambar sebatang coklat dari tanganmu. Kutuang kembali setengah air yang tadi kumasukkan dalam nesting. Kupatahkan batang coklat itu. Memasukkan sedikit air. Setelah agak lumer, kupisahkan kacang mede dari dalamnya. Lalu kutambahkan air secukupnya.

            “Nih, mau nggak? Kacang mede lagi mahal, lho. Sekilo mentahnya seratus ribu.”
            “Hehe... Mas buka lapak di mana? Sampai hapal harganya gitu?”
“Dasar... Pengacau kecil.” Aku pura-pura melempar sendok di tanganku.
“Ih.... Mas jahat. Kan becanda doang.”

Mungkin menikmati secangkir teh dan coklat panas di Jakarta adalah hal biasa saja. Tapi, entahlah. Semua hal yang biasa-biasa saja di kota selalu menjadi luar biasa ketika dinikmati di gunung.

“Boleh request lagi, nggak, Mas?”
“Boleh, tapi ada tarifnya?”
“Ih... Matre amat jadi cowok.”
“Hidup di Jakarta mahal, Cyin... Akika kan butuh beli bedak sama maskara.”
“Hihihi... Uhuk... Uhuk. Ah, gara-gara Mas nih, jadi kesedak. Mana tumpah lagi coklatku. Tapi, bagus juga, Mas. Besok-besok mangkal di taman lawang aja, buat sampingan. Hihihi...”
“Minta apalagi?”
“Itu... Pintunya tolong dibuka dikit aja.”

Aku hampir lupa. Bukankah kau menggilai hujan. Atas alasan apa kau mencintai hujan, aku tidak tahu. Mungkin saja suatu hari kau pernah menyamarkan air matamu di bawah rinai hujan. Bukankah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Ketika kesedihan itu begitu memuncak, aku juga pernah melakukan hal yang sama. Aku berharap air hujan adalah peluru yang menembus kepalaku. Menghilangkan beberapa kenangan masa lalu.

“Kreeek.... Kijang satu posisi sudah di Kandang Badak. Macan satu harap lapor kondisi terakhir.”

Dari HT di luar tenda, kudengar dua orang Ranger sedang bercakap-cakap dengan kawannya. Rupanya ada dua orang yang tersesat. Sepasang pengantin baru dari Jakarta yang merayakan bulan madu. Memang tak bisa dipungkiri hujan lebat seringkali membuat panik beberapa pendaki.

“Kreek.... Kijang satu boleh tahu identitasnya, ganti”
“Kreeek... Agus dan Dewi, ganti.”
“Kreeek... Asal?, ganti?”
“Kreek... Mampang.”

Mendengar nama kota itu wajahmu langsung pucat. Setelah itu kau merengek dengan segala alasan. Aku tahu, semua tak mudah bagimu.

“Mas, biarkan aku ikut membantu mencari?”
“Nggak! Kau diam di sini. Bisa-bisa kau malah menyulitkan pencarian.”
“Mas... Plis....?”
“Nggak...! kali ini nggak ada kompromi! Kenapa? kau masih peduli padanya. Dasar gadis bodoh. Kenapa kau masih saja terbelenggu masa lalu. Sadarlah. Kau juga harus melanjutkan hidupmu.”
“Aku mau menolongnya karena dia manusia, bukan karena dia mantan kekasihku!”

Matamu nanar, ada kepedulian, marah dan cemas bercampur di sana.

“Diam di situ. Jangan kemana-mana, tunggu sampai aku kembali.”

Aku sendiri menyerah pada keinginanmu. Ikut mencarinya. Aku bergabung dengan beberapa Ranger. Kami telusuri tebing, mengamati celah-celah yang kira-kira bisa dimasuki. Melongok ke bawah kawah, seandainya mereka berdua tergelincir dan jatuh ke sana. Hujan yang lebat membuat medan semakin sulit. Pencarian dilanjutkan. Menjelang Maghrib tim evakuasi berhenti sebentar. Menelan beberapa potong roti kering, dan menghangatkan badan dengan sesapan kopi pahit dari dalam thermos kecil yang dibawa seorang Ranger.

Kabar baik itu akhirnya datang. Tim evakuasi pertama telah menemukan pasangan pengantin itu, meski dalam kondisi mengkhawatirkan. Sang gadis mengalami hypothermia. Buru-buru beberapa orang memangkas kayu. Membuat tandu. Mereka berencana merawatnya di Kandang Badak. Menunggu masa kritis berlalu. Setidaknya sampai si gadis dalam kondisi memungkinkan.

*****

Malam itu kami mengurungkan niat untuk turun. Setidaknya menunggu besok pagi. Aku buru-buru mematikan lampu senter yang tergantung di tengah-tengah tenda. Kami butuh istirahat. Mengumpulkan tenaga untuk perjalanan besok pagi.

Malam menyelimuti hati yang resah. Dalam rinai hujan yang tidak terlalu deras. Aku masih mendengar kau menangis sesenggukan. Aku biarkan semua itu. Benar kata ibuku. Kesedihan itu membutuhkan tempat. Kesedihan itu membutuhkan ruang. Dan bagimu ruang itu adalah kesendirian.

Pagi setelah kami berbenah. Mengepaki barang-barang ke dalam carrier. Menaruh sleeping bag di dalam tumpukan terbawah. Pakaian kotor di tengah. Kompor dan nesting di atasnya,  dan yang paling atas adalah sisa remah-remah dan roti kering yang sengaja kami sisakan.

“Yakin, Kau tak mau menemuinya?”
Kau hanya menggelengkan kepala.
“Ayolah kalau begitu. Kita turun.”
“Hap...!” 

Tak banyak yang bisa aku katakan sepanjang perjalanan turun. Nampaknya sia-sia saja aku mengoceh. Membuat lelucon. Kau sendiri hanya sesekali tertawa getir. Di beberapa tempat pemberhentian, aku memejamkan mata. Menghirup udara yang mungkin besok takkan kutemui di Jakarta.

Tak sampai tengah hari. Kau dan aku sampai di warung Mang Idi. Kuambil handuk dan sabun dari dalam carrier. Kau? Entahlah, masih saja kau diam seperti gunung di belakangmu. Setidaknya aku bangga padamu. Bahwa kau bukanlah gadis lugu seperti yang dikatakan cerpenis itu. Karena aku menemukan keteguhan hati di dalam sikapmu.

“Bang, makasih bantuannya semalam.”
“Hehe... Iya, Mas, santai saja.
“Keren! Habis mandi, Bang? Nggak kedinginan?”
“Hehe... Biar seger. Gimana istri sudah mendingan?”
“Sudah Bang. Itu lagi minum bendrek.”
“Oh, Iya ini kenalkan teman saya”
“Riri...”
“Agus...”

Sesaat mukamu langsung padam. Tatkala kau menyadari kenyataan. Bahwa kau telah masuk dalam jebakan. Aku buru-buru pamit. Memasukkan handuk dan sabun ke dalam carrier. Sesegera mungkin menjauhi hukuman apa yang akan kau timpakan padaku nanti. Karena telah mengusilimu. membuatmu cemas semalaman. Iya, dia memang bukan Agus mantanmu itu. Bukan cerpenis itu. Karena dia Agus yang lain.


26 Feb 2014

Mungkin Sudah Waktunya Memilih.



           “Le, Ente buat biodata dulu, urusan yang lain, nanti Ane yang urus.”

Kalimat itu meluncur dari seorang teman yang selalu memanggil saya dengan sebutan, “Thole atau Le.” Yang berarti adik. Seseorang yang sudah saya kenal dari tahun 2000an. Salah satu orang yang punya pengaruh di salah satu partai yang konon berasaskan Islam. Orang yang sama, yang menelpon saya malam hari, sekitar jam sebelasan malam. “Le, Ente sudah siap belum?”

Pertanyaan yang saya jawab dengan tertawa. Pada saat yang sama ketika saya sedang mengerjakan tugas kuliah. Selidik punya selidik, perempuan yang diajukan dulu adalah salah satu teman sekelas. Kenyataan ini baru saya ketahui beberapa bulan belakangan. Sebenarnya, Saya bukan anti dengan cara perkenalan semacam itu. Pertama, saat itu saya memang belum menargetkan untuk menikah. Masih ada beberapa rencana kecil yang saya simpan di kepala saya. Dan janji pada ibu saya yang belum saya tunaikan.

Kedua, saya merasa bahwa kehidupan saya dari dulu hingga sekarang, saya rasa tidak se-Islami sesuai yang tertera dalam pemahaman syari’at mereka. Saya merasa kasihan, nanti kalau ternyata ada seorang Akhwat yang kecewa pada perantara itu, lantaran mendapatkan suami yang urakan dan tidak syar’i.

******

Di bawah ini saya tuliskan anekdot yang terlintas di kepala saya, ketika sudah males harus menjawab apa jika ditanya seputar nikah. Kadang kesel, kadang cengengesan, kadang marah. So... cekidot.

“Kapan nih, lama amat?”
“Iya, besok.”

Versi lain

“Kapan Lu ngundang-ngundang?”
“Nanti malam ya?”
“Beneran?”
“Iya, undangan Yaa siinan.”

Versi lain

“Lu, terlalu pemilih kali?”
“Bro, emak Gue aja yang beli panci di pasar yang ada garansinya tiga hari. Itu saja masih nawar sepanjang kereta. Masih milih dua tiga jam. Nah, masak yang urusan seumur hidup, Gue nggak milih-milih. Kan ada aturan yang jelas. Kalau tidak cocok tak semudah menukar panci.”

Versi lain

Saat kondangan Saya ketemu seorang kawan. Dan dia bertanya pada saya.
“Kok kodangannya sendirian.”
“Pemberani itu... Kondangan datang sendiri, Cin... :P”


           ******

Kini, tiba-tiba saja tawaran itu kembali terkuak dari long term memory saya, setelah beberapa kali ibu saya menanyakan baik secara tersirat maupun terang-terangan. Oke, ya sudahlah, saya akan buat deh biodata yang dimaksud. Cuma persoalan muncul, apa yang harus saya isikan di dalam biodata saya tersebut? Apakah perlu adanya isian bahwa saya pernah ditolak berapa kali? Pernah di PHP-in berapa kali dan pernah mutus cewek berapa kali? Haha... Cuma bercanda jangan dimasukkan dalam hati. Masukin kantong plastik aja. Bungkus, kasih label harga, terus jual di mini market. Haha... dasar, gantheng lu... (Saya mulai belajar untuk tidak menggunakan kalimat makian yang merendahkan orang lain semisal bego, goblok, tolol, jelek. Takut yang kena tersinggung, Cin)

Setelah saya browsing sebentar di salah satu laman yang mengatasnamakan Islam. Saya download format biodata tersebut, saya cuma bisa melongo kayak kebo dongo. Heheh... soalnya kenapa kok rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak “sreg” di hati saya. By the way, mungkin jika memang jalannya harus begitu ya mau bagaimana lagi. Semua akan saya tunaikan secara sah. Menurut adat dan ketentuan yang berlaku.
 
 
Blogger Templates