Membaca buku “Wajah Negeri yang
Terlupakan” seperti membaca hidup penulisnya. Saya menerka bahwa hampir separuh
kisah yang disajikan adalah hasil olah pengalaman dan pengamatan sekelilingnya.
Dari sudut pandang kaum proletar Sang
penulis mengambil sudut pandang dan memposisikan diri. Cerita dibuka dengan
sosok bocah kecil pencinta hujan. Dalam arti yang satire. Seorang anak yang dipaksa keadaan untuk ikut membantu
keuangan kedua orang tuanya. Sang Ayah harus menjadi pengemis karena kecelakaan
yang menyebabkan cacat permanen, dan PHK tak luput dari ujian berikutnya. Jalinan
kisah berkelindan dengan seorang lelaki kelas menengah yang sedang mengalami
keretakan rumah tangga. Kenyataan hidup yang kontras. Menggambarkan dua
keluarga dengan dua sisi yang paradoksional. Yang satu keluarganya utuh,
harmonis namun mengalami kesulitan ekonomi, sedang satunya dalam keadaan
ekonomi yang mapan namun kondisi rumah tangganya sedang dalam keadaan yang
tidak kondusif.
Penulis mengajak kita untuk merenung
dengan kehidupan wong cilik.
Aktifitasnya sebagai seorang akuntan di sebuah kementrian begitu kental dalam
tulisannya. Juga pengamatan tentang kehidupan di sepanjang rel kereta api
menjadi salah satu cerita yang runut.(Mengingatkan
saya pada Sungging Raga, yang sering menuliskan ihwal kereta api dalam
cerpen-cerpennya, tentu dengan sudut pandang yang berbeda). Mas Joko Rehutomo
mengalami peristiwa penertiban area stasiun yang terjadi pada era Ignatius
Jonan. Hal yang menjadi dilematis. Kebutuhan perut selalu menjadi alasan
klasik, sedang di sisi lain, pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan
yang baik berupa ketertiban dan tempat yang nyaman. Sayangnya kedua kubu
seringkali tidak pernah menemukan titik temu. Dan ujung dari peristiwa
perulangan sejarah itu; yang kecil harus menyingkir.
Jawa sentris
Orang Jawa bertutur tentang
kehidupan orang Jawa. Enam belas cerpen yang terangkum dalam Kumcer ini hampir
semuanya beraroma Jawa. Mulai dari nama, setting,
juga polemik kehidupan yang dialami. Pun jika setting bukan di Jawa, kisah yang dihadirkan adalah cerita tentang
orang Jawa yang merantau di Jakarta atau tempat lain. Hadir pula tokoh dan
selipan cerita pewayangan semisal Arjuna, Bimasena, Lesmana dan lain-lain. Tentu
hal ini tak lepas dari kelahiran penulis sendiri, yang memang besar dan tumbuh
di Provinsi Jawa Timur. Frase, peribahasa, klenik Jawa tersebar di sana-sini.
Entah ini disengaja atau tidak oleh Mas Joko.
Menimbang kedekatan saya dengan pribadi
penulis. Saya tahu bahwa beberapa cerpen yang dikisahkan di dalam buku ini tak
bisa lepas dari kemelekatan pribadi Mas Joko dan lingkungannya. Ada satu cerpen
yang mengisahkan tentang keluarga beserta kakak perempuannya yang mengidap
kanker payudara. Meski di kemudian hari kakaknya dipanggil lebih dahulu setelah
berjuang dengan anugrah Tuhan itu. (Semoga almarhumah diberikan keluasan rahmat
dan cinta yang tak terhingga dari Yang Maha Segalanya. Amin...)
Penulis sendiri saya kira besar
dan tumbuh dari keluarga kelas menengah. Gaya tutur yang lembut, sopan dan
terkesan menghindari kalimat-kalimat langsung dan sarkasme diganti dengan
kalimat melingkar. Sebut saja kata perawan diganti dengan mahkota satu-satunya
bagi seorang perempuan, Bahkan dalam kasus pertikaian pun dipilihkan gaya yang “njawani banget.” Sebut saja salah satu
adegan seorang ibu yang memilih diam menahan sekam amarah, diikuti dengan ngambek mengurung diri dalam kamar. Dalam
kepala saya seolah berdiri seorang Raden yang menceritakan kisahnya saat
menjelang usia senja. Sopan santun, unggah-ungguh dijaga dan dipertahankan. Atau
mungkin ini penulis tetapkan karena ikut tergabung dalam salah satu komunitas
menulis yang konon menjaga sastra santun. Keberadaan dua buah cerpen berjudul “Elegi
Stasiun Tua” dan “Senja Wihara Tua” seolah hanya sekedar selingan semata, agar
cerita tak terlalu Jawa sentris.
Penghormatan Setinggi-tingginya Pada sosok Ibu.
Dalam cerpen yang berbeda, Mas
Joko menggambarkan sosok perempuan Jawa yang sempurna. Lembah-lembut, nrimo ing pandum (menerima keadaan)
meski menjadi seorang perempuan yang diduakan, sosok ibu dalam tokoh cerpen Mas
Joko ditokohkan dengan perempuan Jawa yang sekali lagi saya katakan sempurna.
Tetap menjadikan suami yang tak lama menyambangi rumahnya sebagai seutuhnya
pria dalam hidupnya.
Juga tokoh Bunda dalam cerpen “Pesarean.”
Sosok Tuhan yang mengejawantah ini digambarkan begitu agung, tulus dan lugu. Sebagaimana
penulis lain yang menggambarkan tokoh dalam kisah hidupnya. Pram misalnya lebih
menyukai sosok pilihan perempuan yang tangguh, cerdas, dan mandiri; Nyai
Ontosoroh dan Gadis Pantai. Nama terakhir konon merupakan bentuk “pemujaan” setinggi-tingginya
terhadap sikap mendiang nenek Pram.
Lain hal misalnya Andrea Hirata
yang lebih menitik beratkan pada sosok “ayah nomer satu sedunia.” Tentu keberpihakan
dan sisi kedekatan emosional tiap penulis berbeda-beda. Dan tanpa mengurangi
sisi manusiawi sebagai seorang anak. Memilih kedekatan emosional antara ayah
atau ibu tentu tak terelakkan.
Menunggu Kejutan Sang Idealis.
Sebenarnya saya sedikit kecewa.
Ekspektasi saya tentang pegawai negeri di salah satu kementrian negeri ini
ternyata sedikit meleset. Memang ada satu dua sentilan melalui kisah surealis dalam cerpen “Saksi Sumbang”
kisah tentang tokek yang jengah melihat transaksi di balik terali besi. Juga
sindiran halus Patung MH Thamrin. Sedari awal membaca Kumcer ini dari halaman
per halaman saya menunggu tema tentang keberadaan kisah tikus-tikus di balik
meja, transaksi-transaksi dengan nota fiktif, atau kasus lain yang bersentuhan
langsung dengan keseharian penulis. Mungkin Mas Joko punya alasan yang lain.
Entahlah.
Tak ada gading yang tak retak. Tentu
tak semua karya bebas dari kekurangan. Saya menemukan sedikit kesalahan logika
yang ada di cerpen “Perempuan Pinggiran” setidaknya ada dua kesalahan logika
yang ada di sana. Misalnya bagaimana seorang Nunung yang serta merta gigi
depannya tanggal sebanyak empat buah bisa berbicara jelas? (orang ompong
biasanya kesulitan dalam mengucapkan huruf tertentu)
Lalu diceritakan pada paragraf
selanjutnya ketika penyebutan Nunung sebagai “Janda Kembang.” Istilah janda
kembang yang saya tahu mengacu pada janda yang ditinggal mati oleh suaminya
tanpa seorang anak yang menyertai. Di dalam cerpen itu dikisahkan Nunung
sebelumnya telah menikah dengan suami pertamanya dan dikaruniai seorang anak?
Pada akhirnya penulis telah mati
setelah karyanya lahir. Silakan menikmati buku ini. Anda akan disuguhi cerpen
realis dan surealis. Jika ditanya cerpen mana yang menurut saya paling oke?
Pilihan saya jatuh pada “Dramaturgi Katak.” Anda penasaran dengan kisahnya? Silakan
beli di toko buku terdekat, atau silakan hubungi penulis langsung di akun FB
(Joko Rehutomo) atau via email: rehutomosunu@gmail.com.
Selamat membaca dan salam literasi.
Judul Buku : Wajah Negeri yang Terlupakan
Penulis : Joko Rehutomo
Penerbit : Trust Media
Tebal : 206 Halaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar