Social Icons

Halaman

13 Mei 2016

Resensi Kumcer Wajah Negeri yang Terlupakan.



Membaca buku “Wajah Negeri yang Terlupakan” seperti membaca hidup penulisnya. Saya menerka bahwa hampir separuh kisah yang disajikan adalah hasil olah pengalaman dan pengamatan sekelilingnya. Dari sudut pandang kaum proletar Sang penulis mengambil sudut pandang dan memposisikan diri. Cerita dibuka dengan sosok bocah kecil pencinta hujan. Dalam arti yang satire. Seorang anak yang dipaksa keadaan untuk ikut membantu keuangan kedua orang tuanya. Sang Ayah harus menjadi pengemis karena kecelakaan yang menyebabkan cacat permanen, dan PHK tak luput dari ujian berikutnya. Jalinan kisah berkelindan dengan seorang lelaki kelas menengah yang sedang mengalami keretakan rumah tangga. Kenyataan hidup yang kontras. Menggambarkan dua keluarga dengan dua sisi yang paradoksional. Yang satu keluarganya utuh, harmonis namun mengalami kesulitan ekonomi, sedang satunya dalam keadaan ekonomi yang mapan namun kondisi rumah tangganya sedang dalam keadaan yang tidak kondusif.

Penulis mengajak kita untuk merenung dengan kehidupan wong cilik. Aktifitasnya sebagai seorang akuntan di sebuah kementrian begitu kental dalam tulisannya. Juga pengamatan tentang kehidupan di sepanjang rel kereta api menjadi salah satu  cerita yang runut.(Mengingatkan saya pada Sungging Raga, yang sering menuliskan ihwal kereta api dalam cerpen-cerpennya, tentu dengan sudut pandang yang berbeda). Mas Joko Rehutomo mengalami peristiwa penertiban area stasiun yang terjadi pada era Ignatius Jonan. Hal yang menjadi dilematis. Kebutuhan perut selalu menjadi alasan klasik, sedang di sisi lain, pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik berupa ketertiban dan tempat yang nyaman. Sayangnya kedua kubu seringkali tidak pernah menemukan titik temu. Dan ujung dari peristiwa perulangan sejarah itu; yang kecil harus menyingkir.


Jawa sentris

Orang Jawa bertutur tentang kehidupan orang Jawa. Enam belas cerpen yang terangkum dalam Kumcer ini hampir semuanya beraroma Jawa. Mulai dari nama, setting, juga polemik kehidupan yang dialami. Pun jika setting bukan di Jawa, kisah yang dihadirkan adalah cerita tentang orang Jawa yang merantau di Jakarta atau tempat lain. Hadir pula tokoh dan selipan cerita pewayangan semisal Arjuna, Bimasena, Lesmana dan lain-lain. Tentu hal ini tak lepas dari kelahiran penulis sendiri, yang memang besar dan tumbuh di Provinsi Jawa Timur. Frase, peribahasa, klenik Jawa tersebar di sana-sini. Entah ini disengaja atau tidak oleh Mas Joko. 

Menimbang kedekatan saya dengan pribadi penulis. Saya tahu bahwa beberapa cerpen yang dikisahkan di dalam buku ini tak bisa lepas dari kemelekatan pribadi Mas Joko dan lingkungannya. Ada satu cerpen yang mengisahkan tentang keluarga beserta kakak perempuannya yang mengidap kanker payudara. Meski di kemudian hari kakaknya dipanggil lebih dahulu setelah berjuang dengan anugrah Tuhan itu. (Semoga almarhumah diberikan keluasan rahmat dan cinta yang tak terhingga dari Yang Maha Segalanya. Amin...)

Penulis sendiri saya kira besar dan tumbuh dari keluarga kelas menengah. Gaya tutur yang lembut, sopan dan terkesan menghindari kalimat-kalimat langsung dan sarkasme diganti dengan kalimat melingkar. Sebut saja kata perawan diganti dengan mahkota satu-satunya bagi seorang perempuan, Bahkan dalam kasus pertikaian pun dipilihkan gaya yang “njawani banget.” Sebut saja salah satu adegan seorang ibu yang memilih diam menahan sekam amarah, diikuti dengan ngambek mengurung diri dalam kamar. Dalam kepala saya seolah berdiri seorang Raden yang menceritakan kisahnya saat menjelang usia senja. Sopan santun, unggah-ungguh dijaga dan dipertahankan. Atau mungkin ini penulis tetapkan karena ikut tergabung dalam salah satu komunitas menulis yang konon menjaga sastra santun. Keberadaan dua buah cerpen berjudul “Elegi Stasiun Tua” dan “Senja Wihara Tua” seolah hanya sekedar selingan semata, agar cerita tak terlalu Jawa sentris.


Penghormatan Setinggi-tingginya Pada sosok Ibu.

Dalam cerpen yang berbeda, Mas Joko menggambarkan sosok perempuan Jawa yang sempurna. Lembah-lembut, nrimo ing pandum (menerima keadaan) meski menjadi seorang perempuan yang diduakan, sosok ibu dalam tokoh cerpen Mas Joko ditokohkan dengan perempuan Jawa yang sekali lagi saya katakan sempurna. Tetap menjadikan suami yang tak lama menyambangi rumahnya sebagai seutuhnya pria dalam hidupnya.

Juga tokoh Bunda dalam cerpen “Pesarean.” Sosok Tuhan yang mengejawantah ini digambarkan begitu agung, tulus dan lugu. Sebagaimana penulis lain yang menggambarkan tokoh dalam kisah hidupnya. Pram misalnya lebih menyukai sosok pilihan perempuan yang tangguh, cerdas, dan mandiri; Nyai Ontosoroh dan Gadis Pantai. Nama terakhir konon merupakan bentuk “pemujaan” setinggi-tingginya terhadap sikap mendiang nenek Pram. 

Lain hal misalnya Andrea Hirata yang lebih menitik beratkan pada sosok “ayah nomer satu sedunia.” Tentu keberpihakan dan sisi kedekatan emosional tiap penulis berbeda-beda. Dan tanpa mengurangi sisi manusiawi sebagai seorang anak. Memilih kedekatan emosional antara ayah atau ibu tentu tak terelakkan.


Menunggu Kejutan Sang Idealis.

Sebenarnya saya sedikit kecewa. Ekspektasi saya tentang pegawai negeri di salah satu kementrian negeri ini ternyata sedikit meleset. Memang ada satu dua sentilan melalui kisah surealis dalam cerpen “Saksi Sumbang” kisah tentang tokek yang jengah melihat transaksi di balik terali besi. Juga sindiran halus Patung MH Thamrin. Sedari awal membaca Kumcer ini dari halaman per halaman saya menunggu tema tentang keberadaan kisah tikus-tikus di balik meja, transaksi-transaksi dengan nota fiktif, atau kasus lain yang bersentuhan langsung dengan keseharian penulis. Mungkin Mas Joko punya alasan yang lain. Entahlah.

Tak ada gading yang tak retak. Tentu tak semua karya bebas dari kekurangan. Saya menemukan sedikit kesalahan logika yang ada di cerpen “Perempuan Pinggiran” setidaknya ada dua kesalahan logika yang ada di sana. Misalnya bagaimana seorang Nunung yang serta merta gigi depannya tanggal sebanyak empat buah bisa berbicara jelas? (orang ompong biasanya kesulitan dalam mengucapkan huruf tertentu)
Lalu diceritakan pada paragraf selanjutnya ketika penyebutan Nunung sebagai “Janda Kembang.” Istilah janda kembang yang saya tahu mengacu pada janda yang ditinggal mati oleh suaminya tanpa seorang anak yang menyertai. Di dalam cerpen itu dikisahkan Nunung sebelumnya telah menikah dengan suami pertamanya dan dikaruniai seorang anak?

Pada akhirnya penulis telah mati setelah karyanya lahir. Silakan menikmati buku ini. Anda akan disuguhi cerpen realis dan surealis. Jika ditanya cerpen mana yang menurut saya paling oke? Pilihan saya jatuh pada “Dramaturgi Katak.” Anda penasaran dengan kisahnya? Silakan beli di toko buku terdekat, atau silakan hubungi penulis langsung di akun FB (Joko Rehutomo) atau via email: rehutomosunu@gmail.com. Selamat membaca dan salam literasi.




Judul Buku          : Wajah Negeri yang Terlupakan
Penulis                : Joko Rehutomo
Penerbit              : Trust Media
Tebal                  : 206 Halaman.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates