Social Icons

Halaman

9 Des 2014

Facebook, Klakson, dan Toleransi



Sudah hampir enam bulan motor saya mati klaksonnya. Awalnya memang ada niat untuk pergi ke bengkel, barang kali banyak karat menempel atau bisa jadi aki-nya telah habis. Bulan berganti, minggu berlalu, tiap kali saya pergi ke bengkel untuk ganti oli dan servis karburator, niatan untuk membenahi klakson itu selalu saya urungkan. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Mulanya seperti ada yang hilang. Tapi lama-kelamaan saya malah menikmati motor tanpa klakson. Mungkin satu dua kali hati jadi kesal karena ada kendaraan yang berbelok sembarangan, atau tiba-tiba dari arah yang tak diduga ada seseorang yang menyeberang jalan. “Tin...!” kontan saja jika saja klakson di motor saya masih ada tentu sudah dibarengi dengan makinan, entah itu berbagai jenis binatang atau umpatan semisal, “Pakai mata, dong!” Namun, berhubung klakson saya mati, pelan-pelan saya menahan mulut, dan menahan rasa kesal di dalam hati.

Demikian pula dengan Facebook, dan akun Twitter saya. Sudah beberapa bulan terakhir saya sengaja hapus aplikasinya dari handphone saya. Tentu karena alasan yang tidak penting. Bukan karena sibuk mau jadi calon RT atau semacamnya. Dulu, saya juga seperti kebanyakan pengguna jejaring sosial lainnya, malah bisa dibilang “kecanduan.” Apa yang lagi “hot” di dunia maya, tentu saya tak mau ketinggalan. Entah itu sekedar berkomentar, menyindir atau mengkritisi kebijakan ini itu. Tak tanggung-tanggung kadang tiap kali ngetwit atau update status kalimat dan kata saya meluncur begitu saja tanpa kontrol yang serius. Wal hasil mungkin banyak dari sekian orang yang berteman di FB saya tersinggung dengan kalimat-kalimat saya langsung ataupun tidak langsung.

Rupanya dampak matinya klakson motor saya itu sangat besar sekali. saya jadi lebih permisif dengan kesalahan orang lain. Lebih sedikit ngalah, lebih memandang dari sudut yang lain. Ada semcam pencerahan kembali atas segala keruwetan yang terjadi dalam hati dan kepala saya. Tak jarang, ketika pada akhirnya saya sudah menulis komentar yang panjang di sebuah grup, kalimat yang berderet-deret itu saya hapus kembali. Takut kalau ada yang tersinggung.

            Macet adalah salah satu pemandangan wajib bagi kota Jakarta. Maka jangan heran jika tensi pengendara menjadi meninggi. Tak jarang umpatan dan bunyi klakson menderu bagai peluru. Lalu dalam sebuah perjalanan dari Garut, mobil yang dikendarai teman saya didahului dengan cara yang “emejing” kalau meminjam bahasa anak sekarang. Baru saja mulut saya mau berteriak, teman saya sudah mendahului, “Nggak apa-apa. Biarkan saja. Mungkin lagi kebelet pengin boker.”

            Silakan saja anda memakai apapun yang anda punyai, tentunya tiap barang punya fungsi dan kegunaan masing-masing. Maka sebaiknya pergunakan sesuatu itu dengan arif. Silakan berkomentar, silakan mengkritisi, senadainya itu membawa manfaat yang baik. Jika tidak, tentu perlu dilihat lagi, siapa yang anda komentari dan apa yang anda komentari. Apakah keilmuan anda mencukupi untuk apa yang anda bicarakan. Sekiranya tak mampu merubah apapun ada kalimat bijak warisan leluhur kita, bahwa diam itu emas. Sekian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates