Sudah hampir enam bulan motor saya
mati klaksonnya. Awalnya memang ada niat untuk pergi ke bengkel, barang kali
banyak karat menempel atau bisa jadi aki-nya telah habis. Bulan berganti,
minggu berlalu, tiap kali saya pergi ke bengkel untuk ganti oli dan servis
karburator, niatan untuk membenahi klakson itu selalu saya urungkan. Butuh waktu
untuk menyesuaikan diri. Mulanya seperti ada yang hilang. Tapi lama-kelamaan
saya malah menikmati motor tanpa klakson. Mungkin satu dua kali hati jadi kesal
karena ada kendaraan yang berbelok sembarangan, atau tiba-tiba dari arah yang
tak diduga ada seseorang yang menyeberang jalan. “Tin...!” kontan saja jika
saja klakson di motor saya masih ada tentu sudah dibarengi dengan makinan,
entah itu berbagai jenis binatang atau umpatan semisal, “Pakai mata, dong!”
Namun, berhubung klakson saya mati, pelan-pelan saya menahan mulut, dan menahan
rasa kesal di dalam hati.
Demikian pula dengan Facebook, dan
akun Twitter saya. Sudah beberapa bulan terakhir saya sengaja hapus aplikasinya
dari handphone saya. Tentu karena alasan yang tidak penting. Bukan karena sibuk
mau jadi calon RT atau semacamnya. Dulu, saya juga seperti kebanyakan pengguna
jejaring sosial lainnya, malah bisa dibilang “kecanduan.” Apa yang lagi “hot”
di dunia maya, tentu saya tak mau ketinggalan. Entah itu sekedar berkomentar,
menyindir atau mengkritisi kebijakan ini itu. Tak tanggung-tanggung kadang tiap
kali ngetwit atau update status kalimat dan kata saya meluncur begitu saja
tanpa kontrol yang serius. Wal hasil mungkin banyak dari sekian orang yang
berteman di FB saya tersinggung dengan kalimat-kalimat saya langsung ataupun
tidak langsung.
Rupanya dampak matinya klakson motor
saya itu sangat besar sekali. saya jadi lebih permisif dengan kesalahan orang
lain. Lebih sedikit ngalah, lebih memandang dari sudut yang lain. Ada semcam
pencerahan kembali atas segala keruwetan yang terjadi dalam hati dan kepala
saya. Tak jarang, ketika pada akhirnya saya sudah menulis komentar yang panjang
di sebuah grup, kalimat yang berderet-deret itu saya hapus kembali. Takut kalau
ada yang tersinggung.
Macet
adalah salah satu pemandangan wajib bagi kota Jakarta. Maka jangan heran jika
tensi pengendara menjadi meninggi. Tak jarang umpatan dan bunyi klakson menderu
bagai peluru. Lalu dalam sebuah perjalanan dari Garut, mobil yang dikendarai
teman saya didahului dengan cara yang “emejing” kalau meminjam bahasa anak
sekarang. Baru saja mulut saya mau berteriak, teman saya sudah mendahului, “Nggak
apa-apa. Biarkan saja. Mungkin lagi kebelet pengin boker.”
Silakan
saja anda memakai apapun yang anda punyai, tentunya tiap barang punya fungsi
dan kegunaan masing-masing. Maka sebaiknya pergunakan sesuatu itu dengan arif. Silakan
berkomentar, silakan mengkritisi, senadainya itu membawa manfaat yang baik. Jika
tidak, tentu perlu dilihat lagi, siapa yang anda komentari dan apa yang anda
komentari. Apakah keilmuan anda mencukupi untuk apa yang anda bicarakan. Sekiranya tak mampu merubah apapun ada kalimat bijak warisan leluhur
kita, bahwa diam itu emas. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar