Social Icons

Halaman

26 Mar 2013

Kakekku Menitipkan Nama Amini Padanya.

              Banyak yang kaget ketika saya iseng memanjangkan rambut. Mulai dari tetangga toko, teman dekat, tukang air, tukang sampah, tukang pel, siapa lagi ya? Kok isinya cuma tukang-tukang semua? Hehe... saya itu kan orang kecil dan pantasnya memang bergaul dengan orang sejenis dan sepemikiran dengan saya. Tidak lebih.

            “Itu, cowok atau cewek sih?” Celetuk seorang anak kecil usia delapan tahunan.
            “Kalau cowok kok rambutnya panjang?” Sahut temannya.

            Tiga anak itu ternyata sedang ngomongin saya. Saya sendiri nggak “ngeh” kalau jadi bahan obrolan tiga anak kecil yang berdiri tak jauh dari tempat saya duduk. Waktu melawat ke rumah teman. Baru ngeh ketika Riri, mengatakan itu pada saya.

            “Menurut lo, diriku sudah cantik belum Ri?”
            “Pliss deh Gus, jangan mulai gilanya. Baru juga nongol lagi.”

          Mungkin jika pulang kampung, orang yang pertama kali “mencak-mencak,” marah-marah adalah ibu saya. Ibu yang dalam keadaan marahnya pun tetap “ngangenin.” Termasuk ketika saya menuliskan kalimat-kalimat ini. Saya sedang rindu dengan ibu saya. Rindu yang tak bisa diwakilkan lewat sms atau pun suara dari telefon genggam.

            Kenapa saya jadi menulis soal begini? karena obrolan dengan Agung “The torchman” Dodo Iswanto. Teman satu kontrakan saya. Saya yakin bahwa  kebanyakan orang akan mengidolakan orang tuanya masing-masing. Setidaknya hampir setiap orang pasti bangga akan masakan ibunya. Meskipun mungkin tidak semuanya begitu.

            Kalau pun akhirnya saya tumbuh menjadi manusia seperti ini, tak kurang dari pengaruh besar ibu saya. Ibu yang memberikan kebebasan untuk saya, memilih menjadi apa yang saya inginkan dan saya mau. Ibu yang memarahi saya karena pulang kampung dengan buku-buku tak jelas yang sebagian tanpa sepengetahuan saya telah dikilokan. Ibu yang pernah memukulkan pelepah pepaya pada saya, ketika saya bermain petak umpet di semak-semak yang kotor, dan malam harinya menangis karena menyesal. Ibu yang takkan pernah lupa apa makanan kesukaan saya. Ibu yang... yang... yang tak ada habisnya jika disebutkan satu- persatu.

            Perempuan itu memang bukan perempuan yang mengkilap secara pemikiran. Hanya seorang perempuan yang terpaksa berhenti sekolah karena hampir setiap hari, ketika berangkat, dicegat anak laki-laki seumurannya dan diceburkan ke dalam lumpur sawah. Dan akhirnya lebih memilih ‘ngenger’ menjadi seorang buruh batik tulis di daerah Ringin Semar, Solo. Demi membantu adik-adiknya, membantu mencari cara agar dapur bisa mengepul. Ya, kalau disetarakan dengan sistem pendidikan sekarang mungkin ibu saya hanya sempat mencicipi pendidikan formal sampai kelas 3 SD.

            Peristiwa indah yang paling saya suka sewaktu kecil adalah waktu diajak ibu saya itu mengembalikan hasil batikannya ke rumah majikannya tersebut. Saya yang waktu itu belum sekolah sedikit banyak masih ingat ketika ibu saya itu hampir selalu mengajak saya pergi ke pasar Klewer, atau pasar Palur.

          Sebelum kedua pasar itu direnovasi seperti sekarang, mungkin saya masih ingat tempat-tempat mana yang sering kami kunjungi dulu. Penjual “kinang” beserta kawan-kawannya, termasuk gambir, tembakau, injet, dan daun sirih. Oleh-oleh untuk nenek saya, ibu mertuanya. Setelah itu saya akan memegangi ujung baju ibu saya. Menarik-narik dia ke penjual jajanan kue pasar.

            “Kok belinya banyak amat Mbok?”
            “Ya memang belinya buat kamu saja? Kan ada tetangga, ada Pak Dhe juga.”

            Kesempurnaan itu terletak pada detil. Pada hal yang kecil-kecil. Pada sesuatu yang jarang diperhatikan orang lain. Pada yang terkadang dianggap remeh. Sudut pandang dan cara pandang yang berbeda dengan kebanyakan orang. Kebahagiaan itu terletak pada hal-hal sederhana. Berbagi meski sedikit. Meski sekedar sepotong dua potong kue serabi, gemblong atau gethuk lindri. Itu makna yang tak sempat terucap oleh bibir ibu saya waktu itu. Ibu saya hanya seorang perempuan lugu yang mengajarkan hal sepele pada anak ragilnya yang bodoh. Dan nggak pinter-pinter dari tahun ke tahun.

            Suatu hari ibu saya itu pernah tertipu dengan seseorang. Tempat kejadian perkaranya adalah di daerah Gladak. Jarak dari pemberbentian bus waktu itu adalah beberapa kilo dari pasar Klewer. Seperti biasa ibu saya berniat membeli oleh-oleh untuk rumah dan tetangga. Pada saat sedang jalan kaki, datanglah seorang pria dengan bekas “soga” di tangan dan sebagian bajunya. Soga adalah sejenis bahan kimia yang digunakan dalam proses “pemunculan” warna dari kain batik tulis menjadi kain siap pakai.

            “Bu, tolonglah saya. Istri saya sedang sakit dan ini adalah kain hasil saya sendiri.”
            “Nggak Mas, terima kasih.”
            “Tolonglah Mbak.”

            Setelah proses tarik ulur segala macam. Akhirnya kain jarik yang ditawarkan itu jatuh juga digenggaman ibu saya. Niat untuk membeli oleh-oleh itu kandas. Setelah uang yang tersisa di dalam dompetnya hanya berberapa lembar kertas yang hanya cukup buat bayar ongkos  dalam perjalanan pulang. Selama dalam bus kekhawatiran itu mulai muncul. Ternyata dugaan yang tadi sempat terbersit benar terjadi. Ternyata kain batik itu cuma sekitar setengah meter. Di dalamnya berupa kain-kain kotor yang dililitkan pada selembar kardus dan ditutupi dengan kain itu.

            Sesampainya di rumah ibu saya menangis. Itu terjadi ketika saya masih duduk di bangku SD? Kelas berapa? Saya lupa. Kemungkinan besar antara kelas satu atau kelas dua.

“Pokoknya kamu jangan cerita apa-apa sama bapakmu ya Le?”

            Cerita itu baru terungkap tiga atau empat hari setelah hari naas itu. Satu kekaguman saya pada ibu saya adalah cara beliau “memanage” konflik. Itu kalau bahasa orang-orang intelek jaman sekarang. Kalau bahasa ibu saya. Ngulur wadi, mengulur aib. Menunggu waktu yang tepat untuk mengunggkapkan semua masalah. Mencari momen yang tepat untuk bicara dengan suaminya.

            Segelas teh panas dalam gelas hadiah sabun colek disuguhkan pada Ayah saya. Ketika saya habis belajar menggunakan lampu teplok. Ayah saya meminta untuk memijitinya, tepatnya “menginjak-injak” punggungnya.

            Pada saat seperti itulah ibu saya menceritakan semuanya. Jawaban Ayah saya cuma singkat. “Ya sudah, mau bilang apa. Besok nyari lagi.” Seingat saya nominal uang pada saat itu adalah dua puluh lima ribu rupiah. Terjadinya peristiwa itu antara tahun 1991 atau 1992. Mungkin tidak terlalu besar untuk ukuran sekarang. Tapi itu adalah jerih payah buruh batik tulis dalam beberapa minggu.        

            Satu dari banyak hal yang ingin selalu saya contoh dari ibu saya adalah perkara kecil. Memuliakan tamu. Ibu saya itu kalau ada tamu, baik teman sekolah atau siapapun repotnya bukan main. Apalagi kalau tamu itu menginap di rumah. Inilah momen paling saya tunggu seumur-umur saya waktu itu. Apa sebab? Hehe... berarti selama tamu itu menginap akan ada makanan spesial. Potong ayam, bebek atau unggas yang ada di kandang. Cukup kau ketahui saya sering kena omel ketika saya “nyolong” telur dari “petarangan” ayam dalam kandang. “Kasihan ayamnya. Biar netes jadi banyak,” apakah saya kapok dimarahi? Iya. Untuk sesaat saja. :P

            Dari hal-hal sederhana seperti itulah saya belajar. Ceplas-ceplosnya saya pun :P, saya akui bahwa itu adalah buah karya dan sumbang sih ibu saya. Jadilah dirimu sendiri. Apa adanya. Nggak usah ditutup-tutupi. Kalau A ya bilang A. Kalau B ya katakan B. Sudah nggak usah pedulikan komentar orang lain. Jangankan berbuat jahat. Berbuat baik saja selalu ada pro dan kontra. Selalu ada suara-suara sumbang. Nggak ikhlas lah. Ini lah, itu lah. Bukankah sebenarnya yang pantas menentukan ikhlas itu adalah Yang Maha Ikhlas?


         Satu lagi, ibu saya itu menghargai usaha dan jerih payah saya. Dulu ketika pulang sehabis mengambil raport. Ketika masih SD. Saya sering berlari ke pangkuan ibu saya. Minta jatah karena saya berhasil mencapai angka yang ia inginkan. Meskipun sederhana sekali. Saya ingat sampai sekarang. Hadiah saya dari tahun ke tahun tidak pernah berubah. Ibu mengajak saya ke warung Mbakyu Tiyem, warung yang hanya berjarak beberapa jengkal dari rumah saya. Hadiah saya berupa sebungkus kerupuk seharga lima puluh rupiah (jadul banget yak?) dan satu buah es “kuncir.” Dan hadiah itu baru berubah ketika saya lulus SD. Sebuah sepeda “jengki” merk RRT. Republik Rakjat Tjhina. Sepeda paling kondang di jaman saya. sepeda berwarna biru yang saya tak mau menaikinya selama seminggu. Janjinya sepeda BMX yang lagi ngetrend waktu itu. kok malah dibelikan sepeda model cewek.

            Ya, ibu saya bukan seorang priyayi atau politisi yang pandai menyimpan dan mengatur emosi, rasa dan mimik muka. Ya begitu saja. “Saking” sederhananya cukup mudah kalau meredakan ketika lagi marah. Tinggal naik motor beberapa kilo dari rumah. Belikan “sogokan” berupa sebungkus bakso, tanpa daging atau “tetelan” plus sambal yang agak banyak.

           Hehe... itu tips dari jaman ke jaman yang tidak saya beritahukan kepada kedua kakak perempuan saya sampai sekarang. Biar mereka belajar sendiri. Biar mereka tahu sendiri. Tahukah kau bagaimana saya? Hehe... Saya memang orang yang licik dalam urusan merebut hati ibu saya :D

         Jika Pramoedya punya “Gadis Pantai” untuk mengenang neneknya, salah satu perempuan yang ia kagumi karena kemandirian hidupnya, juga cerita-cerita tentang kemalangan nasib ibunya. Iwan Fals dan Melly Goeslaw punya lagu legenda “Ibu” dan “Bunda” yang selalu saja mampu memaksa seseorang melelehkan air mata. Setidaknya tulisan ini adalah sedikit dari gambaran kebanggaan saya pada ibu saya.

          Jika kelak di pengadilan akhirat. Secara imajiner saya gambarkan. Ketika ada momen-momen kesan dan kesan terakhir sebelum saya masuk surga atau neraka. Saya akan katakan sebuah kalimat.

“Tuhan, terima kasih ENGKAU telah ijinkan saya tinggal di dalam rahim perempuan itu. dan KAU beri hamba kesempatan untuk memanggilnya dengan kata ibu.”

         Ya, dia adalah perempuan sederhana. Sesederhana namanya. Amini. Sesederhana ketika ditanya tanggal, bulan dan tahun kapan dia lahir. Jawabnya ssederhana, tidak tahu. Yang tertera dalam KTP itu adalah akal-akalan tukang KTP. Amini. Dan semoga dia menjadi orang yang selalu menjadi pelita bagi hidup saya. Menjadi api dalam darah saya. Menjadi orang yang selalu mengingatkan ketika saya lupa. Menjadi orang-orang yang selalu berkata Aamiin. Dari do’a-do’a saya yang tak sempat terucap, dalam kecap.

“Terus...?”
“Terus apanya?”
“Alasan kamu gondrong?”
“Kok lo jadi kepo amat? Menurut lo sendiri kenapa?”
“Biar biar kelihatan keren? Biar kelihatan gaul? Biar kayak Jim Morrison? Ittiba’ Rasul? Biar kayak rocker? Biar hebat dan dibilang wah oleh orang lain? Atau gara-gara patah hati?”
“Ya, biarkan saja mereka menafsiri semau mereka. Saya jawab iya saja pada semua perkiraan mereka.”
“Lho kok malah ndagel?”
“Lha, dari pada saya menyangkal persangkaan mereka dan nanti persangkaan itu jatuh pada prasangka buruk, lebih-lebih nanti lebih parahnya jatuh pada fitnah? Hayo... siapa yang salah?”
“Ah, lo mah cuma cari sensasi saja.”
“Hehe...Iya, memang benar begitu.”
“Eh, ada yang bilang kamu penyuka sesama jenis lho Gus.”
“Oh, benar sekali itu?”
“Hah? Jadi benar kabar itu?”
“Iya, benar?”
“Ah, setan! Jadi selama ini benar apa kata orang?”
“Kalau memang benar kenapa?”
“Enng....” teman saya itu kikuk bukan main. Mungkin takut kalau malam nanti atau malam-malam sesudahnya giliran dia yang jadi mangsa saya.
“Apa? Jangan cuma eng... ing... eng begitu dong? Yang jelas?”
“Ehmmm....”
“Semprul, seandainya saya homo. Saya milih-milih kali? Dan lo bukan tipe guwehh... Cin” sahut saya sambil saya genit-genitkan sewaktu berkata cin.
“Alhamdulillah,” ucap teman saya sambil mengelus dada.


          Biarkan saja apa kabar yang tersebar. Mau dibilang play boy, tukang cari sensasi, tukang caper, tukang instal, ah... yang terakhir itu benar adanya. Saya akui itu. Ya... bagi saya biarkan saja toh kalau memang tidak benar semua akan seperti lukisan di atas pasir. Sekejap juga akan habis digerus ombak. Kalau tidak juga, paling akan terhapus oleh angin yang mengalun. Saya kan bukan artis. Apa-apa perlu konferensi pers. Saya juga bukan tuan Presiden, dikit-dikit curhat, curhat kok dikit-dikit. Ups... alamak, keceplosan.

          Tapi benar kabar kalau saya itu penyuka sesama jenis. Ya iyalah, saya penyuka sesama jenis manusia. Masak saya besok nikah sama kambing, sapi atau kucing betina?

“Lo kalau ngomong yang rada bener dikit dong tong?”
“Hehe... dari dulu saya kan memang celelekan begini. Ya terserah sampeyan. Slow saja. Woles saja. Brooh :D”


Utan Kayu, 26 Maret 2013, jam 00:15

Damar Panuluh Jiwo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates