Social Icons

Halaman

27 Mar 2013

Merelakan Kepergian



            Jika hati ibarat sebuah ruangan kecil. Anggap saja kontrakan sederhana. Ukuran tiga kali tiga meter. Yang setiap hari kita kunjungi. Kita tempati. Kita bersihkan. Dan kita hafal detilnya satu persatu. Mulai dari perabotan semisal dispenser, lemari pakaian, kasur, foto-foto sahabat yang tertempel pada dinding. Angap saja ruangan itu akan kita ingat bentuknya. Langit-langitnya. Daun pintunya. Semuanya. Bahkan kita ingat semuanya ketika kita tidak berada di sana.

            Hampir sepuluh tahun saya harus pergi dari orang-orang yang saya sayangi. Keluarga. Saya harus berjalan menyusuri jalanan ibu kota. Mencari berkah yang disebar Tuhan. Belajar menjadi lelaki, belajar menjadi manusia. Sejak jauh dari rumah, teman dan tetangga adalah saudara baru bagi saya. Pada mereka saya sering bercerita tentang keinginan-keinginan masa depan saya. Tentang apa saja yang ada dibenak saya.

            Teman adalah sosok baru yang mengisi ruang kosong yang ditinggalkan saudara dan keluarga. Meski tidak sempurna, teman mampu mengisi jarak-jarak yang longgar itu menjadi jarak yang nyaman. Ada ruang baru di mana kita bisa curhat, berbagi suka dan duka, berbagi mimpi.

            Semasa kuliah saya menjadi orang yang langganan terlambat. Jangan heran jika bangku yang menjadi langganan saya adalah dua baris dari belakang. Itu pun sudah saya siasati untuk mengambil jam pelajaran di kelas yang berbeda. Kelas saya H, sedang kelas yang sering saya ikuti adalah jadwal kelas G. saya keluar dari tempat kerjaan setelah Maghrib. Sedang jam pertama kelas I rata-rata jam 5 sore. Sedang kelas G antara jam 6 atau jam 7 malam.

            Dari situlah saya menjadi orang “buangan.” Nempel kesana-kemari demi mengejar pelajaran. Tepatnya mengejar kuota absensi. Urakan, telat dan tukang rusuh itu statement dari para dosen terhadap orang-orang yang duduk di belakang. Dari situlah kami berkumpul dengan orang-orang yang di cap sebagai geng rusuh. Anggota kami waktu itu; Ona, Restu, Wuri, Ahmad, Siti, Wulan, Alifah, Hilman yang sesekali ikut karena menemani Dian, Ade Hasan, Parto, dan siapa lagi? Saya mungkin lupa satu atau dua nama.

            Semasa kuliah saya sering menghabiskan waktu di dalam kelas dengan membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Kang Jalal, John Shors, makan gorengan, ngobrol kesana-kemari tentang pekerjaan. Trus soal pelajaran? Saya adalah orang yang “tersesat” dalam dunia akuntansi. Sampai kuliah berakhir pun saya malu mengakui angka-angka yang tertera dalam transkip nilai saya itu. Saya menyadari bahwa apa yang tertera di dalam kertas itu adalah sebuah kebohongan. Sebagai tanggung jawab pribadi saya, tak pernah sekali pun menggunakan ijazah dan transkip nilai itu untuk melamar pekerjaan.

            Saya itu orang yang suka iseng. Seringkali keisengan saya itu tidak ketulungan. Termasuk iseng ketika membuat dosen marah. Pernah sekali peristiwa saat ada mata kuliah Character Building. Geng kami menyingkatnya menjadi kata Cabul. Dosen yang mengajar kami marah-marah. 

            Ceritanya begini. Sebagai tugas paruh semester dibentuklah delapan kelompok. Tiap kelompok terdiri dari sepuluh orang. Bisa kurang dari itu. Tim yang maju untuk presentasi menjadi bahan untuk ajang bantai-membantai semacam itulah. Suatu hari ada tim X. saya lupa tim ke berapa, membahas tema tentang sistem pendidikan pesantren. Seperti biasanya saya asik membaca salah satu tetralogi Buru. Karena suara pembicara yang kurang keras juga suasana mahasiswa yang gaduh. Sang dosen marah.

            Anehnya, kenapa sasaran kemarahannya tertuju pada kelompok kami? Kelompok delapan. Oh ya, selama presetasi itu duduk dipisah sesuai dengan kelompok masing-masing. Saya yang sedari tadi sebenarnya sambil lalu mendengarkan sambil membaca agak tersinggung juga dengan sang dosen itu. Saya tahu bahwa dosen X itu merupakan salah satu simpatisan partai perserta pemilu yang berazaskan nilai keagamaan.

            “Coba yang dibelakang! Apa yang dibicarakan tadi?”

            Tak ada satu pun mahasiswa yang berani ngomong. Sang dosen tambah semakin besar kepala dengan kemarahannya. Yang menjadi pertanyaan saya kenapa bila ada presentasi yang kurang menarik pihak pendengarlah yang dijadikan sasaran kemarahan. Kenapa mereka tak berkaca kalau topik yang dibawakan tidak menarik. Atau cara membawakannya yang monoton.

            “Ayo, bicara. Tunjuk tangan yang mau menjawab!”

            Saya agak marah waktu itu. Maklum saya itu tempramental. Saya mengacungkan telunjuk jari saya. Dosen menanyakan beberapa pertanyaan dan mampu saya jawab. Sang dosen merasa malu dan nggak nyaman. Dian cengengas-cengenges sambil menggengam somay yang tersisa dalam plastik. 

            “Saya tidak meminta anda berkomentar!”

            Sang dosen makin marah ketika saya berhasil menjawab pertanyaan itu. Dan memotong komentar saya terhadap proses pembawaan presentasi. Dan hal seperti itu biasa saya alami di kampus dulu. Kesan bahwa orang yang duduk di bangku belakang itu urakan, tidak pernah peduli dengan mata kuliah, dan stigma jelek itu terus menempel hingga lulus kuliah. Apakah saya marah dengan itu? Tidak sama sekali. Karena di bangku belakang itu saya senang. Saya bisa memperhatikan setiap gerak.

            Ada kawan yang asik main BB, ada teman yang asik dandan, memakai eye liner, asik ngobrol dengan pacar, dan semua aktifitas untuk mengusir kebosanan selama pelajaran berlangsung.

            Dari hal-hal seperti itulah kami satu geng jadi akur. Dekat satu sama lain. Saling melengkapi. Saling mengcover kekurangan. Saling berbagi contekan. Dan yang terakhir itu yang paling saya suka.

            Kehilangan sesuatu apa pun itu pasti sangat menyakitkan. Termasuk kehilangan seorang yang kita cintai. Seperti yang dialami sahabat saya kemarin. Istri tercintanya pulang lebih cepat kehadirat Tuhan. Jujur dulu saya sangat suka mengobrol dengan teman saya itu. Saya yang suka iseng selalu suka melihat ekspresi perempuan penyuka warna ungu itu. Kalau saya ledek mukanya langsung merah.

            “Ih..., Mas Agus nih. Jahat banget sama Okti.”

            Kehilangan orang dekat, apalagi seorang istri mungkin adalah kehilangan yang mungkin takkan sembuh dalam hitungan hari. Pasti ada ruang yang kosong. Seperti ada yang hilang dalam kontrakan imajiner yang saya gambarkan di awal paragraf. Ada momen-momen bersama yang hilang. Panggilan sayang, lagu kenangan, makanan kesukaan. Momen di mana mereka sambil lalu bercanda. Menghabiskan waktu sebelum mata terpejam.

            Saya tak mampu mewakilkan bentuk kesedihannya dalam kata-kata yang lebih dramatis. Saya takut akan lebih melukai siapa pun. Sekedar sebagai penghibur. Saya teringat kisah ketika Nabi Ibrahim berdialog dengan malaikat pencabut nyawa. 
 
“Apakah kau tega mencabut manusia yang dari bibirnya melantunkan puji dan cinta pada Tuhannya?”
Malaikat hanya terdiam.
“Apakah kau tega memisahkan sang kekasih dengan yang dicintainya?”
Sang malaikat yang tak pernah diajari ilmu berdebat bingung harus menjawab apa? Dengan kebingungannya sang malaikat menghadap Tuhan.
“Sampaikan pesan ini pada Ibrahim.”
Sang Malaikat kembali menjemput Ibrahim.
“Tuhan mencabut nyawamu bukan untuk memisahkanmu. Hakikatnya Sang kekasih harus bersatu dengan yang dikasihinya.”

            Sedih? Sudah pasti. Sebagai seorang sahabat pun saya merasa kehilangan. Apalagi sebagai seorang suami? Semoga Tuhan menawarkan pilihan hidup yang lebih baik bagi keduanya di kemudian hari. semoga yang ditinggal dilimpahkan kesabaran yang tak terbatas. Semoga yang telah pergi ditempatkan dalam Surga yang tak terbatas. Rahmat dan ampunan Tuhan yang maha luas.



Jakarta, 27 Maret 2013


Damar Panuluh Jiwo
 



     
           
           
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates