Ramadhan telah pergi, lebaran pun
telah usai, namun pertanyaan yang tak kunjung terjawab itu semakin datang
memenuhi kepala. Selama liburan kemarin, sebenarnya aku ingin sekali membaca
ulang Tetralogi Buru atau Arok Dedes-nya Pram, sayangnya semua bukuku dipinjam
teman, sungkan rasanya untuk meminta agar segera dikembalikan.
Dalam beberapa hari ini aku sering
bermimpi, sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya, kebanyakan kabar tidak
menyenangkan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa kebahagiaan yang terbesar
adalah jika setiap mimpi menjadi kenyataan, tidak, tolong pikirkan dulu jika
mimpi yang menyata itu adalah mimpi buruk. Awalnya seperti kau menonton sebuah film
yang diulang, atau sebuah kejadian yang dikenal dengan de javu. Kau akan melihat seorang pedagang mie tek-tek datang
setelah seorang anak kecil berlari menendang bola, lalu tepat ketika bola itu
melambung ke langit tiba-tiba muncul sepeda motor dengan kecepatan tinggi
menabrak anak kecil itu hingga menemui ajalnya.
Bayangkan
jika kejadian seperti itu ada di kehidupan nyatamu. Kau akan menyaksikan
orang-orang terdekatmu menemui malaikat maut. Namun kau hanya dapat
menyaksikannya tanpa dapat merubah atau menundanya barang sedetik pun. Apa perlunya
Tuhan memberikan informasi semacam ini pada seseorang? Kadang aku berpikir;
mungkin Tuhan sedang kesepian. Seperti kata seorang filosof, dulu Tuhan
sendirian, karena dia kesepian maka satu demi satu dibuatlah galaksi, lalu bumi
ditumbuhkan dengan berbagai macam tanaman, bebatuan, hewan, dan manusia. Lalu
setelah itu Tuhan mulai menciptakan kesedihan, kebahagiaan dan berbagai macam
skenario kehidupan.
Di
saat keponakanku terlelap, aku membongkar kembali tumpukan buku yang ada di
lemari. Kutemukan sebuah novel dan kumcer. Aku kaget, ternyata dulu aku pernah
membeli kumcer yang diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House. Ya,
sebagian besar ceritanya semacam itu. Cerpen yang setiap endingnya ‘harus’
menginsyafkan pembacanya. Novel yang kutemukan adalah novelnya Orhan Pamuk yang
berjudul Yeni Hayat atau Kehidupan Baru, terjemahan Serambi. Novel ini pernah
dua kali kubaca, sayangnya tidak selesai. Lalu demi mengusir kebosanan, novel
itu kubaca lagi. Ternyata benar kata seorang kawan, bahwa membaca Pamuk tidak
boleh tergesa-gesa, mesti dinikmati paragraf per paragraf. Rasanya aku ingin
sekali segera menamatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar