Social Icons

Halaman

29 Okt 2015

Secuil Kisah Hachi dan Piko



Anggap saja tulisan ini sebagai pengobat rindu bagi penggemar saya. (Ceileh... Sok ngartis banget, yak). Padahal mah yang mengunjungi blog juga nggak ada. Tapi biarlah. Sesekali menghibur diri sendiri. Dari pada nungguin orang lain yang memuji bisa tambah sakit hati :D. 

Ok Gaes. Kita mulai dengan kisah ringan, seringan snack harga gopek-an. Menikah menyeret seseorang ke dalam frekuensi yang berbeda. Hanya dalam hitungan bulan saya merasakan hal tersebut. Segala hal dipacu. Hal yang tadinya bisa dianggap santai, khas saya sedari dulu. menganggap enteng. Yah, gampang, nanti juga ada, kini seolah-olah harus diperhitungkan dengan matang. Harus cepat dan tanggap ala bapak-bapak pemadam kebakaran.

Dulu saya tergolong orang yang intoleran terhadap diri sendiri. Anggap saja kalau di dalam dunia elektronika maka nilai toleransinya dilambangkan dengan nilai emas. Nilai toleransi yang terkecil. Lebih gampangnya saya itu tipe perfeksionis. Tapi tulisan ini tidak sedang membicarakan tentang pernikahan dan sejenisnya. Atau tiba-tiba saja saya mau mengkampanyekan menikah di usia dini, dengan mengutip satu dua ayat. Mudah-mudahan saja saya tidak seperti itu, Gaes. Menikah itu seperti hujan. Ya, hampir semuanya seperti peristiwa di dunia ini. Jika kita benar-benar yakin bahwa ada yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Apa yang disebut dengan garis takdir itu tidak bisa dimajukan dan dimundurkan. Tidak bisa ditolak kalau sudah ketetapan. Yang namanya usaha maksimal pun belum tentu menghasilkan buah sebagai mana rencana kita sebelumnya. Bukan begitu saudara-saudaraku sekalian. Sebangsa* dan semaksiat :D. Ups... kalimat ini belum disensor. 

Menikah itu mengayakan. Benar adanya. Bukti kecilnya adalah sekarang saya punya tiga ekor kucing lucu-lucu. Induknya bernama Hachiko. Istri saya ngefans berat dengan kisah anjing Jepang yang inspiratif itu. hingga menamai kucing kesayangannya Hachi. Hachi adalah sosok ‘primadona’. Untungnya dalam dunia perhewanan tidak dikenal dengan istilah perkawinan. Jadi anggap saja yang mengikuti gaya seperti itu tak jauh beda dengan yah... itu tadi (dalam bahasa kita, Hachi itu wanita murahan, sering gonta-ganti pasangan). :P

Di balik itu Hachi adalah sosok ibu yang kuat. The Strong women. Sampai sejauh ini dia telah mengalami tujuh kali persalinan. Jika ditotal keseluruhan seharusnya Hachi sudah mempunyai 14 anak. Dan jika dia sosok ibu yang materialis bisa saja dari ke-14 anaknya itu dia kirim ke Arab, Hongkong, Taiwan, atau ke Malaysia untuk menjadi TKW atau TKI. (Hehe... Becanda yak. Bagaimanapun saya salut kepada para TKW dan TKI yang hebat-hebat itu). Sayangnya sampai saat ini, anak Hachi hanya tersisa dua ekor. Selebihnya ada yang meninggal, diculik orang, dibuang tetangga, ada juga yang sengaja ditelantarkan majikannya dengan cara yang sadis. Di buang di sekolahan. Eksekutor pembuangan itu adalah Imam. Adik Ipar saya yang imut. Jadi jika ada komnas perlindungan kucing. Maka Adik saya dan saya bisa dikenakan pasal berlapis. Karena dengan terencana melakukan skenario pembuangan itu. Sebenarnya sih kasihan. Tapi berhubung rumah kami masih sederhana. Jadi tidak bisa menampung terlalu banyak anak ‘haram’ hasil hubungan gelap Hachi dengan beberapa pacarnya. Eh, nggak tahu juga sih. Hachi mungkin sudah melakukan nikah siri, nikah mut’ah atau sengaja mengikuti program poliandri. Itu sih sampai saat ini belum saya temukan bukti kuat yang menyatakan soal itu. Nanti kalau saya sempet gila, bisa  saya cek di KUP terdekat. (Kantor Urusan Perkucingan). Siapa tahu di dalam dunia perkucingan tidak riweh soal Hachi itu Syi’ah, Syi’ Beh, atau Syi’ Ceh.

Setidaknya salah satu do’a dan harapan saya terkabul. Dulu saya ngidam sekali memelihara anjing. Sayangnya dalam aturan agama saya, Anjing termasuk binatang yang repot kalau dipelihara. Karena harus bla... bla... bla... Namun harapan itu seolah dijawab Tuhan langsung. Seperti layaknya anjing. Kucing dan mungkin binatang lain pun bisa setia seperti itu. asal kita rawat dan kita “openi” dengan apik, maka dia akan nurut. Awalnya sih ribet juga karena sering berak dan kencing di sembarang tempat. Istri saya yang google holic, akhirnya menemukan artikel yang bagus dengan cara membuat Hachi beserta Piko (anaknya yang masih bertahan hidup sampai sekarang) lebih bermoral dan beradab. Meski saya yakin Hachi dan Piko nggak mungkin hapal Pancasila. Sejak menemukan artikel itu Hachi dan Piko tahu di mana dan kapan tempat yang pantas buat buang keinginan (baca= hajat). Barangkali ini adalah kalimat sufistik sekali. Bahwa sebenarnya hajat atau keinginan yang kita bela-belain dengan pertumpahan darah itu, dalam kondisi tertentu tak lebih berharga dari itu tadi, “kotoran” kita masing-masing. (maaf yak. Buat yang lagi makan). Dengan syahdu. Kini Hachi dan Piko bisa pepsi dan pup di kamar mandi. Prok... prok... prok buat istri saya.

Kelebihan lain dari Hachi dan Piko adalah soal tata cara penyambutan dan pelepasan. Seolah tak mau kalah dengan adengan film Hollywood. Setiap pulang dan pergi dari bekerja. Hachi dan Piko seolah-olah memberikan salam perpisahan dan ucapan selamat datang, dengan cara berdiri di depan pintu sampai saya atau anggota keluarga yang lain pergi. Jika pulang kebiasaan Piko dalah mengendus-endus kaki.

Dulu saya kagum dengan kisah Buya Hamka dengan kucingnya. Yang setia mengantarkan beliau ke surau atau masjid. Menunggui sampai selesai sholat. Tapi setelah punya kucing, saya kira itu bukanlah hal yang istimewa. Karena kucing saya juga begitu. Pernah satu dua kali ikut mengantarkan saya ke musholla (Pas kebetulan saja. Saya ini jarang sholat berjama’ah di musholla. Semoga Tuhan mengaruiakan hidayah itu secepatnya *_*). Nah, Si Piko juga ikut “nginthil” di belakang saya. Cuma di pertigaan jalan dia berhenti. Mengendus-endus di tembok. Saya rasa itu sudah melewati daerah teritorial kekuasaannya. Karena dia hanya berdiri di situ. Tak berani melanjutkan perjalanan ke barat untuk mengambil kitab suci. :P.

Bukan hanya sekali, melainkan sering. Hachi atau Piko naik ke kasur, mengendus-endus kaki dan pipi membangunkan saya sholat Subuh. Atau jika saya kembali terlelap sehabis subuh maka hal serupa itu dilakukan keduanya untuk membangunkan saya. Seolah mereka berkata, “Bangun pemalas. Sudah saatnya berangkat bekerja.” 

Terus endingnya apa? Pesan moralnya apa? Carilah sendiri apa yang tersirat dalam cerita saya. Saya kira sudah pada gede. Jadi silakan mengambil kesimpulan masing-masing. Doakan saya biar rajin berjama’ah di musholla yak. Itu inti dari cerita ini. Sekian dan Salam Kuper!


 
    Gambar Hachi waktu masih bohai


Gambar anak-anak persalinan pertama Hachi. Lihat saja sendiri. Itu Bapaknya pasti beda-beda :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates