Anggap saja tulisan ini sebagai
pengobat rindu bagi penggemar saya. (Ceileh... Sok ngartis banget, yak). Padahal
mah yang mengunjungi blog juga nggak
ada. Tapi biarlah. Sesekali menghibur diri sendiri. Dari pada nungguin orang
lain yang memuji bisa tambah sakit hati :D.
Ok Gaes. Kita mulai dengan kisah
ringan, seringan snack harga
gopek-an. Menikah menyeret seseorang ke dalam frekuensi yang berbeda. Hanya dalam
hitungan bulan saya merasakan hal tersebut. Segala hal dipacu. Hal yang tadinya
bisa dianggap santai, khas saya sedari dulu. menganggap enteng. Yah, gampang,
nanti juga ada, kini seolah-olah harus diperhitungkan dengan matang. Harus cepat
dan tanggap ala bapak-bapak pemadam kebakaran.
Dulu saya tergolong orang yang
intoleran terhadap diri sendiri. Anggap saja kalau di dalam dunia elektronika
maka nilai toleransinya dilambangkan dengan nilai emas. Nilai toleransi yang
terkecil. Lebih gampangnya saya itu tipe perfeksionis. Tapi tulisan ini tidak
sedang membicarakan tentang pernikahan dan sejenisnya. Atau tiba-tiba saja saya
mau mengkampanyekan menikah di usia dini, dengan mengutip satu dua ayat. Mudah-mudahan
saja saya tidak seperti itu, Gaes. Menikah itu seperti hujan. Ya, hampir
semuanya seperti peristiwa di dunia ini. Jika kita benar-benar yakin bahwa ada
yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Apa yang disebut dengan garis takdir
itu tidak bisa dimajukan dan dimundurkan. Tidak bisa ditolak kalau sudah
ketetapan. Yang namanya usaha maksimal pun belum tentu menghasilkan buah
sebagai mana rencana kita sebelumnya. Bukan begitu saudara-saudaraku sekalian.
Sebangsa* dan semaksiat :D. Ups... kalimat ini belum disensor.
Menikah itu mengayakan. Benar adanya.
Bukti kecilnya adalah sekarang saya punya tiga ekor kucing lucu-lucu. Induknya
bernama Hachiko. Istri saya ngefans
berat dengan kisah anjing Jepang yang inspiratif itu. hingga menamai kucing
kesayangannya Hachi. Hachi adalah sosok ‘primadona’.
Untungnya dalam dunia perhewanan tidak dikenal dengan istilah perkawinan. Jadi
anggap saja yang mengikuti gaya seperti itu tak jauh beda dengan yah... itu
tadi (dalam bahasa kita, Hachi itu wanita murahan, sering gonta-ganti pasangan).
:P
Di balik itu Hachi adalah sosok ibu
yang kuat. The Strong women. Sampai sejauh
ini dia telah mengalami tujuh kali persalinan. Jika ditotal keseluruhan
seharusnya Hachi sudah mempunyai 14 anak. Dan jika dia sosok ibu yang
materialis bisa saja dari ke-14 anaknya itu dia kirim ke Arab, Hongkong,
Taiwan, atau ke Malaysia untuk menjadi TKW atau TKI. (Hehe... Becanda yak.
Bagaimanapun saya salut kepada para TKW dan TKI yang hebat-hebat itu). Sayangnya
sampai saat ini, anak Hachi hanya tersisa dua ekor. Selebihnya ada yang
meninggal, diculik orang, dibuang tetangga, ada juga yang sengaja ditelantarkan
majikannya dengan cara yang sadis. Di buang di sekolahan. Eksekutor pembuangan
itu adalah Imam. Adik Ipar saya yang imut. Jadi jika ada komnas perlindungan
kucing. Maka Adik saya dan saya bisa dikenakan pasal berlapis. Karena dengan
terencana melakukan skenario pembuangan itu. Sebenarnya sih kasihan. Tapi
berhubung rumah kami masih sederhana. Jadi tidak bisa menampung terlalu banyak
anak ‘haram’ hasil hubungan gelap
Hachi dengan beberapa pacarnya. Eh, nggak tahu juga sih. Hachi mungkin sudah
melakukan nikah siri, nikah mut’ah atau sengaja mengikuti program poliandri.
Itu sih sampai saat ini belum saya temukan bukti kuat yang menyatakan soal itu.
Nanti kalau saya sempet gila, bisa saya cek
di KUP terdekat. (Kantor Urusan Perkucingan). Siapa tahu di dalam dunia
perkucingan tidak riweh soal Hachi itu Syi’ah, Syi’ Beh, atau Syi’ Ceh.
Setidaknya salah satu do’a dan
harapan saya terkabul. Dulu saya ngidam
sekali memelihara anjing. Sayangnya dalam aturan agama saya, Anjing termasuk
binatang yang repot kalau dipelihara. Karena harus bla... bla... bla... Namun
harapan itu seolah dijawab Tuhan langsung. Seperti layaknya anjing. Kucing dan
mungkin binatang lain pun bisa setia seperti itu. asal kita rawat dan kita “openi”
dengan apik, maka dia akan nurut. Awalnya sih ribet juga karena sering berak
dan kencing di sembarang tempat. Istri saya yang google holic, akhirnya menemukan artikel yang bagus dengan cara
membuat Hachi beserta Piko (anaknya yang masih bertahan hidup sampai sekarang)
lebih bermoral dan beradab. Meski saya yakin Hachi dan Piko nggak mungkin hapal
Pancasila. Sejak menemukan artikel itu Hachi dan Piko tahu di mana dan kapan
tempat yang pantas buat buang keinginan (baca= hajat). Barangkali ini adalah
kalimat sufistik sekali. Bahwa sebenarnya hajat atau keinginan yang kita
bela-belain dengan pertumpahan darah itu, dalam kondisi tertentu tak lebih
berharga dari itu tadi, “kotoran”
kita masing-masing. (maaf yak. Buat yang lagi makan). Dengan syahdu. Kini Hachi
dan Piko bisa pepsi dan pup di kamar mandi. Prok... prok... prok buat istri
saya.
Kelebihan lain dari Hachi dan Piko
adalah soal tata cara penyambutan dan pelepasan. Seolah tak mau kalah dengan adengan
film Hollywood. Setiap pulang dan pergi dari bekerja. Hachi dan Piko
seolah-olah memberikan salam perpisahan dan ucapan selamat datang, dengan cara
berdiri di depan pintu sampai saya atau anggota keluarga yang lain pergi. Jika
pulang kebiasaan Piko dalah mengendus-endus kaki.
Dulu saya kagum dengan kisah Buya Hamka
dengan kucingnya. Yang setia mengantarkan beliau ke surau atau masjid. Menunggui
sampai selesai sholat. Tapi setelah punya kucing, saya kira itu bukanlah hal
yang istimewa. Karena kucing saya juga begitu. Pernah satu dua kali ikut mengantarkan
saya ke musholla (Pas kebetulan saja. Saya ini jarang sholat berjama’ah di
musholla. Semoga Tuhan mengaruiakan hidayah itu secepatnya *_*). Nah, Si Piko
juga ikut “nginthil” di belakang
saya. Cuma di pertigaan jalan dia berhenti. Mengendus-endus di tembok. Saya rasa
itu sudah melewati daerah teritorial kekuasaannya. Karena dia hanya berdiri di
situ. Tak berani melanjutkan perjalanan ke barat untuk mengambil kitab suci.
:P.
Bukan hanya sekali, melainkan sering.
Hachi atau Piko naik ke kasur, mengendus-endus kaki dan pipi membangunkan saya
sholat Subuh. Atau jika saya kembali terlelap sehabis subuh maka hal serupa itu
dilakukan keduanya untuk membangunkan saya. Seolah mereka berkata, “Bangun
pemalas. Sudah saatnya berangkat bekerja.”
Terus endingnya apa? Pesan moralnya
apa? Carilah sendiri apa yang tersirat dalam cerita saya. Saya kira sudah pada
gede. Jadi silakan mengambil kesimpulan masing-masing. Doakan saya biar rajin
berjama’ah di musholla yak. Itu inti dari cerita ini. Sekian dan Salam Kuper!
Gambar Hachi waktu masih bohai
Gambar anak-anak persalinan pertama Hachi. Lihat saja sendiri. Itu Bapaknya pasti beda-beda :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar