Naik gunung itu seperti seseorang yang menghisap rokok. Anda boleh membantah pendapat saya ini. Tentu sah dan boleh. Meski sampai detik ini saya belum pernah sekalipun menghisap rokok. Tapi melihat beberapa kemiripannya, saya berani menyimpulkan seperti itu. Ada yang sekali mencoba terus kapok. Ada yang hanya sekali dua kali, ada yang sampai berkali-kali. Persamaan rokok dan hobi naik gunung itu sama-sama bisa membuat seseorang kecanduan.
Dulu sewaktu masih bujangan, saya
rajin melihat kalender. Mencari-cari tanggal merah yang berdekatan. Tak lain
adalah untuk menentukan gunung mana yang masih bisa dijangkau dengan kondisi
waktu dan dompet yang ada. Harap maklum. Saya bukanlah orang beruntung yang
mampu diterima sebagai PNS. (Hehe... Gimana mau diterima. Ikut seleksi aja
nggak pernah). Sekali-dua kali. Naik gunung itu seperti menjadi hal wajib
setelah salat lima waktu. Saya menganggap malah sunnah muakadah. Sunnah yang
dianjurkan untuk dikerjakan.
Coba tengok sejarah, nabi Musa waktu
menerima sepuluh perintah Tuhan, berada di gunung, kisah Nabi Ibrahim sewaktu
membuktikan bahwa Tuhan mampu menghidupkan kembali burung-burung yang sudah
dicincang dan dicampur aduk dagingnya dan meletakkan setiap bagian di atas
gunung, Nabi Muhammad sendiri, jauh sebelum diangkat menjadi rasul telah
mengasingkan diri di gua Hira. Menengok jauh ke belakang, ke asal muasal cerita
persembahan Habil-Qabil juga dilakukan di gunung. Tentu ini menjadi bukti bahwa
gunung diciptakan dengan tujuan lebih dari sekedar untuk berselfie.
Naik gunung bagi saya adalah jalan
mendekati Tuhan. Setidaknya jika dari kecil dulu, ketika ditanya di manakah
Tuhan berada? Maka saya mengacungkan jari telunjuk ke atas. Paling tidak.
Selama sebelum naik pesawat terbang, posisi tertinggi yang mampu saya capai
adalah di puncak gunung.
Tuhan itu terselip di antara rasa
takut. Ya, beberapa peristiwa di sela-sela pendakian yang dramatis pernah saya
alami. Misalnya terjebak badai kabut sebelum sendang Drajat (Gn. Lawu) hampir
satu jam lebih. Menangis tergugu sendirian, di lereng puncak berpasir gunung
Semeru, sambil menunggu matahari terbit. Waktu itu saya Salat Subuh antara
sadar dan tertidur karena capek. Tiba-tiba mata air saya meleleh ketika dengan
mata kepala sendiri menyaksikan seekor tikus putih berlarian di antara
bebatuan. Bagaimana bisa dicuaca yang ekstrem seperti itu, dua kaos, satu
lengan pendek dan satu lengan panjang. Jas hujan, dan jaket. Empat kain tebal
itu membalut tubuh saya. Nyatanya tusukan angin dingin terasa mencucuk kulit
dan tulang. Sementara tikus putih itu dengan santainya mencari makanan di
sela-sela batu. Bermain-main dengan kulit kacang.
Tumbuhlah menjadi manusia yang
menghargai solidaritas. Buktikan wajah asli sahabatmu atau seseorang yang kamu
sebut sebagai pacar, atau uji saja calon pendampingmu dengan cara naik gunung.
Perjalanan, kondisi, manajemen air, makanan, logistik. Semuanya. Iya, semuanya
akan terlihat di gunung. Seperti menelanjangi diri. Hampir semua akan
melihatkan wujud aslinya. Apakah dia seorang yang egois, tipikal pemimpin yang
otoriter, pemarah, mengalah, bijak atau golongan altruisme. Lihatlah semua di dalam sebuah pendakian.
Tapi itu bisa jadi hanya sebuah
kenangan sejarah. Sama seperti generasi 70,80 dan 90-an bercerita tentang bagaimana
rasa bahagia ketika menunggu bulan purnama datang. Bercengkrama di bawah sinar
rembulan. Bermain petak umpet, gobak sodor, jilungan atau sekedar menunggu film
kartun Megalomen di TVRI. Pada akhirnya saya menyadari, kenapa suku-suku
pedalaman menolak adanya “pembaharuan.” Menolak listrik, menolak peradaban yang
konon dianggap peradaban yang lebih maju itu ada benarnya.
“Efek lima sentimeter”. Beruntung
saya dulu sempat naik gunung Semeru, jauh sebelum film Lima Sentimeter diputar
di bioskop. Tentu sama sedihnya ketika pada akhirnya saya menemui pedagang
cilok, ayam goreng, ayam bakar, jagung bakar di puncak Papandayan. Eksploitasi
masal tentu membawa arus seperti dua ujung mata pedang. Jangan harap lagi
keramahan para sopir truk sayur, penjual makanan yang murah, warga yang
merelakan rumahnya untuk tempat singgah. Beberapa daerah yang mudah terjangkau
dengan kendaraan. Dekat dengan Jakarta. Gunung yang tidak terlalu tinggi
“membawa” dampak buruk dari beberapa hal.
Memang tak dapat dipungkiri urusan perut selalu menjadi dalih untuk
menghalalkan segala cara. Sopir borongan yang oportunis, mematok harga yang
tinggi, pendaki karbitan yang asal buang sampah, atau pendaki sok religius,
mencoba mengabadikan tulisan mimpi-mimpi mereka di atas selembar kertas dan
memasukkannya ke dalam botol.
Dul, penjual cilok dari Klaten. Hahah... |
Saya nggak bisa bedain lagi itu pasar apa gunung? |
Botol yang saya temukan berisi beberapa 5-8 pesan |
Ini salah satu pesan dalam botol. Hehe... Ada juga yang pengin cepet dapet jodoh. Untuk nggak ada yang pesen tolong beliin pulsa |
Tak heran ketika tahun 70-an Cak Nun
pernah menulis sebuah essai yang menceritakan rusaknya budaya sebuah kampung
gara-gara televisi. Mohon di catat. Betapa visionernya seorang budayawan,
ketika mampu meneropong masa depan. Melihat dengan pandangan mata yang melintas
jarak dan waktu. Saya percaya bahwa pikiran yang jernih mampu memotong jalinan
waktu. Silakan saja amati tingkah laku orang-orang yang mengaku pendaki. Atau
hanya sekedar traveler kacangan. Bolehlah menikmati alam, tapi ya nggak gitu-gitu
amat. Kalau pada satu titik, semua gunung akan berubah jadi pasar, seperti
Papandayan. Maka saat itu kamu boleh bilang, “Naik gunung sudah tidak seksi
lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar