Social Icons

Halaman

30 Mei 2016

Cinta Generasi Kedua



Wajah gadis di depanku sepucat tahu. Sesekali jemarinya menggaruk paha yang tak gatal. Kepalanya terus menunduk. Diam. Ruang hati dan otaknya berkecamuk. Ribuan tanya dibongkar dari kedalaman batin. Meyakinkan lagi keputusan lelaki yang ada di depannya.

 “Kita tak perlu membuktikan pada siapapun. Termasuk pada diri kita sendiri.”

Tirai jendela menari. Berdansa dengan angin di tepi kali. Sore itu langit tersenyum sinis. Menawarkan kegetiran dalam bentuk yang lain. Hening. Jarum jam tua berdetak tik-tok-tik-tok. Burung gereja terbang rendah di atap. Di antara gelombang asbes. Menenggelamkan paruhnya di sela-sela bilah kayu reng. Mengais, mencari lumut atau sekedar biji-bijian yang terbawa sayap sang angin.

“Jadi kita pindahan lagi dong?”
“Iya, gak apa-apa.”
“Nanti gimana kata orang? Masak baru pidah dua minggu balik lagi.”
“Tak semua omongan harus dihiraukan. Ada yang masuk di telinga, di taruh di kepala sebentar. Ada yang disarikan ke hati, ada yang cukup sepintas lalu, biarkan lewat seperti iklan. Masuk kuping kiri keluar kuping sebelahnya.”

***

Mendung bersambut hujan deras. Tumpahan air memukul-mukul asbes. Suara riak bercampur arus sungai yang membesar. Kami tidur di atas alas karpet. Sungguh komik hidup ini. Seringkali Tuhan membuat lelucon yang tak terduga. Tak jauh dari kamar yang kami sewa. Di lantai bawah. Teronggok spring bed ukuran jumbo. Kado dari seorang sahabat. Katanya biar “aduhai” di malam pertama. Nyatanya kasur itu gagal menepati takdirnya di karenakan pintu lorong tangga menuju kamar di lantai dua terlalu sempit. Aku yakin kasur itu menagis semalaman karena gagal menjadi saksi cinta purba.

Dalam kurun waktu satu purnama, kami telah tiga kali pindah kontrakan. Jika memungkinkan pindah satu kali lagi, besar kemungkinan kami mendapatkan hadiah gelas ganteng dari juragan empang. Dari sekoci kami merapat pada lambung kapal. Tentu persoalan akan bertambah tak sekadar numpang berteduh. Kami pikir tak mungkin ada matahari kembar dalam satu atap. Paradigma itu kemudian bergeser tatkala seorang guru menitipkan pesan. “Ambil berkah yang tercecer diekor peristiwa. Jangan ambil kesimpulan di kepala peristiwa.”

Tak banyak pasangan muda yang mau tinggal bersama orang tuanya. Dengan berbagai alasan. Ingin mandiri. Ingin Bebas. Ingin menikmati hidup baru. Dalam bahasa lain, tak ingin dunianya dicampuri oleh kedua orang tuanya. Tepat di bagian kalimat terakhir berubah menjadi jarum. Besar. Panjang. Mengilap. Tajam menusuk jantung. Dalam sekali. Jangan-jangan ini hanya sekedar egoisme yang dibenar-benarkan. Dimaklum-maklumkan oleh hampir sejumlah pasangan di dunia ini. Dalam bahasa yang lebih sederhana menolak untuk berbakti ketika orang tua masih sehat. Itu yang paling menampar kesadaran.

Membagi kepala, membagi hati. Persoalan satu persatu muncul dan tenggelam. Demi kedewasaan berpikir, bertindak dan mengambil sikap. Tuhan menitipkan pil pahit bernama ujian. Sampai sejauh mana kita arif menyikapi itu semua.

Adaptasi menjadi palang rintangan paling awal. Pencitraan adalah topeng yang menjerat pasangan muda. Terutama bagi seorang menantu. Sungkan, rikuh bin riweh harus dikikis. Tak ada yang lebih baik dari pada menjadi diri sendiri. Tanggalkan semua pencitraan dan jadilah dirimu sendiri. Seburuk apa pun sikap, kebiasaan, dan karaktermu itu adalah dirimu yang senyata-nyatanya. Tak usah ditutup-tutupi. Justru semakin banyak kita bergaul dengan orang lain, kekurangan kita akan semakin terlihat, disitulah Tuhan mengajarkan tentang bagaimana mengubah perilaku. Orang lain adalah cermin bagi yang lainnya. Be your self menjadi resep utama dalam kitab ayat-ayat bahagia hidup bersama mertua.

Tak ada menantu yang sempurna. Yang ada adalah mertua yang menerima menantu apa adanya. Berlaku sebaliknya. Saling terbuka menjadi kunci kedua. Komunikasi yang baik, saling menjajagi satu sama lain. Tak perlu mengada-adakan sesuatu yang tak ada. Kebohongan itu seperti pasir hisap. Semakin kau berusaha menutupi kebohongan satu dengan yang lain, semakin dalam engkau akan terjebak dan tenggelam.

   ###

“Sampai detik ini aku tak mencintaimu. Aku juga tak bisa menjanjikan apa-apa. Aku hanya bisa menjanjikan komitmen untuk hidup bersama. Kalau mau nikah hayuk... Tapi kalau pacaran kayaknya enggak deh. Aku nggak mau membuat wanita terluka untuk kedua kalinya.”

Kurang lebih seperti itu kalimat yang saya pakai untuk “menembak” perempuan yang sekarang menjadi istri saya. Nggak ada romantis-romantisnya. Malah di awal pertemuan kami, aku menceritakan mantan dan beberapa nama yang pernah dekat denganku. Konon hal seperti itu tabu. Bisa merusak hubungan di awal. Masa bodoh dengan semua itu. Bagiku kejujuran merupakan tanah yang subur bagi sebuah hubungan.

Benih cinta bisa disemai, dipupuk, dirawat dan ditumbuhkan. Tapi cinta tak selalu menjadi landasan dalam berumah tangga. Cinta bisa muncul dan tenggelam, bahkan hilang sama sekali. Ketika perasaan itu memudar, komitmen untuk hidup bersama menjadi lebih penting. Terdengar klise jika seorang artis mengatakan, “sudah tidak ada kecocokan lagi di antara kami.” Tapi ya sudahlah, itu pilihan orang lain.

###

Pelan-pelan aku mulai menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini tak ada yang bisa kita pastikan jalan rencananya. Manusia boleh berencana, Tuhanlah sebaik-baik pembuat rencana. Mungkin hampir setahun, bisa jadi lebih. Aku tak bisa mengingat detil tanggal peristiwa. Aku hanya bisa mengingat pernah berencana mengajak makan malam sekeluarga. Kesibukan menjaga dapur ngebul menjadi kambing hitam yang paling klasik.

Berkat sebuah scene drama Turki, Mama berseloroh. “Enak ya kalau sesekali makan di restoran.” Kalimat itu jadi semacam alarm pengingat. Lalu kami membuat rencana kecil. Kami ajak Bapak dan Mama pergi ke mall terdekat. Bukan pilihan terbaik sebenarnya, mengingat jumlah tempat makan yang tersedia. Efisiensi waktu menjadi alasan utama kami memilih tempat itu.
Sesampainya di rumah. Sepulang dari toko. Aku tersenyum geli melihat ekspresi Mama yang mondar-mandir dari kamar mandi, dapur, kamar tidur.

 “Mama nggak usah ikut aja ya?”

Aku tahu, sudah menjadi hal biasa bagi seorang wanita seusianya menjadi galau mendekati jam yang ditentukan. Simbok juga pernah seperti itu. Paling susah kalau diajak makan di luar. Biasanya aku menyiasatinya dengan membeli makanan di warung makan tertentu, dibungkus, lalu dimakan bersama di rumah. Mengingat perempuan desa seangkatan Tomy J Pisa, Titik Sandora seperti Simbok itu begitu mau diajak makan di luar, langsung berubah jadi akuntan kelas dunia.

“Mama nanti pesen minum aja yak?”
“Iya... yang penting jalan dulu. Nanti tinggal lihat ada yang enak nggak di sana. Kalau nggak ada ya balik lagi.”

Lima belas menit dari rumah. Kami sudah sampai di Buaran. Kami berkeliling untuk memastikan selera Bapak dan Mama. Mama mungkin bisa makan apa saja. Bapak tak mungkin kami ajak makan pizza, donut atau roti. Kami memutuskan tempat makan yang cocok dengan madzhab angkatan Ratih Purwasih. Anak muda ngikut aja selera orang sepuh.

Membiarkan Mama dan Bapak memilih menu sendiri, sudah pasti seperti menunggu ulat jadi kepompong, Hehe... Lama. Aku membacakan menu yang ada, lalu memilih ikan gurame asam manis, cah kangkung, cumi goreng mentega. Untuk minumnya aku memesan jus alpukat, dan es kelapa muda. Mama masih pucat. Lukisan canggung jelas tergurat di wajahnya. Bapak seperti lelaki Virgo di seluruh dunia. Mudah beradaptasi.

“Ma, nanti kalau uangnya nggak cukup, KTP Mama yang ditinggal yak?”
Mama tertawa, wajah pias itu sebentar kemudia memerah.
“Ya udah, nanti kalau nggak cukup, Mama aja yang ditinggal, buat nyuci piring.”
“Haha...”
Kami berempat tertawa, suasana mencair seperti biasa. Persoalan gugup melumer. Tak lama berselang menu yang kami pesan satu persatu diantar. Sedetik ketika Bumil mencicip cumi goreng mentega, ekspresi wajahnya kaku. Aku tahu Bumil lagi mencoba menelan makanan yang dicobanya.

“Pesan udang goreng tepung aja yak.”

Dia menjawab dengan anggukan kecil. Di atas meja itu aku berubah menjadi karnivora ganas. Tak lama menu tandas satu persatu. Tersisa duri dan tulang ikan saja. Sebenarnya bagi Bapak dan Mama tentu jumlah tagihan tak menjadi masalah. (Wong gaji Mama aja lebih gede dari gajku. :D) Tapi mengingat adat dan kebiasaan makan di luar merupakan tradisi yang tak lazim bagi perempuan seangkatan Mama. Makan ya di rumah. Bisa masak sesuai selera. Yang paling penting. MURAH. Bahan bisa beli di pasar Pulo Jahe. Sisanya kan bisa ditabung buat naik haji. :D.

Kalau kebahagiaan bagi mertua itu ketika menantu dan anaknya bisa memberangkatan ziarah ke tanah suci, membeli sebidang tanah untuk masa tua, membelikan logam dan batu mulia, tentu kami sudah terdegradasi dari daftar anak dan menantu yang berbakti. Kebahagiaan itu sederhana bagi kami. Bisa membuat simpul huruf U di bibir keduanya. Melihat keduanya canggung. Saling menatap satu sama lain. Menarik waktu ke masa lampau. Mengkhayalkan keduanya sewaktu masih muda. Menyaksikan cinta membentuk prasasti kenangan. Usia menua. Cinta harus terus dirawat dan dijaga. Salam.



Sudah sekian puluh tahun masih kaku aja. :D

Bapak pura-pura sibuk baca sms.

"Warung Pojok" Recomended buat acara makan malam keluarga.

Jangan lupa berdoa sebelum tidur... eh, sebelum makan.

Yang malu nggak dapet bagian betapa enaknya tulang ikan yang digoreng garing

Biarkan perempuan berbicara dalam bahasa ibunya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates