Social Icons

Halaman

18 Jul 2013

Memaknai Sepi



Entahlah, menjelang bulan ramadhan, bahkan ketika sepuluh hari pertama bulan suci ini berlangsung, rasanya minat untuk menulis seperti menguap begitu saja. Pelarianku adalah cerpen-cerpen di beberapa blog. Membaca... membaca dan membaca. Nonton pun rasanya seperti menyesap bongkahan es ke dalam mulut. Mati rasa.

Aku kehilangan fokus. Kabur dan entah kemana semua. Satu demi satu rencana besar berguguran seperti daun pohon jati yang meranggas di musim kemarau.  Sebaris kalimat yang masih kuingat dari buku yang ditulis Kiai Budi, jika Tuhan seolah-olah membiarkan dirimu terombang-ambing seperti serpihan kecil buih di lautan, bersabarlah. Sesungguhnya engkau sedang digiring ke dalam luasnya samudra kerinduanNya.

Aku berdiri di antara dua arus yang begitu kuat. Sedang aku tak bisa berjalan. Maju atau mundur. Hampir setahun sudah aku mematung. Berdiri tanpa visi yang jelas. Mati suri. Sebuah pilihan yang berat jika aku harus pergi dari sini. Mencari Mursyid baru. Adakah Tuhan memberikan pilihan yang lain? Aku tak tahu.

Bahkan ketika rasanya pilihan yang terburuk pun kuterima. Dengan lapang dada. Dia dengan semena-mena menampilkan masa lalu dia ke dalam mimpi-mimpiku. Tak puas sampai di sini. Ketika pilihan itu akhirnya kulepaskan. Bahkan, ketika lebih dari setahun, mimpi-mimpi itu sekali dua kali muncul. Sebenarnya apa mauMU?

Sendiri dalam riuh. Tertawa dalam kepedihan. Luka pada akhirnya akan mengering. Seandainya hati seperti itu. Kenyataannya tidak sama-sekali. kenapa juga kepalaku ini seolah seperti penyimpan harta karun abadi. Sedikit saja pemantik datang. Kenangan-kenangan itu menyeruak, menguarkan aroma bayangan-bayangan itu. Semuanya.

Benar-benar merasa sendiri. Tak ada teman seperjalanan yang bisa diajak bicara. Satu yang masih menjadi ganjalanku hari ini. Apakah aku akan masuk ke dalam dunia tarekat? Aku merasa bahwa ilmu fikihku masih dangkal sekali. Aku takut tersesat dalam dunia itu dan tak bisa kembali lagi. Bukankah syarat pertama dari mengikuti tarekat seperti itu adalah dengan menanggalkan logika di balik hati.

Ada seorang habaib yang kutahu posisinya tinggi. Dalam hal ruhani. Setiap kali mendengar ceramahnya. Bahkan sebelum dia naik mimbar pun, aroma dari jiwa ruhaninya begitu mengoyak-ngoyak batinku. Tapi, aku malu berhadapan dengan orang suci semacam dia. Jika seorang muslim adalah cermin bagi yang lainnya. Maka dalam cermin itu kutemukan wajaku yang bopeng sana-sini. Jiwaku yang kotor.

Kenapa tiap kali bertemu dengan Guru yang pas di hati, selalu saja dia pergi? Perjalanan ini telah kumulai ketika aku masih SMP. Mulanya keinginan untuk masuk ke sebuah pesantren ditolak oleh kedua orang tuaku. Alasan klasik dari jaman Adam, finansial.

Uang memang bukan segalanya. Tapi, banyak hal yang membutuhkannya. “Kalau lulus dari pesantren kamu mau jadi apa?” Aku hanya tunduk dalam pilihan itu. Ternyata sedikit banyaknya uang yang ada seringkali membatasi pilihan yang bisa kita ambil. Apakah masih penting aku ini NU, Muhammadiyah, LDII, Sunni atau Syi’ah? Bukankah semua hanyalah sebuah jalan. Sebuah jalan menuju Tuhan.

Tidakkah kau biarkan aku akan memilih menjadi apa. Biar matahari, air dan angin yang akan bicara. Kelak akan tumbuh menjadi pohon apa dan bagaimana buah dari pohon itu.

Kadang dalam dudukku. Ketika bacaan Ratib Al- Athos sampai pada bacaan “Yaa robbi bil musthofa balig maqo sidana, wagfirlanaa maa madho yaa wasi’ al karomi.” Tiba-tiba saja mata meleleh. Mengalir begitu saja. Seandainya saja Nabi ada di depanku saat itu, akan kuadukan semuanya padanya. Jalan mana yang harus kupilih.

Apakah aku harus membenci Apel jika ternyata buah kesukaanku adalah pisang? Apakah aku harus membenci hitam jika warna yang kusukai adlah merah? Tidak bisakah kita saling melengkapi satu sama lain. Duduk bersama. Bercerita tentang anak-anak kita di masa depan. Tentang panen yang akan datang sebentar lagi. Tentang udara musim bediding yang dingin meretakkan tulang.

Tuhan, Engkau memang maha semuanya dan maha semauMu. Aku memang berhenti, tapi perjalananku belum berakhir.

*. Bediding : musim di mana mangga berbunga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates