Entahlah, menjelang bulan ramadhan,
bahkan ketika sepuluh hari pertama bulan suci ini berlangsung, rasanya minat
untuk menulis seperti menguap begitu saja. Pelarianku adalah cerpen-cerpen di
beberapa blog. Membaca... membaca dan membaca. Nonton pun rasanya seperti
menyesap bongkahan es ke dalam mulut. Mati rasa.
Aku kehilangan fokus. Kabur dan entah
kemana semua. Satu demi satu rencana besar berguguran seperti daun pohon jati
yang meranggas di musim kemarau. Sebaris
kalimat yang masih kuingat dari buku yang ditulis Kiai Budi, jika Tuhan seolah-olah
membiarkan dirimu terombang-ambing seperti serpihan kecil buih di lautan,
bersabarlah. Sesungguhnya engkau sedang digiring ke dalam luasnya samudra
kerinduanNya.
Aku berdiri di antara dua arus yang
begitu kuat. Sedang aku tak bisa berjalan. Maju atau mundur. Hampir setahun
sudah aku mematung. Berdiri tanpa visi yang jelas. Mati suri. Sebuah pilihan
yang berat jika aku harus pergi dari sini. Mencari Mursyid baru. Adakah Tuhan
memberikan pilihan yang lain? Aku tak tahu.
Bahkan ketika rasanya pilihan yang
terburuk pun kuterima. Dengan lapang dada. Dia dengan semena-mena menampilkan
masa lalu dia ke dalam mimpi-mimpiku. Tak puas sampai di sini. Ketika pilihan
itu akhirnya kulepaskan. Bahkan, ketika lebih dari setahun, mimpi-mimpi itu
sekali dua kali muncul. Sebenarnya apa mauMU?
Sendiri dalam riuh. Tertawa dalam
kepedihan. Luka pada akhirnya akan mengering. Seandainya hati seperti itu. Kenyataannya
tidak sama-sekali. kenapa juga kepalaku ini seolah seperti penyimpan harta
karun abadi. Sedikit saja pemantik datang. Kenangan-kenangan itu menyeruak,
menguarkan aroma bayangan-bayangan itu. Semuanya.
Benar-benar merasa sendiri. Tak ada
teman seperjalanan yang bisa diajak bicara. Satu yang masih menjadi ganjalanku
hari ini. Apakah aku akan masuk ke dalam dunia tarekat? Aku merasa bahwa ilmu
fikihku masih dangkal sekali. Aku takut tersesat dalam dunia itu dan tak bisa
kembali lagi. Bukankah syarat pertama dari mengikuti tarekat seperti itu adalah
dengan menanggalkan logika di balik hati.
Ada seorang habaib yang kutahu
posisinya tinggi. Dalam hal ruhani. Setiap kali mendengar ceramahnya. Bahkan sebelum
dia naik mimbar pun, aroma dari jiwa ruhaninya begitu mengoyak-ngoyak batinku.
Tapi, aku malu berhadapan dengan orang suci semacam dia. Jika seorang muslim
adalah cermin bagi yang lainnya. Maka dalam cermin itu kutemukan wajaku yang
bopeng sana-sini. Jiwaku yang kotor.
Kenapa tiap kali bertemu dengan Guru
yang pas di hati, selalu saja dia pergi? Perjalanan ini telah kumulai ketika
aku masih SMP. Mulanya keinginan untuk masuk ke sebuah pesantren ditolak oleh
kedua orang tuaku. Alasan klasik dari jaman Adam, finansial.
Uang memang bukan segalanya. Tapi,
banyak hal yang membutuhkannya. “Kalau lulus dari pesantren kamu mau jadi apa?”
Aku hanya tunduk dalam pilihan itu. Ternyata sedikit banyaknya uang yang ada
seringkali membatasi pilihan yang bisa kita ambil. Apakah masih penting aku ini
NU, Muhammadiyah, LDII, Sunni atau Syi’ah? Bukankah semua hanyalah sebuah
jalan. Sebuah jalan menuju Tuhan.
Tidakkah kau biarkan aku akan memilih
menjadi apa. Biar matahari, air dan angin yang akan bicara. Kelak akan tumbuh
menjadi pohon apa dan bagaimana buah dari pohon itu.
Kadang dalam dudukku. Ketika bacaan
Ratib Al- Athos sampai pada bacaan “Yaa robbi bil musthofa balig maqo sidana,
wagfirlanaa maa madho yaa wasi’ al karomi.” Tiba-tiba saja mata meleleh. Mengalir
begitu saja. Seandainya saja Nabi ada di depanku saat itu, akan kuadukan
semuanya padanya. Jalan mana yang harus kupilih.
Apakah aku harus membenci Apel jika
ternyata buah kesukaanku adalah pisang? Apakah aku harus membenci hitam jika
warna yang kusukai adlah merah? Tidak bisakah kita saling melengkapi satu sama
lain. Duduk bersama. Bercerita tentang anak-anak kita di masa depan. Tentang panen
yang akan datang sebentar lagi. Tentang udara musim bediding yang dingin meretakkan tulang.
Tuhan, Engkau memang maha semuanya
dan maha semauMu. Aku memang berhenti, tapi perjalananku belum berakhir.
*. Bediding : musim di mana mangga
berbunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar