Social Icons

Halaman

20 Jul 2013

Santri Pegadaian.



Ketika pulang kampung, bukan hanya rumah orang tuaku yang selalu kurindukan. Ada satu rumah lagi yang selalu menjadi tempat persinggahanku. Rumah Mas Makruf. Orang-orang sering memanggilnya dengan panggilan Aba Makruf. Seseorang yang sampai saat ini kuanggap sebagai seorang guru, meski aku selalu menjadi murid yang gagal.

Orangnya sederhana. Meski pernah menjadi seorang penasehat pondok pesantren kenamaan di Sragen (Salah satu kabupaten di Jawa tengah). Beliau tetap rendah hati. Dalam kesehariannya tak nampak sekali kalau dia adalah orang alim. Jika ukuran alim adalah baju koko, kopiah dan jenggot. “Aku malu, Gus. Malu sama kanjeng Nabi. Aku belum pantas memakai pakaian seperti itu.”

Jika orang sealim seperti beliau saja merasa tak pantas, lalu bagaimana denganku? Memang sudah sejak lama kutanggalkan kopiah, baju koko dan jarang memelihara jenggot. Bukan karena tidak ingin mengikuti sunah kanjeng nabi, bagiku ada sunah yang lebih utama dibandingkan apa yang nampak dipermukaan saja.

Di rumah itu aku seperti menemukan diriku kembali. Dari sana aku melihat gambaran-gambaran kesalahanku. Satu persatu kesalahan itu dia tunjukkan padaku. Satu kelebihan beliau dibandingkan beberapa guruku di Jakarta adalah tutur katanya yang lembut. Gaya bahasa yang tidak menggurui.

“Belajarlah dari tukang gadai.”
“Maksute pripun, Mas?” (Maksudnya bagaimana?)
“Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Itu ilmu ikhsan. Islam itu terbangun menjadi tiga pilar. Iman-Islam-Ikhsan. Ketiganya tak bisa kau pilah dan pisah. Benar-baik-sopan.”
“Misalnya bagaimana, Mas?”
“Misalnya begini. Ada anak kecil yang bermain-main dengan api. Trus karena itu di daerah yang rawan kebakaran. Kamu menegurnya.”
“Hei, kamu goblok ya! Ini kan daerah rawan kebakaran. Nanti bisa bahaya.”
“Kalimat itu benar. Baik, tapi disampaikan dengan cara yang salah. Kesalahannya lebih dari satu.”
“Pertama, apakah anak kecil itu sudah mencukupi umurnya tentang pengetahuannya tentang bahaya kebakaran?”
“Kedua, secara tidak langsung, kamu mengajarkan kalimat makian. Kata goblok itu akan melukai hatinya. Mungkin hari itu dia akan mematikan api di tangannya. Tapi sebaliknya ia mulai menyalakan api dendam di hatinya.”
“Belajar fikih itu penting. Itu bagus. Tapi jangan lupakan di sana harus ada ilmu akhlaq. Jangan kesampingkan tasawuf. Tak bisa kamu seenaknya membenarkan dan menyalahkan individu atau kelompok lain yang tidak sealiran denganmu.”

Begitulah, rumah sederhana beliau selalu saja menjadi pelabuhan hatiku. Juga sampai saat ini. Kenapa aku masih betah tinggal di Utan Kayu. Meski, separuh dari diriku ingin segera pergi. Penghuni rumah di samping masjid Al-Falah-lah yang membuatku enggan pergi.

Meski tertatih, aku takkan menyudahi pencarian ini. Aku memang berhenti, tapi semua belum berakhir.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates