Social Icons

Halaman

3 Apr 2013

Perjalanan Rasa (Part 1)



Hidup itu adalah sebuah perjalanan rasa. Kalimat ini baru saya pahami setelah pekan lalu saya pergi ke perkampungan tradisional. Perkampungan di dalam bukit, tanpa listrik, tanpa sentuhan "teknologi" apa pun. Rumahnya pun sederhana sekali. Rumah panggung, hanya dari kayu yang di sambung dengan kayu sebagai tiang-tiangnya. Tiap rumah disangga dengan balok-balok kayu sepanjang setengah meter kayu. Berjumlah enam belas, ada yang lebih. Batu sebagai pondasi tiap-tiang-tiang itu. Dindingnya berupa anyaman dari bambu. Atapnya dari daun palem, atau sejenisnya.

Saya pernah membaca buku terjemahan Fihi maa fihi, sampai sekarang saya belum pernah merampungkannya, padahal buku itu sudah hampir empat tahun saya punya. Kumpulan ceramah Maulana Rumi. Seorang mistikus, spiritualis, tepatnya seorang sufi besar dari Konya, Turki. Ada satu hal  dari buku itu yang baru saya pahami saat itu. Ketika saya melihat kesederhanaan orang-orang Badui dalam. Lebih tepatnya orang-orang Cibeo. Ya, nama kampungnya rata-rata diawali dengan Ci, karena memang kebanyakan satu kampung dengan kampung yang lain dipisahkan dengan sungai. Semisal Cipadu atau Cikata warna.

Konon sebelum kita lahir di dunia ini, kita pernah mengadakan perjanjian suci dengan Tuhan. Perjanjian primordial. Janji di mana kita akan mengakui bahwa tidak ada yang pantas disembah kecuali Tuhan itu sendiri. Namun, seiring pernjalanan dari dunia ruh menuju dunia materi, sebagian dari kita lupa akan kesejatian perjalanan itu.

Jika manusia ibarat sepotong roti. Kemudian roti itu tertelan setelah sebelumnya dikunyah dan lumat oleh air liur, maka bentuk itu belum berubah. Masih berwujud materi. Baru kemudian wujud materi itu diproses dalam lambung, usus besar  remuk oleh enzim ini, itu dan seterusnya. Yang menjadi residu berupa tinja akhirnya terbuang. Sementara yang berhasil diserap oleh tubuh akan menyatu menjadi energi, vitamin dan zat-zat lain yang bersatu dengan darah.

Kalau perjalanan saya di dunia ini terus berpatok pada dunia materi. Saya takut saya kelak hanya akan dibuang dari tubuh itu. Senasib dengan tinja. Karena selama perjalanan hidup itu saya tidak belajar untuk menjadi manusia ruhani.

Saya teringat piramida kebutuhannya Abraham Maslow. Di mana ujung dari segitiga itu adalah kebutuhan-kebutuhan immaterial. Manusia sudah tidak butuh lagi kesenangan berupa benda-benda, pangkat, mobil, atau rumah. Manusia butuh kebahagiaan yang tidak terlihat. Tak kasat mata.  Cinta, ketenangan, ketentraman, manusia butuh Tuhan.

Sebagai makhluk hidup, tumbuh adalah sebuah kepastian yang tidak bisa kita tolak. Kita tidak bisa merayu waktu, sekedar untuk melambatkan jalannya yang periodik. Kenyataannya ada banyak hal yang ternyata kita tidak berkuasa atas semua itu. Bahkan hal-hal terkecil yang ada di dekat kita sendiri. Rambut yang memanjang, detak jantung, aliran darah, kulit yang menua. Terus apa sebenarnya yang selama ini yang “konon” dianggap sebagai hak milik atau kepunyaan kita itu?

####

Sabtu, 30 Maret 2013 saya bersama tiga orang sahabat saya; Maman, Yeni dan mas Catur sengaja berkunjung ke perkampungan pedalaman di daerah Kanekes, tak jauh dari stasiun Rangkas Bitung. Kebanyakan orang lebih akrab dengan panggilan Badui. Sejak pertama kali menjejakkan kaki dari stasiun Rangkas Bitung kami langsung memasuki sebuah pasar tradisional yang tak jauh dari terminal. Sudah lama sekali saya tidak masuk ke dalam pasar seperti ini. Jalanan yang becek, semrawut, bau anyir dan busuk bercampur saling unjuk diri, beberapa bangkai tikus terlihat telah bersatu dengan ubin yang sebagian telah terkelupas, diganti dengan gundukan tanah.

“Mau beli apa Man?”
“Mang? Aya beas?” Ucap Maman pada seorang pedagang
“Teu aya bos, beas mah di belakang.”

Tanyaku tak berjawab. Baru kusadari bahwa aku telah menginjakkan kaki di mana orang-orang berbicara dengan bahasa Sunda. Kutafsirkan sendiri kalimat-kalimat dan kosa kata yang satu dua kata baru kudengar. Membeli beras, dan ikan asin. Itu yang kutangkap dari pembicaraan antara Maman dengan beberapa pedagang. Tak sampai setengah jam, apa yang kami cari telah kami dapatkan. Dua liter beras seharga Rp.14.000; dan tiga ekor ikan tongkol seharga Rp.21.000;

Dari pasar kami mampir sebentar ke mini market. Keluar dari mini market kami telah dirayu seorang calo angkot. Mungkin tas ransel dan tampang kami yang mereka bacai sebagai orang asing. Tepatnya orang Jakarta, padahal tak satu pun dari kami yang asli orang Jakarta. 

“Bukannya dua ribu Bang?”
“Nggak bisa empat ribu!”

Nada sopir meninggi. Dengan wajah agak kesal mas Catur memberikan uang sisanya. Seakan menjadi hal lumrah yang “harus” dimaklumi sebagian penumpang kepada para sopir di negeri ini, bahwa pendatang atau pelancong menjadi tangkapan besar untuk dipalak. Tarif yang seharusnya dua ribu menjadi empat ribu. Beginikah wajah-wajah moral masyarakat kelas bawah. Apakah sopir itu tidak melihat bahwa empat orang yang dia palak tak jauh beda dengan dirinya.

Bukan persoalaan uang delapan ribu. Tapi lebih pada proses mendapatkan uang. Seandainya yang dipalak itu ikhlas dengan uang itu, apakah Tuhan juga ikhlas dengan cara sopir itu mendapatkan seperak dua perak itu? Dulu Pak Asmu’in guruku sewaktu masih di Madrasah pernah menasehatiku, ada dua jenis haram, pertama haram karena sudah nas, sudah dari asalnya memang haram misalnya, daging babi, anjing, khamr, berzina. Yang kedua haram karena sebab, segala hal yang sebenarnya halal, jika pada proses dan cara mendapatkannya tidak baik maka hal itu menjadi haram adanya. Semoga saja kasus di atas tidak masuk kedalam jenis yang ke dua. Semoga kami sudah ikhlas dan Tuhan memaklumi keadaan sopir itu.

(Bersambung)

Jakarta, 3 April 2013

Damar Panuluh Jiwo


2 komentar:

 
 
Blogger Templates