Hidup itu adalah sebuah perjalanan
rasa. Kalimat ini baru saya pahami setelah pekan lalu saya pergi ke perkampungan
tradisional. Perkampungan di dalam bukit, tanpa listrik, tanpa sentuhan
"teknologi" apa pun. Rumahnya pun sederhana sekali. Rumah panggung, hanya dari
kayu yang di sambung dengan kayu sebagai tiang-tiangnya. Tiap rumah disangga
dengan balok-balok kayu sepanjang setengah meter kayu. Berjumlah enam belas,
ada yang lebih. Batu sebagai pondasi tiap-tiang-tiang itu. Dindingnya berupa
anyaman dari bambu. Atapnya dari daun palem, atau sejenisnya.
Saya pernah membaca buku terjemahan
Fihi maa fihi, sampai sekarang saya belum pernah merampungkannya, padahal buku
itu sudah hampir empat tahun saya punya. Kumpulan ceramah Maulana Rumi. Seorang
mistikus, spiritualis, tepatnya seorang sufi besar dari Konya, Turki. Ada satu
hal dari buku itu yang baru saya pahami
saat itu. Ketika saya melihat kesederhanaan orang-orang Badui dalam. Lebih
tepatnya orang-orang Cibeo. Ya, nama kampungnya rata-rata diawali dengan Ci,
karena memang kebanyakan satu kampung dengan kampung yang lain dipisahkan
dengan sungai. Semisal Cipadu atau Cikata warna.
Konon sebelum kita lahir di dunia
ini, kita pernah mengadakan perjanjian suci dengan Tuhan. Perjanjian
primordial. Janji di mana kita akan mengakui bahwa tidak ada yang pantas
disembah kecuali Tuhan itu sendiri. Namun, seiring pernjalanan dari dunia ruh
menuju dunia materi, sebagian dari kita lupa akan kesejatian perjalanan itu.
Jika manusia ibarat sepotong roti.
Kemudian roti itu tertelan setelah sebelumnya dikunyah dan lumat oleh air liur,
maka bentuk itu belum berubah. Masih berwujud materi. Baru kemudian wujud
materi itu diproses dalam lambung, usus besar remuk oleh enzim ini, itu dan seterusnya. Yang
menjadi residu berupa tinja akhirnya terbuang. Sementara yang berhasil diserap
oleh tubuh akan menyatu menjadi energi, vitamin dan zat-zat lain yang bersatu
dengan darah.
Kalau perjalanan saya di dunia ini
terus berpatok pada dunia materi. Saya takut saya kelak hanya akan dibuang dari
tubuh itu. Senasib dengan tinja. Karena selama perjalanan hidup itu saya tidak
belajar untuk menjadi manusia ruhani.
Saya teringat piramida kebutuhannya
Abraham Maslow. Di mana ujung dari segitiga itu adalah kebutuhan-kebutuhan
immaterial. Manusia sudah tidak butuh lagi kesenangan berupa benda-benda,
pangkat, mobil, atau rumah. Manusia butuh kebahagiaan yang tidak terlihat. Tak
kasat mata. Cinta, ketenangan,
ketentraman, manusia butuh Tuhan.
Sebagai makhluk hidup, tumbuh adalah
sebuah kepastian yang tidak bisa kita tolak. Kita tidak bisa merayu waktu,
sekedar untuk melambatkan jalannya yang periodik. Kenyataannya ada banyak hal
yang ternyata kita tidak berkuasa atas semua itu. Bahkan hal-hal terkecil yang
ada di dekat kita sendiri. Rambut yang memanjang, detak jantung, aliran darah,
kulit yang menua. Terus apa sebenarnya yang selama ini yang “konon” dianggap
sebagai hak milik atau kepunyaan kita itu?
####
Sabtu, 30 Maret 2013 saya bersama
tiga orang sahabat saya; Maman, Yeni dan mas Catur sengaja berkunjung ke
perkampungan pedalaman di daerah Kanekes, tak jauh dari stasiun Rangkas Bitung.
Kebanyakan orang lebih akrab dengan panggilan Badui. Sejak pertama kali
menjejakkan kaki dari stasiun Rangkas Bitung kami langsung memasuki sebuah
pasar tradisional yang tak jauh dari terminal. Sudah lama sekali saya tidak
masuk ke dalam pasar seperti ini. Jalanan yang becek, semrawut, bau anyir dan
busuk bercampur saling unjuk diri, beberapa bangkai tikus terlihat telah
bersatu dengan ubin yang sebagian telah terkelupas, diganti dengan gundukan
tanah.
“Mau beli apa Man?”
“Mang? Aya beas?” Ucap Maman pada
seorang pedagang
“Teu aya bos, beas mah di belakang.”
Tanyaku tak berjawab. Baru kusadari
bahwa aku telah menginjakkan kaki di mana orang-orang berbicara dengan bahasa Sunda.
Kutafsirkan sendiri kalimat-kalimat dan kosa kata yang satu dua kata baru
kudengar. Membeli beras, dan ikan asin. Itu yang kutangkap dari pembicaraan
antara Maman dengan beberapa pedagang. Tak sampai setengah jam, apa yang kami
cari telah kami dapatkan. Dua liter beras seharga Rp.14.000; dan tiga ekor ikan
tongkol seharga Rp.21.000;
Dari pasar kami mampir sebentar ke
mini market. Keluar dari mini market kami telah dirayu seorang calo angkot.
Mungkin tas ransel dan tampang kami yang mereka bacai sebagai orang asing.
Tepatnya orang Jakarta, padahal tak satu pun dari kami yang asli orang
Jakarta.
“Bukannya dua ribu Bang?”
“Nggak bisa empat ribu!”
Nada sopir meninggi. Dengan wajah
agak kesal mas Catur memberikan uang sisanya. Seakan menjadi hal lumrah yang “harus”
dimaklumi sebagian penumpang kepada para sopir di negeri ini, bahwa pendatang
atau pelancong menjadi tangkapan besar untuk dipalak. Tarif yang seharusnya dua
ribu menjadi empat ribu. Beginikah wajah-wajah moral masyarakat kelas bawah.
Apakah sopir itu tidak melihat bahwa empat orang yang dia palak tak jauh beda
dengan dirinya.
Bukan persoalaan uang delapan ribu.
Tapi lebih pada proses mendapatkan uang. Seandainya yang dipalak itu ikhlas
dengan uang itu, apakah Tuhan juga ikhlas dengan cara sopir itu mendapatkan
seperak dua perak itu? Dulu Pak Asmu’in guruku sewaktu masih di Madrasah pernah
menasehatiku, ada dua jenis haram, pertama haram karena sudah nas, sudah dari
asalnya memang haram misalnya, daging babi, anjing, khamr, berzina. Yang kedua
haram karena sebab, segala hal yang sebenarnya halal, jika pada proses dan cara
mendapatkannya tidak baik maka hal itu menjadi haram adanya. Semoga saja kasus
di atas tidak masuk kedalam jenis yang ke dua. Semoga kami sudah ikhlas dan
Tuhan memaklumi keadaan sopir itu.
(Bersambung)
Jakarta, 3 April 2013
Damar Panuluh Jiwo
maju terus mas...
BalasHapusThanks Mas Agus
BalasHapus