Lama saya tidak ngisi blog lagi. Lagi
iseng saja menyibukkan diri membaca buku. Biar lupa. Lupa kalau nggak punya
duit, lupa kalau punya hutang, lupa kalau punya istri... Ups. Keceplosan. Kata
penyair rumus sukses hidup di Jakarta adalah LUPA.
Seperti
tertampar petir. Lah, petir kok nampar. What everlah. Soalnya kalau kesambar
beneran kan bisa nggak lebaran. Nggak ketemu Ramadhan (Aziz). Kan aku naksir
sama dia :P Nah, lho... makin ngawur saja.
Kaget
saja mendengar kabar dari seorang teman bahwa “dia” dilarang oleh orang tuanya
menulis. Bahkan sampai laptopnya disita segala. Dengan dalih agar masa depannya
tidak terganggu. Kok bisa separah itu?
Ya...
saya juga tidak tahu seberapa parah kegiatan menulis itu mengganggu aktifitas
teman saya itu. Dan sampai saat ini saya juga tidak tahu apakah kegatan
menulisnya itu sudah berdampak seperti orang yang jatuh cinta. Terlebih yang
lagi patah hati, nggak mau makan, minum, bahkan nggak mau mandi selama seminggu
penuh. Duh, itu mah jorok bin laden.
Apakah
kegiatannya menulis selama ini telah melupakan dia dari Tuhannya? Apakah kegiatan
menulisnya sudah seperti efek candu? Apakah sudah mencapai titik ekstase dalam
dunia sufistik, hingga kalau tidak diajak turun lagi tingkatnya bisa-bisa dia
tersesat dalam dunia “ilahiah?” Biarkan semua itu yang bersangkutan yang
menjawab.
Itu
satu pukulan besar terhadap dunia pendidikan sekarang ini. Setidaknya merupakan
pukulan juga buat saya pribadi. Jangan-jangan selama saya kumpul-kumpul di sebuah
komunitas belajar menulis, sebagian orang masih punya anggapan bahwa ini adalah
kumpulan orang-orang yang hanya buang-buang waktu. Nggak bermanfaat. Oh...
Julia Perez. Hehe... #Korban Infotainment.
Apakah saya punya keinginan untuk
menjadi penulis? Punya penghasilan di luar pekerjaan utama? Tentunya semua itu
saya amini. Tapi, saya juga sadar, bahwasanya banyak hal yang masih harus saya
pelajari dan saya korbankan jika saya ingin mencapai hal itu. Jika nanti suatu
hari saya tidak dapat mencapai semua itu? Apakah saya akan menyesal? Nangis bantal-bantal?
(Kasihan guling terus yang disebut)
Setidaknya banyak proses yang saya
dapat dari komunitas ini. Apakah sukses itu harus melulu diukur dengan
finansial? Ah, kalau kenyataannya seperti itu ya silakan saja. Itu kan
penafsiran tiap orang. Masak harus sama semua. Bayangkan kalau seluruh dunia
kaya semua. Cantik semua. Punya nama semua. Nah, lho jadi kemana saya
ngomongnya.
Well, membaca dan menulis setidaknya
bagi saya pribadi telah merubah banyak hal dalam diri saya. Saya lebih tahu
belajar tentang diri saya dari penulis-penulis itu. Berkaca lewat orang lain.
Saya belum menjadi orang tua. Jadi
belum tahu kaca mata apa yang akan saya pakai kelak, jika saya punya anak
dengan kegemaran yang sama seperti anak yang dilarang itu. Mungkin sama seperti
saya dulu. Ketika saya pulang kampung dengan Carrier penuh berisi buku. Sedang
celana jins saya sobek-sobek penuh dengan tambalan. Ibu saya marah. “Punya uang
kok dihambur-hamburkan buat yang beginian.”
Beruntung ibu saya tidak terlalu
frontal dalam mengarahkan saya mau menjadi apa. Termasuk ketika saya menolak
mentah-mentah mendaftar jadi PNS.
Teruntuk sahabat kita yang cetar
membahana itu. Semoga kesuksesan yang diinginkan orang tuamu segera terwujud. Tetep
semangat ya... Pokoknya hiduplah seperti Spongebob dan Patrick. Hiduplah untuk
menciptakan kebahagiaan. Kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan. Bukankah
dunia itu “menyebalkan” sekali ketika kita berasumsi seperti semua “keterpaksaan”
Squidward Sang Tentakel itu.
Fyuh... Sudah ah. Makin lama saya
makin ngaco saja ngomongnya. Terlebih saya takut kalau semakin jauh saya
menulis, saya tambah cantik :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar