Social Icons

Halaman

17 Sep 2013

Satu Peristiwa di Jakarta



Sepagi tadi, sehabis buka toko, saya seperti terseret dalam mesin waktunya Doraemon. Lalu tiba-tiba saja saya sudah berada di lapangan Tiananmen atau di tengah-tengah pasar di daerah Pecinan. Dua orang bermata sipit berada tak sampai satu meter di depan saya. Was... wes... wos, mereka berdua bercakap-cakap dengan bahasa ibunya. Saya seperti orang dungu yang hanya bisa tersenyum untuk menutupi ketidaktahuannya.

“Ini kalau diganti berapa?” Tanya salah satu pria bermata sipit itu. Saya sebutkan angka sekian-sekian. Keduanya hanya melempar pandang. Dua unit CPU itu teronggok di meja kerja saya. Kemudian mereka kembali bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak saya mengerti sepenggal kata pun. Saya cuma bisa membaca mimik wajah mereka, mengartikan gesture tubuh mereka. “Nggak usah diganti, mahal.” Hehe... dugaan saya benar. Tak lama setelah itu kalimat bernada mirip keluar dari sang penerjemah.

Setengah jam sebelum dua lelaki bermata sipit itu datang, pelanggan pertama di toko sudah datang, Junaedi, seorang tuna wicara yang menurut saya “keren.” Di tengah suaranya yang dicekat Tuhan semenjak lahir, Tuhan memberikan dia kelebihan-kelebihan yang mungkin tidak dipunyai oleh orang lain. Salah satu bukti  adalah mahirnya dia memainkan mouse dan keyboard, menyetting angka dan IP addres di komputer.

Balik lagi ke dua orang asing tadi. Beberapa tahun yang lalu ada seorang Profesor berkebangsaan Malaysia dengan bahasa Indonesia dan Inggris yang terbata-bata datang ke toko. Saya tidak tahu, apakah saya yang nggak bisa menangkap setiap perkataannya atau memang begitu ciri seorang Profesor. Sebut saja namanya Jie An. Meski nama aslinya masih saya ingat, kartu namanya masih saya simpan. Seorang Profesor yang bekerja sebagai wirausahawan, menjual sabut kelapa untuk dibuat rumbai-rumbai atap dan sejenis gapura di tempat-tempat wisata. Jangan salah, jualnya kelas kakap. Dia ekspor barang-barang itu sampai ke Brazil, Brunei dan negara-negara di kawasan Eropa.

Datang dengan muka kikuk dan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Dia berkata, “Insgtall... you olang bisa ingstall.”
“Nanti... saya bayal...”
“Belapa?”

            Singkat cerita ternyata Mr. Jie An ini sudah keliling ruko, dari lantai dasar hingga lantai 1. Tidak ada yang mau menerima dia. Maksud saya tidak ada yang mau mengerjakan komputernya yang rusak. Bahasa menjadi salah satu kendala. Meski, ke depannya baru saya ketahui bukan hanya itu. Ternyata orangnya ribet minta ampun.
           
            Komputer yang diinstal itu minta dimasukkan juga multi languange-nya. Dia minta agar bisa nulis huruf Mandarin di dalamnya. Sekali saya pernah dimaki-maki, karena koneksi internetnya nggak jalan. Sebenarnya bukan nggak jalan. Cuma nama shortcutnya saja yang saya ganti. Saya namai sembarang. Dia tidak tahu kalau nama shortcut itu tidak berpengaruh pada fungsi konektifitasnya.

            Cerita berlalu, hingga Mr. Jie An menjadi salah satu langganan toko. Setelah itu baru saya mengumpulkan cerita yang terlontar secara langsung maupun tidak langsung. Istrinya menjadi warga negara Singapura dan tinggal di sana. Anaknya berapa? Saya tidak tahu.

            Beberapa kali, di kemudian hari, dia datang ke toko untuk menjual beberapa perangkat elektroniknya. Antara lain printer multifungsi (bisa print, scan dan copy), handphone, dan modem. Yang sungguh mengejutkan adalah ketika dia kemudian datang ke toko dengan membawa seorang anak kecil. Saya sebut anak kecil, karena menurut perkiraan saya baru berumur belasan, mungkin masih duduk di SMP, kalau dia sekolah tentunya. Anak itu berjenis kelamin perempuan.

            “Hei, Bos besal, apa kabal?” setelah basa-basi panjang lebar, Mr. Jie An bercerita ke sana kemari. Mulai dari menyebutkan nama-nama klub malam di kawasan Mangga Dua, Mangga Besar dan sekitarnya.

            “Bos besal, you olang mau tidak sama dia?”
            “Tidak mahal...?”
            “Satu juta sajah...”
           
            Makjleb... Seperti tamparan palu godam ke depan cermin. Prak...! cermin itu kemudian hancur menjadi serpihan keping-keping yang tak mungkin dapat disatukan kembali. Oh, ini bukan cerita satu-satunya secara tidak sengaja bersingungan dengan saya. Tak jauh dari warung yang biasa saya makan, terutama jika saya pulang agak larut. Dan ketika sudah terlalu lapar. Dua atau tiga gadis bermata sipit yang tidak bisa cakap berbahasa Indonesia datang ke warung itu. Kadang makan dengan sayur dan telur. Kadang malah masak mie rebus sendiri. Dengan membuang minyak bumbunya. Kupikir mereka vegetarian. Karena setahuku ada dua jenis vegetarian dalam ajaran Budhis. Ada yang boleh makan telur tapi tidak boleh makan bawang, atau tidak boleh kedua-duannya.

            “Sinten, Bu?” (Siapa, Bu)
            “Biasa, Mas? Yang tinggal di situ.” Ucap sang pemilik warung sambil menunjukkan kos-kosan di belakang hotel. Tampaknya bukan hanya komputer, bawang, kedelai yang harus diimpor. Untuk urusan yang satu itupun negeri ini masih impor juga. Meski hal semacam ini sudah menjadi cerita lama. Namun, aku baru sempat menuliskannya hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates