“Kapan naik lagi?”
“Engg... belum tahu” Jawab saya
sambil nyengir.
Entahlah, akhir-akhir ini saya “mati
suri” kalau diajak naik gunung. Saya seperti kehilangan “ghiroh,” Cieee... Itu bahasanya Mas Ikwan dan Mbak Akhwat di forum
sebelah. “Aras-arasen” kalau bahasa
Jermannya (Jejeran Manahan= baca dekat Manahan). Tidak seperti beberapa tahun
yang lalu. Ngotot, nyari sela di hari libur. Pendakian terakhir saya seperti
menyesap tebu yang telah habis sari manisnya. Hampa. Cuma begitu saja. Tidak
ada kesan mendalam. Mungkin juga karena faktor usia yang sudah menua. Soalnya
beberapa kawan sudah ada yang memanggil dengan sapaan “Kakek.” Hehe...
Terserah, enjoy saja. Mau manggil apa saja silakan nggak perlu takut. Panggil
sendal jepit juga nggak apa-apa. :D
Mungkin perjalanan saya tentang
gunung cukup sampai di situ. Ada “perjalanan lain” yang sudah dua tahun ini
saya hentikan. Mungkin saatnya memulai hal yang baru. Bagaimanapun gunung telah
mengajarkan saya begitu banyak hal. Satu di antaranya adalah menyadari
kesunyian. Sebab berapa kali dalam sehari, dunia saya itu telah riuh dengan
cercaan, candaan dan makian. Dalam kesunyian saya menemukan diri saya sendiri.
Entah itu benar atau salah menurut anda. Saya menemukan kedamaian di gunung.
Just for your information, sampai saat ini rasa yang dinamakan “khusyuk” itu cuma bisa saya alami pas
di gunung. Selebihnya pasti cuma saya buat-buat.
“Bro! tiket masuk ke Semeru sekarang
tujuh puluh ribu?”
“Ah, yang bener?”
“Iya! Ini Gue dapet bbm dari temen di
Malang”
Hufft... Satu hal yang dulu membuat
saya tertarik ke gunung adalah di sana saya dapat “melarikan diri.” Lari dari
dunia yang melulu dihadapkan pada angka dan harga. Buku dan film adalah media
ampuh untuk menyebarkan sebuah impian. Tidak dipungkiri pengaruh tontonan yang
menjadi tuntunan adalah sebuah budaya yang sedikit banyak tidak “sreg” dengan
saya. Dalam artian yang negatif tentunya. Banyak juga tontonan yang menjadi
tuntunan yang baik. Kini rasa-rasanya naik gunung sudah bukan hal yang
“mengasyikkan lagi” terlebih dengan membawa banyak orang.
Ya, saya memang sebenarnya egois.
Hehe... lebih tepatnya soliter. Kini beberapa gunung sudah menjadi industri.
Sama dengan budaya oportunis yang akhirnya masuk ke dunia penduduk sekitar.
Salah satunya adalah trasnportasi menuju titik awal pendakian. Beberapa
“penduduk batas,” saya menyebutnya demikian. Menjadi semacam tukang palak
musiman. Menawarkan biaya antar dengan harga yang tidak pantas. Aji mumpung.
Mumpung musim pendakian, mari kita keruk uang sebanyaknya.
Kalau bahasa Jawanya mungkin saya
sedang berada pada titik saturasi. Titik jenuh. Dulu saya pernah berucap kalau
bulan madu akan ke Semeru lagi. Ah, tampaknya niat itu saya urungkan sejak
dini. Mesti nyari destinasi lain yang lebih layak untuk dikunjungi.
Juga saya sering senyum-senyum
sendiri. Melihat para pendaki yang sok jago. Ngomong pernah ke sini. Pernah
naik gunung ini selama beberapa jam saja. Duh! Kerenlah pokoknya. Saya jadi
teringat omongan guru saya dulu. Seorang yang baru belajar beladiri. Kalau pas
diajari tendangan. Maka di mana saja dia akan reflek menggunakan kakinya untuk
menendang apa saja. Tong sampah, daun pintu, tembok mesjid, juga dinding kamar.
“Jadi... Kapan kita naik?” Tanya
seorang kawan dekat saya.
“Ssst... jangan bilang siapa-siapa.
Kita diam-diam saja. Males nanti banyak yang ikut.”
“Ya sudah, nanti kita naik berdua
saja.”
“Oke... bisa di atur.”
“Sip...”
“Sssst... Ingat, Jangan bilang
siapa-siapa, yak?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar