Social Icons

Halaman

21 Mei 2016

Melarung Kenangan


Gerbang SMPN 1 Kebakkramat. (Foto lama. Arsip Kemendikbud)















 
Dalam beberapa hari saya seperti ditarik ke lorong masa lalu. Tiba-tiba saja, sepanjang perjalanan dari tempat kerja menuju rumah. Di atas roda dua. Di antara deru mesin, bising knalpot bersautan dengan klason. Menyelinap rerimbun kemacetan Jakarta. Menyelip kiri dan kanan di antara mobil-mobil yang terjebak. Saya teringat dua nama. Dua nama yang terus menerbangkan, melindapkan pikiran pada pertanyaan-pertanyaan substansial tentang makna hidup. Juga tentang pertanyaan sederhana tentang makna kebahagiaan dan kematian.

Satu di antara dua nama itu adalah Agung Wibowo. Sahabat kecil saya. Rumahnya tak jauh dari rumah saya. Butuh sekitar lima menit berjalan kaki. Tinggi badan, perawakan kami hampir sama. Yang membedakan kami ada dua. Pertama status sosial keluarga. Kedua warna kulit. Tentu tak harus kusebutkan siapa yang sawo matang, dan siapa yang sawo busuk. Haha... Meski dari keluarga yang berbeda kelas ekonomi kami sering menghabiskan waktu bermain bersama. Tentu saja bukan bermain playstation atau memburu bus telolet dengan gadget. Dunia kami dulu jauh lebih primitif dari itu. Lebih mengasikkan.  

Saya tumbuh di era 90-an. Saya dan Agung menghabiskan sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. Kami biasa pergi sekolah bersama-sama. Rumah Agung yang terletak di pinggir jalan dijadikan semacam basecamp bersama. Saya, Wahyu, Edi, Eko juga sederetan nama yang searah biasa berangkat sekolah bareng. Ada kedekatan emosional di antara kami. Mungkin karena masa kanak-kanak memang dunia yang polos. Perihal perbedaan kelas tak begitu kami pedulikan.

Dulu kami sering mengumpulkan barang bekas, berupa besi tua, plastik sisa peralatan rumah tangga, kardus, buku bekas, apa saja yang sekiranya diterima tukang loak. Di desa kami, tiap rumah memiliki tempat pembuangan sampah sendiri-sendiri. Kami menyebutnya pawang (baca= tempat sampah). Berupa tanah yang dikeruk sedalam satu meter atau lebih. Berbentuk persegi. Tak melulu kubangan tanah. Pawang bisa berwujud satu tempat khusus di belakang rumah yang sengaja digunakan untuk membuang limbah rumah tangga. Pawang adalah pulau harta karun bagi kami. Sampah-sampah di pawang, yang berupa daun-daun kering, sampah plastik biasanya dibakar pagi atau sore hari jika sudah penuh. Besi tua, plastik-plastik limbah rumah tangga yang sering disebut atom yang terkumpul kami tukarkan di tukang loak keliling. Ditukar dengan kelereng, layangan, kelomang, burung emprit (pipit), atau burung manyar (burung yang punya habitat di pucuk-pucuk pohon bambu, sarangnya terbuat dari daun kelapa yang dianyam dengan paruh dan kakinya. Bulu dan paruhnya berwarna coklat kekuningan).

Membeli mainan semisal yang saya sebutkan di atas tentu hal mudah bagi Agung. Tapi hal itu tidak dilakukan ibunya. Beliau membiarkan kami melakukan apa saja selama masih dalam batas kewajaran. Jarak persahabatan kami merenggang ketika kami menginjak dewasa. Tepatnya saya sendiri yang sedikit demi sedikit mundur secara teratur. Benih inferior tumbuh dalam diri saya. Karena jarak sekolah SMP kami lumayan jauh, Agung memutuskan untuk naik kendaraan umum. Saya masih setia dengan sepeda.

Waktu berlari meninggalkan jejak-jejak kenangan. Persahabatan kami bertambah jarak ketika tubuh kami meninggi. Setelah lulus dari SMK saya bekerja di Bandung, Agung melanjutkan kuliah.  Sesekali saya bertemu saat saya pulang kampung. Kadang hanya sepintas. Saya sedang bersepeda, Agung sedang berkumpul dengan teman-temann di depan rumahnya.

****

Foto ilustrasi (Ini foto Kapal Costa-Concordia waktu tenggelam)

















Kabar duka itu memecah kesunyian. Beberapa bulan setelah saya bekerja di Bandung. Tepatnya tanggal 30 Desember 2006 sebuah kecelakaan akibat cuaca buruk, menenggelamkan kapal laut KM Senopati Nusantara. Kapal dengan tujuan transportasi dari pulau Mandalika di perairan pulau Karimunjawa, Jepara menuju pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.  Agung ada di sana menjadi bagian dari daftar nama korban yang ikut tenggelam. Total korban yang tercatat 628 orang. Korban yang mampu diselamatkan Tim SAR sejumlah 128 orang. Menurut cerita yang saya dengar, Agung berkunjung ke rumah mertuanya mengambil uang untuk modal usaha. Jumlahnya tepatnya saya lupa. Lamur dalam ingatan. Seingat saya uang itu puluhan juta dalam bentuk uang tunai. Sampai saat terakhir evakuasi, mayat Agung tidak pernah ditemukan.

Mimpi-mimpi itu memenggal tidur saya. Kadang saya terbangun dengan senyum, kadang tanpa saya sadari air mata sudah meleleh di pipi. Saya sering bermimpi bertemu dengan almarhum. Betapa saya masih ingat mimpi-mimpi itu satu persatu. Kedekatan emosional waktu kecil inilah yang mendekatkan sekaligus menjauhkan saya dengan keluarga Agung sekarang. Pernah suatu ketika saya pulang kampung. Ibunya yang sedang menyapu halaman berlari menuju rumah. Di kamar beliau menangis tersedu-sedu. Beliau ingat bahwa saya adalah teman sepermainan Agung. Seandainya masih hidup tentu tinggi badan kami tak jauh berbeda. (cerita ini baru saya ketahui beberapa tahun kemudian setelah kejadian. Diceritakan tetangga saya yang merupakan jamaah di mushola keluarga orang tua almarhum). Ada kalanya saya ingin ngobrol dengan beliau, tapi perasaan sebagai seorang yang kehilangan mencegah saya untuk melakukan hal itu.

****

Cinta menyeret kekasih ke dalam lembah kerinduan. Seperti sebuah keajaiban. Beberapa jam setelah saya memikirkan Agung tiba-tiba HP saya berdering. Sebuah pesan berantai muncul. Bersaut-sautan. Ternyata seseorang yang tak saya ketahui nomernya telah memasukkan saya ke dalam grup WhatsApp. Grup Alumni SMP Kebakkramat 1 angkatan 99. Itulah sebabnya di postingan pertama saya mengumpat dalam bahasa Jawa dengan menggunakan kata “Asem” disambung kalimat di belakangnya. Sekali lagi kata makian itu tak melulu bentuk ekspresi umpatan. Penggunaanya akan berubah makna sesuai dengan kaidah pengucapan, intonasi, ruang dan suasana.

Ini grup “gila” yang pernah saya ikuti. Chattingnya 24 jam penuh. Bicara apa saja. Menertawai kenakalan-kenakalan kecil waktu remaja, cinta monyet, guru, kabar terupdate (sudah punya anak berapa, tinggal dan bekerja di mana, dst). Ya, meski disadari bahwa tidak semua orang sebahagia saya ketika masuk di grup itu. Satu dua orang yang “imannya” nggak kuat akhirnya memutuskan untuk hijrah ke tanah yang dijanjikan. Hehe... Mungkin sibuk, butuh privasi, merasa terganggu dengan kicauan di grup, atau bisa jadi lagi puasa. Puasa kuota maksud saya. :D

Kurang lebih selama 12 jam saya sengaja tidak membuka history obrolan. 789 pesan. Gila kan?



Di grup mana saja rasanya nggak asik kalau nggak merisak (membully) Jomblo. Seolah-olah para perisak itu tak sadar. Salah satu tujuan utama menikah adalah melestarikan spesies jomblo. Yakinlah karena tak ada manusia yang melahirkan anaknya dalam bentuk berpasangan. Tak ada ibu yang melahirkan sepasang kekasih. Ingatlah itu wahai kaum jomblo. Ingat itu ya, Ton. Iya... Kamu. Anton Prasetya. Tenang saja Ton, Doa orang teraniaya biasanya dikabulkan. Doakan saja mereka yang merisakmu banyak rejekinya, dan istrinya nambah, nambah tapi gualaknya minta ampun.  (“modyar ora kon!” ini kalau bentuk ekspresi orang Jawa Timur).  

Kembali ingatan saya seolah ditumpahkan dari waktu lampau. Teringat saya waktu Narto “Bothox’s” sengaja menulis di papan tulis, beberapa menit sebelum pelajaran dimulai “Narto love Tamara.” (Tamara yang dimaksud adalah Tamara Blesinzky) Kemudian dengan tersenyum, tersipu malu maju menghapus tulisan itu ketika Pak Guru sudah masuk kelas, sambil berucap, “Siapa sih yang nulis ini. Kurang kerjaan banget.” Teringat Henca yang ngefans berat Slank. Membawa gitar, stik drum karena terobsesi dengan Bimbim. Selampai berwarna biru yang sering diikatkan di kepala sambil mengacungkan jari membentuk huruf “V” “Piss men. Damai kita. Kita generasi biru” (Inget nggak lho, Ca?). Syaiful membawa celana dalam kuning. Waktu itu marak kampanye Golkar. Suyamto “Mbeluk” yang karena bolosnya kebanyakan, membuang daftar absensi, yang tak sengaja waktu itu saya temukan di lapangan saat pelajaran olah raga. Sama Endi saya diberi pesan, “Buang saja, dari pada nanti runyam masalahnya.” Hehe... waktu itu saya juga masuk dalam jaringan kriminal itu. Linawati yang keheranan ketika saya masih ingat dia membacakan puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku.” Di saat yang sama waktu itu Angkoso membacakan puisi berjudul, “Laut” dengan gaya deklamasi yang lucu. Meliuk-liukkan tangan dan kedua tumitnya yang tidak bisa diam sehingga sepatunya berdecit.


Thanks to Henca Inhaga atas koleksi fotonya.


Ah, tentu masing-masing kepala bahagia dengan ceritanya. Kenangan yang tak mungkin lapuk dimakan zaman tentu Sang Guru legendaris. Guru Matematika. Pak Suyono. (Saya pernah jadi korban jari Dewa beliau sewaktu pelajaran Geometri. “Utara ki nol, Mas.” Tentu saja sambil noyor-noyor pilingan kepala dengan jari telunjuk ajaibnya). Nggak ada HAM-HAM-an seperti sekarang. Buktinya saya bahagia diajar beliau. Nilai matematika saya memuaskan.

Saya ingat sebuah kata-kata bijak dalam film Spongebob. Tak ada kisah pahit. Semua akan indah pada akhirnya. Jika tidak indah, itu belum akhir dari sebuah perjalanan. Perihal kenangan, kematian dan tempat kembali setelah itu. Saya sendiri berharap kerinduan yang sama ketika akhirnya bertemu dan dikumpulkan kembali di kampung Surga. Sambil kembali bercanda, bercerita tentang kenakalan-kenakalan semasa hidup. Semoga yang hidup dan yang sudah mendahului kepangkuan Tuhan, kembali berkumpul dengan jiwa-jiwa yang tenang. Anggap saja cerita kenakalan, aib, dosa masa lalu sebagai bagian dari warna kehidupan. Yang bersangkutan tinggal menulikan telinga dan tertawa bersama. Saat nanti. Saat dipertemukan kembali. Mari kita sucikan masa lalu dengan melarungkannya dalam lautan maaf dan kemakluman.Akhir kata, meminjam kalimat Henca, "Piss Men. Kita generasi biru."



1 komentar:

 
 
Blogger Templates