Gerbang SMPN 1 Kebakkramat. (Foto lama. Arsip Kemendikbud) |
Dalam beberapa hari saya seperti ditarik ke lorong masa lalu. Tiba-tiba saja, sepanjang perjalanan dari tempat kerja menuju rumah. Di atas roda dua. Di antara deru mesin, bising knalpot bersautan dengan klason. Menyelinap rerimbun kemacetan Jakarta. Menyelip kiri dan kanan di antara mobil-mobil yang terjebak. Saya teringat dua nama. Dua nama yang terus menerbangkan, melindapkan pikiran pada pertanyaan-pertanyaan substansial tentang makna hidup. Juga tentang pertanyaan sederhana tentang makna kebahagiaan dan kematian.
Satu di antara dua nama itu adalah
Agung Wibowo. Sahabat kecil saya. Rumahnya tak jauh dari rumah saya. Butuh sekitar
lima menit berjalan kaki. Tinggi badan, perawakan kami hampir sama. Yang
membedakan kami ada dua. Pertama status sosial keluarga. Kedua warna kulit.
Tentu tak harus kusebutkan siapa yang sawo matang, dan siapa yang sawo busuk.
Haha... Meski dari keluarga yang berbeda kelas ekonomi kami sering menghabiskan
waktu bermain bersama. Tentu saja bukan bermain playstation atau memburu bus telolet dengan gadget. Dunia kami dulu jauh lebih primitif dari itu. Lebih
mengasikkan.
Saya tumbuh di era 90-an. Saya dan
Agung menghabiskan sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. Kami
biasa pergi sekolah bersama-sama. Rumah Agung yang terletak di pinggir jalan
dijadikan semacam basecamp bersama.
Saya, Wahyu, Edi, Eko juga sederetan nama yang searah biasa berangkat sekolah
bareng. Ada kedekatan emosional di antara kami. Mungkin karena masa kanak-kanak
memang dunia yang polos. Perihal perbedaan kelas tak begitu kami pedulikan.
Dulu kami sering mengumpulkan barang
bekas, berupa besi tua, plastik sisa peralatan rumah tangga, kardus, buku
bekas, apa saja yang sekiranya diterima tukang loak. Di desa kami, tiap rumah
memiliki tempat pembuangan sampah sendiri-sendiri. Kami menyebutnya pawang (baca= tempat sampah). Berupa
tanah yang dikeruk sedalam satu meter atau lebih. Berbentuk persegi. Tak melulu
kubangan tanah. Pawang bisa berwujud
satu tempat khusus di belakang rumah yang sengaja digunakan untuk membuang
limbah rumah tangga. Pawang adalah
pulau harta karun bagi kami. Sampah-sampah di pawang, yang berupa daun-daun kering, sampah plastik biasanya
dibakar pagi atau sore hari jika sudah penuh. Besi tua, plastik-plastik limbah
rumah tangga yang sering disebut atom yang terkumpul kami tukarkan di tukang
loak keliling. Ditukar dengan kelereng, layangan, kelomang, burung emprit
(pipit), atau burung manyar (burung yang punya habitat di pucuk-pucuk pohon
bambu, sarangnya terbuat dari daun kelapa yang dianyam dengan paruh dan
kakinya. Bulu dan paruhnya berwarna coklat kekuningan).
Membeli mainan semisal yang saya
sebutkan di atas tentu hal mudah bagi Agung. Tapi hal itu tidak dilakukan
ibunya. Beliau membiarkan kami melakukan apa saja selama masih dalam batas
kewajaran. Jarak persahabatan kami merenggang ketika kami menginjak dewasa.
Tepatnya saya sendiri yang sedikit demi sedikit mundur secara teratur. Benih inferior tumbuh dalam diri saya. Karena
jarak sekolah SMP kami lumayan jauh, Agung memutuskan untuk naik kendaraan
umum. Saya masih setia dengan sepeda.
Waktu berlari meninggalkan
jejak-jejak kenangan. Persahabatan kami bertambah jarak ketika tubuh kami
meninggi. Setelah lulus dari SMK saya bekerja di Bandung, Agung melanjutkan
kuliah. Sesekali saya bertemu saat saya
pulang kampung. Kadang hanya sepintas. Saya sedang bersepeda, Agung sedang berkumpul
dengan teman-temann di depan rumahnya.
****
Foto ilustrasi (Ini foto Kapal Costa-Concordia waktu tenggelam) |
Kabar duka itu memecah kesunyian.
Beberapa bulan setelah saya bekerja di Bandung. Tepatnya tanggal 30 Desember
2006 sebuah kecelakaan akibat cuaca buruk, menenggelamkan kapal laut KM Senopati
Nusantara. Kapal dengan tujuan transportasi dari pulau Mandalika di perairan pulau
Karimunjawa, Jepara menuju pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Agung ada di sana menjadi bagian dari daftar
nama korban yang ikut tenggelam. Total korban yang tercatat 628 orang. Korban
yang mampu diselamatkan Tim SAR sejumlah 128 orang. Menurut cerita yang saya
dengar, Agung berkunjung ke rumah mertuanya mengambil uang untuk modal usaha.
Jumlahnya tepatnya saya lupa. Lamur dalam ingatan. Seingat saya uang itu
puluhan juta dalam bentuk uang tunai. Sampai saat terakhir evakuasi, mayat
Agung tidak pernah ditemukan.
Mimpi-mimpi itu memenggal tidur saya.
Kadang saya terbangun dengan senyum, kadang tanpa saya sadari air mata sudah
meleleh di pipi. Saya sering bermimpi bertemu dengan almarhum. Betapa saya
masih ingat mimpi-mimpi itu satu persatu. Kedekatan emosional waktu kecil
inilah yang mendekatkan sekaligus menjauhkan saya dengan keluarga Agung
sekarang. Pernah suatu ketika saya pulang kampung. Ibunya yang sedang menyapu
halaman berlari menuju rumah. Di kamar beliau menangis tersedu-sedu. Beliau
ingat bahwa saya adalah teman sepermainan Agung. Seandainya masih hidup tentu
tinggi badan kami tak jauh berbeda. (cerita ini baru saya ketahui beberapa
tahun kemudian setelah kejadian. Diceritakan tetangga saya yang merupakan
jamaah di mushola keluarga orang tua almarhum). Ada kalanya saya ingin ngobrol
dengan beliau, tapi perasaan sebagai seorang yang kehilangan mencegah saya
untuk melakukan hal itu.
****
Cinta menyeret kekasih ke dalam lembah
kerinduan. Seperti sebuah keajaiban. Beberapa jam setelah saya memikirkan Agung
tiba-tiba HP saya berdering. Sebuah pesan berantai muncul. Bersaut-sautan.
Ternyata seseorang yang tak saya ketahui nomernya telah memasukkan saya ke
dalam grup WhatsApp. Grup Alumni SMP Kebakkramat 1 angkatan 99. Itulah sebabnya
di postingan pertama saya mengumpat dalam bahasa Jawa dengan menggunakan kata
“Asem” disambung kalimat di belakangnya. Sekali lagi kata makian itu tak melulu
bentuk ekspresi umpatan. Penggunaanya akan berubah makna sesuai dengan kaidah
pengucapan, intonasi, ruang dan suasana.
Ini grup “gila” yang pernah saya
ikuti. Chattingnya 24 jam penuh. Bicara apa saja. Menertawai
kenakalan-kenakalan kecil waktu remaja, cinta monyet, guru, kabar terupdate (sudah punya anak berapa,
tinggal dan bekerja di mana, dst). Ya, meski disadari bahwa tidak semua orang
sebahagia saya ketika masuk di grup itu. Satu dua orang yang “imannya” nggak
kuat akhirnya memutuskan untuk hijrah ke tanah yang dijanjikan. Hehe... Mungkin
sibuk, butuh privasi, merasa terganggu dengan kicauan di grup, atau bisa jadi
lagi puasa. Puasa kuota maksud saya. :D
Kurang lebih selama 12 jam saya sengaja tidak membuka history obrolan. 789 pesan. Gila kan? |
Di grup mana saja rasanya nggak asik
kalau nggak merisak (membully)
Jomblo. Seolah-olah para perisak itu
tak sadar. Salah satu tujuan utama menikah adalah melestarikan spesies jomblo.
Yakinlah karena tak ada manusia yang melahirkan anaknya dalam bentuk
berpasangan. Tak ada ibu yang melahirkan sepasang kekasih. Ingatlah itu wahai
kaum jomblo. Ingat itu ya, Ton. Iya... Kamu. Anton Prasetya. Tenang saja Ton,
Doa orang teraniaya biasanya dikabulkan. Doakan saja mereka yang merisakmu
banyak rejekinya, dan istrinya nambah, nambah tapi gualaknya minta ampun. (“modyar ora kon!” ini kalau bentuk ekspresi
orang Jawa Timur).
Kembali ingatan saya seolah ditumpahkan
dari waktu lampau. Teringat saya waktu Narto “Bothox’s” sengaja menulis di
papan tulis, beberapa menit sebelum pelajaran dimulai “Narto love Tamara.” (Tamara
yang dimaksud adalah Tamara Blesinzky) Kemudian dengan tersenyum, tersipu malu
maju menghapus tulisan itu ketika Pak Guru sudah masuk kelas, sambil berucap,
“Siapa sih yang nulis ini. Kurang kerjaan banget.” Teringat Henca yang ngefans berat Slank. Membawa gitar, stik
drum karena terobsesi dengan Bimbim. Selampai berwarna biru yang sering diikatkan
di kepala sambil mengacungkan jari membentuk huruf “V” “Piss men. Damai kita.
Kita generasi biru” (Inget nggak lho, Ca?). Syaiful membawa celana dalam kuning.
Waktu itu marak kampanye Golkar. Suyamto “Mbeluk” yang karena bolosnya
kebanyakan, membuang daftar absensi, yang tak sengaja waktu itu saya temukan di
lapangan saat pelajaran olah raga. Sama Endi saya diberi pesan, “Buang saja,
dari pada nanti runyam masalahnya.” Hehe... waktu itu saya juga masuk dalam
jaringan kriminal itu. Linawati yang keheranan ketika saya masih ingat dia
membacakan puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku.” Di saat yang sama waktu itu
Angkoso membacakan puisi berjudul, “Laut” dengan gaya deklamasi yang lucu.
Meliuk-liukkan tangan dan kedua tumitnya yang tidak bisa diam sehingga
sepatunya berdecit.
Thanks to Henca Inhaga atas koleksi fotonya. |
Ah, tentu masing-masing kepala bahagia dengan
ceritanya. Kenangan yang tak mungkin lapuk dimakan zaman tentu Sang Guru
legendaris. Guru Matematika. Pak Suyono. (Saya pernah jadi korban jari Dewa
beliau sewaktu pelajaran Geometri. “Utara ki nol, Mas.” Tentu saja sambil
noyor-noyor pilingan kepala dengan
jari telunjuk ajaibnya). Nggak ada HAM-HAM-an seperti sekarang. Buktinya saya
bahagia diajar beliau. Nilai matematika saya memuaskan.
Saya ingat sebuah kata-kata bijak
dalam film Spongebob. Tak ada kisah pahit. Semua akan indah pada akhirnya. Jika
tidak indah, itu belum akhir dari sebuah perjalanan. Perihal kenangan, kematian
dan tempat kembali setelah itu. Saya sendiri berharap kerinduan yang sama
ketika akhirnya bertemu dan dikumpulkan kembali di kampung Surga. Sambil
kembali bercanda, bercerita tentang kenakalan-kenakalan semasa hidup. Semoga
yang hidup dan yang sudah mendahului kepangkuan Tuhan, kembali berkumpul dengan
jiwa-jiwa yang tenang. Anggap saja cerita kenakalan, aib, dosa masa lalu sebagai bagian dari warna kehidupan. Yang bersangkutan tinggal menulikan telinga dan tertawa bersama. Saat nanti. Saat dipertemukan kembali. Mari kita sucikan masa lalu dengan melarungkannya dalam lautan maaf dan kemakluman.Akhir kata, meminjam kalimat Henca, "Piss Men. Kita generasi biru."
Superr sekali mas agus ...
BalasHapus