Butuh lebih dari tiga puluh tahun. Perasaan itu menyembul lagi. Berlangsung selama hampir sebulan terakhir. Saat itu aku dan mantan pacarku sedang berbelanja keperluan bulanan. Awalnya aku hanya melihat sekelebat saja. Melewati koridor berderet buah serta bumbu dapur.
“Mau nggak?”
“Em... Nanti aja deh.” Sahutku
Keputusan itu akhirnya datang
setelah tergoda lusinan box es krim.
“Ayo, beli. Pengen nyobain.”
Aku dan istriku memutar
belanjaan. Aroma durian, tahu gejrot, ubi Cilembu bakar silih berganti
menguntit hidung.
“Yah, Habis kan. Tadi aja
ditawarin nggak mau?”
Aku hanya bisa tersenyum membela
diri. “Nggak papa, bulan depan kita kemari lagi.”
Untuk mengobati rasa penasaran
itu, aku membuka lemari pembeku daging. Ada ikan Salmon, Tenggiri, juga
potongan daging ikan laut, dipotong dan dikemas rapi dalam plastik kedap udara.
Aku dan istriku sempat berdebat tentang harga binatang laut itu jika dalam
keadaan utuh. Kalau tidak salah tertera dua puluh lima ribuan. Atau entahlah,
aku lupa angka pas-nya. Yang kuingat dibawah seratus ribu. Menurutku label
harga yang tertera itu salah. Mengingat satu tusuk saja harganya lima ribuan.
****
Hari ini adalah hari yang
dijanjikan itu. Melewati rentang waktu bulan mengecil dan menggembung di
langit. Kami hanya membeli tiga tusuk. Hanya sekedar menuntaskan penasaran. Sebenarnya
aku juga sedikit khawatir, jik tiba-tiba istriku muntah di depan umum karena
mencoba memakan daging yang terlihat berlendir dan sedikit menjijikkan itu.
Iya, aku penasaran dengan daging Octopus. Daging Gurita. Aku menjumpai salah
satu booth, Pusat Perbelanjaan yang menawarkan sate daging Gurita. Satu tusuknya
seharga lima ribu sembilan ratus rupiah.
Hatiku serasa berlumur madu.
Halah... Ya, seperti itu. Sedikit berdebar ketika akhirnya potongan pertama
masuk ke dalam mulut. Bertemu ujung lidah, beradu kuat dengan gigi geraham. Rasanya
kenyal, teksturnya mirip dengan daging Cumi, cuma agak berserat. Entah itu
memang ciri khas Gurita atau karena aku meminta agar digoreng kering. (rasa
dagingnya punya sedikit kemiripan dengan daging Bekicot. Haha... Aku pernah
makan Bekicot karena waktu itu Bapakku sakit, dan kata tetangga bisa sembuh
dengan memakan daging Bekicot. Aku kumpulkan Bekicot yang banyak menempel di
batang pisang, aku rebus, lalu kupisahkan daging yang menempel di “kaki”nya,
kemudian aku goreng. :D. Ya, aku cicipin dulu sebelum kukasih Bapakku. Simbokku
saja ogah masak Bekicot, jadi aku yang turun tangan).
Aku dan istriku beradu pandang. Tertawa
menyadari kekonyolan kami berdua. Seperti anak kecil yang pertama kali memakan
buah Plum.
“Demi kepernahan.”
“Kayak gitu ya ternyata rasanya.”
“Heheh... Iya, enakan Gurita atau
Kepiting?”
“Ya Kepitinglah.”
“Ah, menurutku enakan Jengkol.”
Sahutku sambil menenteng belanjaan, menuruni tangga berjalan.
Jadi ceritanya begitu saja. Demi
mengobati rasa penasaran seperti apa daging Gurita. Hewan yang dalam ingatan
masa kecilku sebagai hewan paling berbahaya di dalam laut. Di atas roda kami
melewati muda-mudi yang duduk berdekatan. Di atas jembatan cinta Buaran.
Entahlah, apa yang dinikmati para muda-mudi itu. atau aku yang terlalu tua
untuk memahami rasa seperti itu.
“Eh, ngomong-ngomong itu tadi
halal apa enggak?”
Jlekkk...! tenggorokanku
tercekat.
“Ah, sudahlah, anggap saja
binatang laut halal.” Sahutku membela diri.
Sate daging Gurita. Spiderman mah lewat, lawan Dr Octopus. | Disini cuma di sate doang. :D |
Berbahagialah dengan istri yang nggak minta jajan mahal-mahal. Hahahah... |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar