Apa
tolok ukur seseorang dikatakan “ahli”?
apakah ketika seorang dokter lulusan terbaik, dan telah membuktikan
kepiawaiannya dalam menangani pasien? Seorang pialang yang pandai menaksir
perubahan nilai saham. Atau seseorang yang telah bekerja dibidangnya
masing-masing lebih dari lima atau sepuluh tahun?
Hari
ini saya terpekur menatap papan induk (Mainboard),
Memori, Processor dan Power supply.
Hampir sepuluh tahun saya menggeluti dunia yang sama. Dunia yang saya sendiri
tidak yakin akan memahaminya. Hanya sekedar meyakin-yakinkan diri, bahwa saya
tahu. Padahal sampai saat ini saya benar-benar tidak mengetahui apa pun.
Sedikit pun.
Dulu
di bangku sekolahan saya diajari bilangan biner, teori-teori resistansi,
praktek tentang bagaimana mengubah arus AC menjadi arus searah. Merangkai “brigde
dioda,” amplifier dan berpuluh-puluh teori yang dijejalkan oleh guru-guru saya.
Merakit,
install, trouble shooting. Begitu ritme kerja saya hampir selama sepuluh tahun
ini. Hingga pada satu titik, Kok ternyata dunia saya cuma itu-itu saja. Kalau komputer
begini rusaknya ini. Kalau layar gelap, sedang ada bunyi beep panjang berarti
memorinya yang rusak, terus begitu seterusnya dan seterusnya. Seolah-olah saya
tahu segalanya tentang komputer.
Dunia
apakah yang bisa kita tentukan hasil akhirnya. Mutlak. 100 persen. Saya sendiri
kadang bingung harus menjawab apa. Ketika tiba-tiba ada seorang pelanggan baru,
datang membeli seperangkat komputer baru. Dia kemudian bertanya, “Mas,
kira-kira komputer ini kuat sampai berapa lama ya?”
Hampir
satu jam. Saya mengerjakan trouble shooting. Seorang pelanggan membawa satu
unit komputer tanpa casing dan hard disk.
“Mas, tolong dicek. Rusaknya apa,
nanti ganti saja.”
Pengalaman saya yang namanya
prosessor itu kemungkinan rusaknya ya mati. Tidak ada yang rusaknya aneh-aneh. Dan
baru kali ini saya “kena batunya.” Saya ganti sampai tiga mainboard, dua
memori, dan power suply. Nggak berhasil.
Saya coba prosessornya di mainboard
merk “X” nyala. Tapi, giliran saya pasang di mainboard yang lain mati. Padahal
mainboard itu statusnya OK. Vonis terakhir saya jatuhkan pada prosessornya.
#####
Seorang Kiai besar di Pati, yang
terkenal karena mustajabnya do’a beliau. Banyak orang jajaran atas negeri ini
datang ke sana, dengan berbagai urusannya. Tetangga kampung sekitar juga sama.
Mengadukan segala persoalan dari mulai persoalan rumah tangga, pekerjaan,
hingga tata cara penghitungan harta warisan.
Tapi, Kiai tersebut hanya menerima beberapa
gelintir orang saja sebagai santri. Suatu hari, setelah berhasil menempuh
azzamnya mengelilingi pulau Jawa dengan berjalan kaki, sang santri bertanya
kepada gurunya tersebut.
“Mbah, Yai... Apakah Mbah Yai merasa
bangga dengan semua solusi yang berhasil Mbah Yai berikan.”
“Maksudmu apa, Le?”
“Apakah Mbah Yai, Bangga jika Mbah
Yai berhasil menyembuhkan seseorang? Atau setidaknya merasa bahwa berkat Mbah
Yai... ”
Sebelum selesai pertanyaan itu, Mbah
Yai sudah menjawab, seolah tahu kalimat selanjutnya.
“Aku ini hanya cangkir, Le.”
“Soal isi itu kan haknya ‘penuang’.”
####
Saya baru tersadar kembali cerita
itu. Santri yang berkeliling jawa itu menuturkan kejadian itu pada saya dua
tahun yang lalu. Ah, bodohnya saya. Terkadang saya merasa bahwa nilai-nilai
logika dan kerusakan dari komputer itu sudah saya kuasai sepenuhnya. Saya telah
jatuh dalam ranah atau wilayah “ketuhanan.”
Tanpa saya sadari. Bahwa, sedikit
banyak saya telah menyekutukan Tuhan dalam berbagai bentuk. Sok ini, sok itu.
Merasa bisa semuanya. Merasa paling anu.
Duh. Betapa Kiai yang sebesar itu
saja cuma mengutip puisi Rumi. Trus siapa dan apa saya ini, Gusti...
“Astagfirullahal’adziim....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar