Social Icons

Halaman

4 Jun 2013

Menuhankan Diri



            Apa tolok ukur seseorang dikatakan “ahli”?  apakah ketika seorang dokter lulusan terbaik, dan telah membuktikan kepiawaiannya dalam menangani pasien? Seorang pialang yang pandai menaksir perubahan nilai saham. Atau seseorang yang telah bekerja dibidangnya masing-masing lebih dari lima atau sepuluh tahun?
           
            Hari ini saya terpekur menatap papan induk (Mainboard), Memori, Processor dan Power supply. Hampir sepuluh tahun saya menggeluti dunia yang sama. Dunia yang saya sendiri tidak yakin akan memahaminya. Hanya sekedar meyakin-yakinkan diri, bahwa saya tahu. Padahal sampai saat ini saya benar-benar tidak mengetahui apa pun. Sedikit pun.

            Dulu di bangku sekolahan saya diajari bilangan biner, teori-teori resistansi, praktek tentang bagaimana mengubah arus AC menjadi arus searah. Merangkai “brigde dioda,” amplifier dan berpuluh-puluh teori yang dijejalkan oleh guru-guru saya.

            Merakit, install, trouble shooting. Begitu ritme kerja saya hampir selama sepuluh tahun ini. Hingga pada satu titik, Kok ternyata dunia saya cuma itu-itu saja. Kalau komputer begini rusaknya ini. Kalau layar gelap, sedang ada bunyi beep panjang berarti memorinya yang rusak, terus begitu seterusnya dan seterusnya. Seolah-olah saya tahu segalanya tentang komputer.
           
            Dunia apakah yang bisa kita tentukan hasil akhirnya. Mutlak. 100 persen. Saya sendiri kadang bingung harus menjawab apa. Ketika tiba-tiba ada seorang pelanggan baru, datang membeli seperangkat komputer baru. Dia kemudian bertanya, “Mas, kira-kira komputer ini kuat sampai berapa lama ya?”

            Hampir satu jam. Saya mengerjakan trouble shooting. Seorang pelanggan membawa satu unit komputer tanpa casing dan hard disk.
“Mas, tolong dicek. Rusaknya apa, nanti ganti saja.”

Pengalaman saya yang namanya prosessor itu kemungkinan rusaknya ya mati. Tidak ada yang rusaknya aneh-aneh. Dan baru kali ini saya “kena batunya.” Saya ganti sampai tiga mainboard, dua memori, dan power suply. Nggak berhasil.

Saya coba prosessornya di mainboard merk “X” nyala. Tapi, giliran saya pasang di mainboard yang lain mati. Padahal mainboard itu statusnya OK. Vonis terakhir saya jatuhkan pada prosessornya.

#####

Seorang Kiai besar di Pati, yang terkenal karena mustajabnya do’a beliau. Banyak orang jajaran atas negeri ini datang ke sana, dengan berbagai urusannya. Tetangga kampung sekitar juga sama. Mengadukan segala persoalan dari mulai persoalan rumah tangga, pekerjaan, hingga tata cara penghitungan harta warisan.
 Tapi, Kiai tersebut hanya menerima beberapa gelintir orang saja sebagai santri. Suatu hari, setelah berhasil menempuh azzamnya mengelilingi pulau Jawa dengan berjalan kaki, sang santri bertanya kepada gurunya tersebut.

“Mbah, Yai... Apakah Mbah Yai merasa bangga dengan semua solusi yang berhasil Mbah Yai berikan.”
“Maksudmu apa, Le?”
“Apakah Mbah Yai, Bangga jika Mbah Yai berhasil menyembuhkan seseorang? Atau setidaknya merasa bahwa berkat Mbah Yai... ”
Sebelum selesai pertanyaan itu, Mbah Yai sudah menjawab, seolah tahu kalimat selanjutnya.
“Aku ini hanya cangkir, Le.”
“Soal isi itu kan haknya ‘penuang’.”

####

Saya baru tersadar kembali cerita itu. Santri yang berkeliling jawa itu menuturkan kejadian itu pada saya dua tahun yang lalu. Ah, bodohnya saya. Terkadang saya merasa bahwa nilai-nilai logika dan kerusakan dari komputer itu sudah saya kuasai sepenuhnya. Saya telah jatuh dalam ranah atau wilayah “ketuhanan.”

Tanpa saya sadari. Bahwa, sedikit banyak saya telah menyekutukan Tuhan dalam berbagai bentuk. Sok ini, sok itu. Merasa bisa semuanya. Merasa paling anu.

Duh. Betapa Kiai yang sebesar itu saja cuma mengutip puisi Rumi. Trus siapa dan apa saya ini, Gusti...

“Astagfirullahal’adziim....”





           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates