Social Icons

Halaman

11 Jun 2013

Menjalani Takdir Sesaat



Sudah tiga hari ini tak secuil makanan masuk ke dalam perutnya. Rambut ikalnya tertutup caping yang dikenakannya. Sudah sepantasnya dia berterima kasih pada kran air masjid. Selama ini kran-kran itulah yang menyediakan takjil dan menu sahurnya.

"Jangan menolak pemberian. Tapi, jangan sekalipun kau permalukan dirimu dengan mengadahkan tangan."

Itu adalah peraturan tak tertulis. Peraturan yang harus dia patuhi selama perjalanan ke depan. entah berapa lama lagi semua akan berakhir. Rasa-rasanya dia ingin segera menyudahinya.

"Mas, mampir. Murah kok... "

Sepanjang seratus meter tadi, banyak sekali warung-warung berjajar. Pada jam segini seharusnya warung-warung pada umumnya sudah tutup. Ah, musyafir itu tentunya lelaki yang sangat lugu. Di kota ini kehidupan tentu berbeda dengan kehidupan di kampungnya. Di sini lah, pada jam segini, nafas kehidupan mulai berputar. Beradu cepat dengan buruan nafas yang tersengal-sengal. Asap rokok, aroma bir, dan selimut dosa berkumpul dan bergumul menjadi satu.

“Saya, nggak punya uang, Mbak... ”

Baru setelah mendengar ucapan itu, perempuan bergincu tebal itu menghentikan langkahnya. Musyafir itu bingung dengan truk-truk yang terparkir di kanan dan kiri warung. Gerangan makananan apakah yang tersaji di dalamnya. Ah, kiranya ada barang seribu atau dua ribu di dalam sakunya, tentu ia akan memberanikan diri. Meski sekedar mencicipi nasi putih saja.

Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur. Dengan tersaruk-saruk dia langkahkan kakinya. Setengah berlari, mendekati warung yang berdiri menyendiri.

“Numpang neduh, Mbak.”

Tak sepatah kata pun keluar dari mulut perempuan itu. Musyafir itu berdiri mematung. Tak berani duduk di bangku teras, atau bahkan masuk ke dalam warung.

"Masuklah, di luar hujan... "
"Mau makan apa?"
"Maaf, saya numpang neduh saja, Mbak."

Perempuan itu pergi ke belakang. Meninggalkan musyafir itu. Tak lama berselang. Perempuan itu kembali dengan sepiring nasi dan segelas air putih.

“Makanlah. Nggak usah bayar.”
“Terima kasih... ”

            Belum sampai suapan ketiga. Musyafir itu mendengar suara lenguhan. Suara lelaki dan perempuan. Sontak suara itu menghentikan sendokan makannya.

“Kenapa... ?”
“Kau malu. Makanan yang kuhidangkan adalah makanan haram.”
           
Seperti tertampar. Musyafir itu hanya tergugu. Bingung harus berlaku apa. Terbayang selama perjalanan ini dia telah begitu berhati-hati mengenai halal-haram yang masuk ke dalam perutnya.

“Orang-orang seperti kalian. Cuma maunya bergaul sama orang-orang bersorban. Berkumpul di masjid.”

            Darrr! Belum selesai tamparan satu. Kini, hatinya telah terisis sembilu. Ngilu sekali. Gerangan apa lagi yang akan KAU ajarkan pada hambaMu yang bodoh ini Tuhan. Ucap Musyafir dalam hati.
           
            Musyafir itu tak berani menatap wajah perempuan di hadapannya. Suara sengal itu masih saja memburu. Seolah tak peduli dengan teriakan perempuan itu. Sambil menundukkan muka, musyafir itu urung diri.
           
“Terima kasih, Mbak.”

            Sepanjang perjalanan. Di tengah rinai hujan yang tak kunjung reda, musyafir itu menangis. Menangisi kebodohannya. Menangisi ketidaktahuannya. Menangisi makna hidup. Menangisi bagaimana dia harus memposisikan diri.

#####

            Beberapa minggu kemudian dia dijamu seorang Habib. Di dalam pondok pesantrennya. Dia ceritakan ulang kejadian di atas. Dan rupanya Sang tuan rumah pernah mengalami kejadian yang sama. Pernah menjadi musyafir, dan mengalami cerita yang sama.

            Kedua mata itu saling bertatap. Tak lagi melanjutkan ceritanya. Musyafir itu hanya berkata dalam hati. Apakah Habib juga mendapat isyarat. Perempuan itu berkata, “Aku hanya menjalani takdirku, saat ini.”

            Sang Habib menganggukkan kepala. Dan melanjutkan makan.

###
Bukankah hanya sedikit rahasia Tuhan yang kita ketahui. Bukankah kita hanya makhluk kerdil yang berada di ruang gelap. Bahkan tak bisa melihat ujung jari kita sendiri di gelap malam. Tanpa cahaya.

Siapa kita? Apa kita? Hingga seolah-olah kita lah pemegang kebenaran. Kita lah yang benar dan orang lain yang salah. Bukankah sejarah telah menjungkir balikkan fakta. Siapa dulu Ibrahim bin Adham, Siapa dulu Sayyidina Umar sebelum Tuhan memasukkan cinta kedalam hati mereka.

Hari ini kita beragama untuk mencari kebenaran dan mengucilkan welas asih, itu kata Karen Amstrong. Kalau nggak salah kutip. Ah, siapa saya. Tentu anda lebih tahu soal yang seperti ini dibangingkan saya. Begitu saja...



*. Kisah ini saya ceritakan ulang dengan gaya penulisan saya. Kisah sebenarnya ditulis oleh Fajar Santoso, berdasarkan kisah nyata dari seorang pencari Tuhan. Naskah sampai saat ini masih dalam proses. Semoga lekas terbit.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates