Sudah tiga hari ini tak secuil makanan masuk ke dalam
perutnya. Rambut ikalnya tertutup caping yang dikenakannya. Sudah sepantasnya dia
berterima kasih pada kran air masjid. Selama ini kran-kran itulah yang
menyediakan takjil dan menu sahurnya.
"Jangan menolak pemberian. Tapi,
jangan sekalipun kau permalukan dirimu dengan mengadahkan tangan."
Itu adalah
peraturan tak tertulis. Peraturan yang harus dia patuhi selama perjalanan ke depan.
entah berapa lama lagi semua akan berakhir. Rasa-rasanya dia ingin segera menyudahinya.
"Mas,
mampir. Murah kok... "
Sepanjang seratus meter tadi, banyak
sekali warung-warung berjajar. Pada jam segini seharusnya warung-warung pada
umumnya sudah tutup. Ah, musyafir itu tentunya lelaki yang sangat lugu. Di kota
ini kehidupan tentu berbeda dengan kehidupan di kampungnya. Di sini lah, pada
jam segini, nafas kehidupan mulai berputar. Beradu cepat dengan buruan nafas
yang tersengal-sengal. Asap rokok, aroma bir, dan selimut dosa berkumpul dan
bergumul menjadi satu.
“Saya, nggak punya uang, Mbak... ”
Baru setelah mendengar ucapan itu,
perempuan bergincu tebal itu menghentikan langkahnya. Musyafir itu bingung
dengan truk-truk yang terparkir di kanan dan kiri warung. Gerangan makananan
apakah yang tersaji di dalamnya. Ah, kiranya ada barang seribu atau dua ribu di
dalam sakunya, tentu ia akan memberanikan diri. Meski sekedar mencicipi nasi
putih saja.
Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur. Dengan tersaruk-saruk dia langkahkan kakinya. Setengah berlari, mendekati
warung yang berdiri menyendiri.
“Numpang neduh, Mbak.”
Tak sepatah kata pun keluar dari
mulut perempuan itu. Musyafir itu berdiri mematung. Tak berani duduk di bangku
teras, atau bahkan masuk ke dalam warung.
"Masuklah,
di luar hujan... "
"Mau
makan apa?"
"Maaf,
saya numpang neduh saja, Mbak."
Perempuan itu pergi ke belakang. Meninggalkan musyafir itu. Tak lama berselang. Perempuan itu
kembali dengan sepiring nasi dan segelas air putih.
“Makanlah. Nggak usah bayar.”
“Terima kasih... ”
Belum
sampai suapan ketiga. Musyafir itu mendengar suara lenguhan. Suara lelaki dan
perempuan. Sontak suara itu menghentikan sendokan makannya.
“Kenapa... ?”
“Kau malu. Makanan yang kuhidangkan
adalah makanan haram.”
Seperti tertampar. Musyafir itu hanya
tergugu. Bingung harus berlaku apa. Terbayang selama perjalanan ini dia telah begitu berhati-hati mengenai halal-haram yang masuk ke dalam perutnya.
“Orang-orang seperti kalian. Cuma maunya
bergaul sama orang-orang bersorban. Berkumpul di masjid.”
Darrr!
Belum selesai tamparan satu. Kini, hatinya telah terisis sembilu. Ngilu sekali.
Gerangan apa lagi yang akan KAU ajarkan pada hambaMu yang bodoh ini Tuhan. Ucap
Musyafir dalam hati.
Musyafir
itu tak berani menatap wajah perempuan di hadapannya. Suara sengal itu masih
saja memburu. Seolah tak peduli dengan teriakan perempuan itu. Sambil menundukkan
muka, musyafir itu urung diri.
“Terima kasih, Mbak.”
Sepanjang
perjalanan. Di tengah rinai hujan yang tak kunjung reda, musyafir itu menangis.
Menangisi kebodohannya. Menangisi ketidaktahuannya. Menangisi makna hidup. Menangisi
bagaimana dia harus memposisikan diri.
#####
Beberapa
minggu kemudian dia dijamu seorang Habib. Di dalam pondok pesantrennya. Dia ceritakan
ulang kejadian di atas. Dan rupanya Sang tuan rumah pernah mengalami kejadian
yang sama. Pernah menjadi musyafir, dan mengalami cerita yang sama.
Kedua
mata itu saling bertatap. Tak lagi melanjutkan ceritanya. Musyafir itu hanya
berkata dalam hati. Apakah Habib juga mendapat isyarat. Perempuan itu berkata, “Aku
hanya menjalani takdirku, saat ini.”
Sang
Habib menganggukkan kepala. Dan melanjutkan makan.
###
Bukankah hanya sedikit rahasia Tuhan yang
kita ketahui. Bukankah kita hanya makhluk kerdil yang berada di ruang gelap. Bahkan
tak bisa melihat ujung jari kita sendiri di gelap malam. Tanpa cahaya.
Siapa kita? Apa kita? Hingga
seolah-olah kita lah pemegang kebenaran. Kita lah yang benar dan orang lain
yang salah. Bukankah sejarah telah menjungkir balikkan fakta. Siapa dulu
Ibrahim bin Adham, Siapa dulu Sayyidina Umar sebelum Tuhan memasukkan cinta kedalam
hati mereka.
Hari ini kita beragama untuk mencari
kebenaran dan mengucilkan welas asih, itu kata Karen Amstrong. Kalau nggak
salah kutip. Ah, siapa saya. Tentu anda lebih tahu soal yang seperti ini
dibangingkan saya. Begitu saja...
*. Kisah ini saya ceritakan ulang
dengan gaya penulisan saya. Kisah sebenarnya ditulis oleh Fajar Santoso, berdasarkan
kisah nyata dari seorang pencari Tuhan. Naskah sampai saat ini masih dalam
proses. Semoga lekas terbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar