Social Icons

Halaman

10 Jun 2013

Akhirnya Menikah Juga



            Bahagia itu sederhana. Kita lah yang seringkali membuatnya rumit. Kita lah yang seringkali mendefinisikan dengan hal-hal yang kadang tak terjangkau. Terlalu sering mendongak ke atas. Silau dengan fatamorgana. Padahal seringkali kebahagiaan itu begitu dekat sekali dengan kita.

            Pun demikian dengan hari ini. Saya dapat undangan lewat salah satu penyedia pesan gratis, via internet. Diawali salam dan bla... bla... bla... panjang sekali. Yang intinya mengundang kehadiran pada tanggal sekian, jam sekian dan bertempat di gedung salah satu parpol peserta pemilu. Gedung itu terletak di daerah Jakarta Utara.
           
            Saya belajar dari Kang Tep. “Yang kita omongkan harus kita ketahui. Tapi, tak semua yang kita ketahui harus kita omongkan.” Pesan sama yang disampaikan guru saya, beberapa minggu setelah lebaran tahun kemarin.

            Asik juga. Memposisikan diri sebagai orang yang pura-pura tidak tahu. Termasuk perihal undangan tadi (jum’at kemarin, saya sudah dapat bocorannya). Itu adalah undangan dari seorang kawan. Teman kuliah. Tapi, ini teman spesial. Sejak awal saya melihat hubungan kami dekat sekali. Tapi, bukan relasi hubungan cinta lelaki-perempuan . Dia selalu memanggil saya dengan “Kakak.” Pun juga dengan saya, saya menganggap dia adalah adik saya. (Saya anak terakhir. Dan dari dulu selalu pengin punya adik kandung).

            Keluguannya yang membuat saya selalu memposisikan sebagai seorang kakak. Saya dekat dengan kedua orang tuanya. Terlebih ibunya. Ternyata Apink punya kakak kandung yang jika masih hidup, usianya sepantaran dengan saya.
           
            Adikku itu lebih lugu dari Riri (Piss, Ri. :P). Dalam hal tertentu begitu rapuh. Dulu seringkali saya marah padanya. Ketika dia jatuh hati pada seorang lelaki dalam satu kelas. Saya cuma bilang, “Suatu hari kamu akan menyesal telah jatuh hati padanya.”

            Dan akhirnya begitulah saya juga yang mendengarkan keluh kesah, curhat, juga tangisnya. Saat tiba waktunya ketika dia memahami kalimat saya itu.
“Masqu, gimana nich?”
Ya... gayanya memang seperti itu, meski usianya sudah lebih dari dua puluh empat tahun.
“Cari saja yang pasti. Perempuan itu berhak dipilih. Tapi, perempuanlah yang menentukan pilihan. Pria itu pantas atau tidak. Jangan mau jadi obyek. Jadilah subyek.”

Obrolan di warung Padang itu berlanjut. Lebih serius.

“Tanya dulu sama cowokmu sekarang. Tanya komitmennya ke depan. Berapa lama lagi? Kalau nggak jelas, putusin saja. Terima lamaran yang ini.”

Saya bukan seorang yang paham tentang ilmu hadits dan ayat-ayat suci. Saya hanya seorang pedagang. Hadits yang masih bisa saya ingat kontennya adalah sebuah hadits yang melarang membeli barang yang sudah ditawar oleh orang lain.

Entah benar atau salah. Saya mengambil hadits tersebut sebagai rujukan ‘ijtihad’ saya peribadi. Dalam persoalan adik saya ini.

“Kamu kan punya hubungan sama seseorang. Tanya dulu. Beri kesempatan dia untuk membuktikan cinta. Kalau nggak berani. Ya... ambil saja kesempatan yang ada. Yang penting kamu tidak menikamnya dari belakang. Kamu nggak menjalin hubungan di dalam hubungan.”

            ####

            Beberapa bulan yang lalu dia chatting dengan saya. Menceritakan kalau LDR-nya sudah berakhir. Meski sebenarnya saya sudah tahu dari beberapa teman dekatnya. 

“Do’ain ya... Masqu. moga ini jd pelabuhan trakhirqu.”
“Aamiin.”

            Dia sempat bilang kalau pernikahannya bulan Juni. Tapi, tidak mengatakan kalau ternyata tahun ini. Saya juga sempat “surprise” ketika jum’at kemarin teman satu geng dulu memberi tahu saya.

Dan terus begitu sampai sekarang. Saya pura-pura kaget. Nggak percaya kalau dia menikah. Ketika dia bilang “Surpise...!”

Saya tetap pura-pura kaget. Pura-pura belum tahu. Bahwa hari sabtu nanti dia akan menikah. Akhirnya adikku menikah juga. Akhirnya berkurang satu pasienku. Pasien curhat.

Bahagia itu sederhana. Kita lah yang seringkali membuatnya rumit. Kita lah yang seringkali mendefinisikan dengan hal-hal yang kadang tak terjangkau. Terlalu sering mendongak ke atas. Silau dengan fatamorgana. Padahal seringkali kebahagiaan itu begitu dekat sekali dengan kita.

Ssst... Ini rahasia kita ya... jangan bilang-bilang sama adikku itu. Nanti dia bisa ngambek. Soalnya kalau sudah ngambek, minta traktirnya yang aneh-aneh.  ^_^




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates