Aku tak tahu kau ini manusia jenis
apa? Gendhis selalu membicarakanmu. Di mana pun. Kapan pun. Ketika pulang
sekolah, di dalam bus, bahkan ketika guru sedang menerangkan pelajaran. Bagiku
kau itu seperti rumput teki di antara rimbun tanaman padi. Hampir tiap hari aku
harus menulikan telingaku, ketika Gendhis memulai percakapan tentangmu.
“Emang apa lebihnya dia, sih?”
“Lucu aja.”
Bagiku kata lucu bagi seorang
perempuan itu tentu punya seribu makna. Tak semata-mata semakna lucu ketika
kita tertawa karena menonton opera sabun atau melihat adegan konyol sebuah
komedi.
Tiap hari, hampir tiap hari. Ketika Gendhis
mulai sering membuka topik tentang dirimu, lambat laun aku menjadi penasaran.
Apa sebenarnya kelebihan yang kau miliki. Hingga kehadiranku dan waktu yang
kuhabiskan bersama Gendhis seolah hanya sebagai telinga. Bukan manusia
seutuhnya.
Pertama, jika lucu semakna dengan
gantheng, tentu hal itu jauh sekali. Jangankan mirip Brat Pitt, Nicholas
Saputra, atau Herjunot Ali. Wajah dan tampangmu sama sekali tidak klimis dan
rapi. Kuperkirakan kau malah mirip berandalan pasar, atau pengamen terminal.
Kau selalu datang terlambat. Sepuluh sampai lima belas menit setelah pelajaran
dimulai.
“Kau lagi, Kau lagi.” Keluh setiap guru pelajaran pertama.
Selalu begitu. Tiap hari. Tentunya
ada pengecualian di hari Minggu. Kau sendiri seperti seekor anjing yang kena
marah majikannya. Sudah hafal. Kau harus bagaimana. Berdiri di depan kelas
sampai jam pertama habis. Bukan raut sesal yang kulihat. Nampaknya kau malah
tersenyum. Seolah-olah kau puas dengan peran yang kau mainkan di atas panggung
imajinasimu.
“Senyumlah, Kawan! Percuma saja kau
punya wajah gantheng, jika mukamu cemberut terus.”
Begitu ledekmu padaku. Ketika secara
reflek, keberadaanmu kuanggap sebagai ancaman. Ketika secara tidak sengaja kau
menghampiriku dan Gendhis. Ada perasaan benci. Meski aku tidak tahu atas alasan
apa aku harus membencimu. Sedang Gendhis selalu saja kikuk dan grogi ketika kau
berada di dekatnya.
Kedua, jika lucu dalam kategori perempuan
semakna dengan cerdas. Itu juga jauh antara langit dan Sidratul Muntaha. Sedari
semester awal. Posisi satu dan dua selalu bertukar antara Aku dan Gendhis. Kau?
Aku tak tahu. Aku berharap kau berada di urutan pertama dari bawah. Melihat
nilai absensi dan tugas saja sudah dapat kutebak. Wajah dan tanganmu itu lebih
akrab dengan tiang bendera dan lapangan Basket.
“Radit... Radit... Radit. Nggak ada
tema lain, selain Radit!”
Begitu tiap kali aku bosan dengan
Gendhis. Tapi sialnya. Aku selalu meminta maaf dua atau tiga hari setelahnya.
Cinta dan benci itu bagiku sama. Seperti benih yang siap kau tebar. Makin hari
akarnya menghujam ke dalam tanah. Batangnya kian membesar. Rantingnya
berkembang biak. Daunnya rimbun. Jika tak bisa memangkas dan mengendalikannya,
keduanya sama berbahanyanya. Jika kau biarkan tinggi menjulang. Bersiaplah
ketika angin besar datang menghantamnya. Sekali tiupan. habis tercerabut sampai
akarnya.
Pernah sekali dua kali aku mencoba membuang
benih itu. Percuma saja. Setiap usaha yang kulakukan. Tampak sia-sia.
Kebersamaan kami terlalu rumit untuk diuraikan. Rindu yang tertimbun tiap hari.
Cinta yang tiap hari makin menebal. Ah, seandainya saja urusan hati ini semudah
memencet jerawat di muka, tentu hasilnya akan berbeda. Ada perasaan gamang
antara takut kehilangan dan takut menyesal. Tapi aku percaya bahwa tindakan
mengalahkan seribu rayuan gombal. Aku yakin pada pepatah bahwa cinta tumbuh
seiring dengan kebersamaan.
Salah tingkah. Serba salah. Kesal
yang tertahan. Amarah yang tak dapat diluapkan. Entahlah, sepertinya aku
memendam racun yang tak ingin kukeluarkan dari dalam tubuhku. Aku takut kalau
racun itu pergi. Jika reinkarnasi itu ada. Bahkan, aku rela terlahir menjadi
bayangan. Aku rela berada di dekat Gendhis terus menerus. Meski tanpa sebuah
kepemilikan.
Sabar adalah kata ajaib yang tiap
hari kulantunkan dalam diam. Seperti kisah setetes air yang mampu membuat ceruk
pada sebongkah batu. Konsistensi. Hanya itu yang dapat kulakukan.
Tiga hari beruntun Radit bolos
sekolah. Tanpa kabar. Tak ada angin atau merpati yang membawa pesan. Ada sebuah
rasa senang yang menggumpal. Menyeruak mengisi rongga dada. Aku berdoa. Semoga
saja Radit pindah sekolah, atau ada nyamuk, lalat atau virus apalah yang
tiba-tiba saja menyusup ke dalam kepalanya. Membuatnya pingsan berhari-hari.
Kejang-kejang pada malam hari. Menggelepar-gelepar, muntah darah, mata keluar
nanah. Tak ada satupun dokter atau ahli nujum yang dapat menyembuhkannya. Seperti
hal yang sama terjadi pada raja Namrud. Bagimu mungkin hal ini adalah skenario
yang sangat kejam. Tapi, itulah cemburu, seringkali lebih berbahaya dari pisau,
peluru atau mesiu.
“Ayo dong, temenin gue? Pliss…!”
“Enggak… Ogah gue.”
“Ayolah… pliss, nanti kalau ada
apa-apa dengan dia gimana? Kalau ternyata dia sa…”
“Bodo…! Bukan urusan gue! Mending gue
pulang ngisi TTS”
Aku bukan orang suci atau nabi. Bukan
pula lelaki yang berhati seluas samudra. Kejadian siang itu benar-benar
membuatku kesal. Aku tak peduli, Radit mau kejebur kolam, sakit, bahkan
menghilang dari bumi pun aku tak lagi peduli. Jika kagum adalah permulaan dari
cinta. Sampai saat ini aku benar-benar belum tahu, apa yang membuat Gendhis
begitu tergila-gila dengan Radit.
Hari kelima Radit muncul. Ada yang
janggal dari kemunculannya hari ini. Dia datang tepat waktu, malah setahuku
lima atau sepuluh menit sebelum Gendhis sampai. Baju dan kemejanya juga
terlihat lebih rapi. Tidak seperti sebelumnya. Meski disetrika, bajunya tak
pernah dimasukkan ke dalam celana. Satu hal yang terlihat begitu menyolok.
Sifatnya berubah. Dari sebelumnya yang berangasan, tiba-tiba saja jadi pendiam.
Murung lebih tepatnya.
Pada satu titik akhirnya aku
menyadari. Bahwa, sebenarnya aku senasib dengan Gendhis. Sama-sama mencintai
seseorang. Menyimpan, memupuk dan membiarkanya berkembang dalam hati. Namun,
tak berani untuk mengunggapkannya. Kami sama-sama takut. Aku sendiri takut
seandainya perasaan ini kuungkap, persahabatan kami sedari kecil itu hancur.
Malangnya aku menyadari sebuah kebenaran. Aku mencintai seorang gadis yang sudah
pasti tak mencintaiku. Karena dia telah mencintai orang lain.
Aku sama putus asanya dengan pemain
sepakbola. Sayangnya bukan pemain inti. Tiap hari harus latihan, kerja keras,
datang tepat waktu, menjaga pola makan. Namun, belum tahu kapan mendapatkan
posisi bermain di tim utama. Aku mulai jengah dengan situasi seperti ini. Sudah
terlalu lama aku duduk di bangku cadangan. Mungkin sudah saatnya aku hengkang
dan pindah ke hati yang lain. Hati yang mau menerimaku. Setidaknya memberi
kesempatan untuk bermain. Hati yang mau memberi tempat dan menganggapku ada.
Kalau ada yang norak dari tingkah
laku para caleg. Tentu lebih norak lagi pemendam perasaan sepertiku. Jika para
caleg bisa mengeluarkan ke-norak-annya dengan menempel foto narsis di tong
sampah, gardu listrik, dinding, dan pohon. Ceramah ke sana ke mari. Ah... Sedangkan, Aku ini seperti tikus percobaan
yang disandera dalam kotak transparan dan tak tahu mana jalan keluar. Bodohnya
diriku, sebenarnya aku tahu jalan untuk mengakhiri semuanya itu. Tapi, semua terkunci
dalam gembok ketakutan.
Bukan cinta namanya jika tak membuat
sinting. Cinta selalu menjadi momok paling menakutkan dalam hati. Dari abad ke
abad. Atas nama cinta Rahwana rela mengerdilkan keperkasaannya. Merebut Sinta
dari Rama dengan cara yang paling memalukan bagi raksasa perkasa semacam dia.
Atas nama cinta Qais yang rupawan itu menghinakan dirinya dengan berjalan tak
tentu arah. Gila. Hilang kewarasannya.
Jika selama ini sumbu kesabaran itu
terus kuulur dan kulebarkan. Nampaknya ujungnya tinggal sejengkal lagi. Cukup
untuk kemarin. Tidak untuk hari ini.
“Pletak...!” Pecahan kapur
kulemparkan tepat mengenai bagian kepala belakang Radit. Dia menoleh ke
belakang. Mencari pelaku. Nampaknya dia tidak tahu bahwa aku yang melakukannya.
Hanya beberapa anak yang tertawa menyeringai, kemudian sibuk mengerjakan tugas
yang diberikan Pak Kardiman. Guru Matematika kelasku yang lebih banyak bolos
dari pada mengajar. Nyari obyekan katanya. Lebih dari sekali Pak Kardiman
bercerita kalau waktunya lebih dihargai di luar dari pada di dalam kelas.
“Kemarin saya habis dari hotel
Pasifik. Pasang Jaringan. Kerja cuma tiga jam. Dapet lima juta. Dan dikasih
makan enak.”
“Kenapa nggak mengundurkan diri saja,
Pak?” Celetuk Radit yang disusul gelak tawa seluruh kelas.
“Ayo... Selesaikan soal lima menit
lagi.”
Tepat lima menit setelahnya. Pak
Kardiman menghitung sampai sepuluh. Secara acak lembar jawab itu ditukar untuk
dikoreksi. Tak lama Pak Kardiman mencorat-coret papan tulis dengan kapur. Cepat
sekali. Layaknya seorang maestro karikatur menyapukan pensil di atas selembar
kertas.
“Ada yang benar semua?”
Tak ada jari yang teracung.
“Yang benar tiga”
Hampir separuh mengangkat tangan.
“Yang benar lima”
Hanya satu dua tangan yang terangkat.
“Yang benar saja. Kalian sebentar lagi
mau ujian akhir, masak soal seperti ini nggak ada yang bisa mengerjakan. Kalian
payah…!”
“Mestinya bapak lebih fokus mengajar
dari pada mengejar obyekan.”
Seluruh kepala menoleh ke arah suara
itu.
“Mana tanggung jawab bapak sebagai
pengajar?”
“Lancang sekali mulutmu! Kamu berani
melawan guru!”
“Saya tak pernah berani melawan guru.
Yang saya lawan adalah Kardiman. Kardiman yang mata duitan.”
Sepasang mata itu saling menatap
dengan nanar. Mukanya memerah.
“Dasar beran… !”
“Teeet…. Teet…. Teet…”
Tepat sebelum amarah Pak Kardiman
meledak-ledak. Bunyi bel pelajaran terakhir berbunyi. Aku menarik nafas
panjang. Lega rasanya. Kami segera mengemasi buku ke dalam tas. Menundukkan
kepala. Hari itu berakhir dengan kemenangan Radit. Tapi tidak untuk hari-hari
berikutnya. Kau tahu. Sedikit sekali guru di muka bumi ini yang legowo ketika
dipermalukan di depan murid-muridnya. Sejak hari itu, aku tahu satu makna lagi
dari kata lucu menurut kamus besar bahasa Gendhis; Pemberani.
Waktu yang mula-mula menitipkan
cinta. Kita lah yang menyiram dan merawatnya. Para petani tahu betul kapan masa
menyemai benih, menanam dan menunggu masa panen tiba. Sedangkan aku tak pernah
tahu kapan memanen benih yang semakin lama semakin mengakar ke dalam hati. Para
petani menanti dengan sabar. Ketika padi telah selesai ditanam. Ada masa
tunggu. Ada kepasrahan di sana. Aku? Hampir mati karena putus asa.
Delapan tahun berlalu sejak
kelulusan. Aku dan Gendhis melanjutkan kuliah. Hanya saja kami kuliah di tempat
yang berbeda. Tak pernah ada tiga kata itu yang terucap. Tidak Gendhis kepada
Radit. Tidak juga kalimat itu terlontar dari mulutku kepada Gendhis.
Secara kebetulan, Danang, teman
dekatku di kampus, adalah tetangga Radit. Dari Dananglah kukumpulkan
puzzle-puzzle yang tak terjawab. Ternyata selama ini Radit hidup berdua saja
dengan ibunya. Berandalan itu bekerja pada waktu sebelum dan selesai sekolah.
Pada hari ketika Radit berubah, adalah hari ketika ibunya meninggal dunia.
Setelah lulus. Tak ada yang tahu ke mana Radit pergi. Yang Danang tahu, siang
itu Radit menitipkan kunci rumahnya pada tetangga sebelah.
Ada cerita yang baru sempat
kuceritakan padamu. Sepulang sekolah. Selepas pertengkaran Radit dengan Pak
Kardiman. Aku berantem dengan Radit. Aku menghardiknya dengan kalimat sok
pintar. Sok cari muka. Sialnya saat itu aku kalah telak. Aku pulang dengan muka
dan badan yang memar. Tak ada yang tahu tentang perkelahian itu. Karena
sesudahnya kami pura-pura tidak terjadi apa-apa.
Sepanjang hari kami, Aku dan Gendhis,
menghabiskan waktu. Melepaskan penat setelah lama tak bertemu. Senja itu begitu
indah. Langit merona jingga. Segerombolan burung camar terbang. Menari
membentuk formasi di udara.
“Ndhis, aku mau bicara. Penting.”
“Ya udah, ngomong aja.”
“Butuh sejuta keberanianku untuk
menanti saat ini. Mungkin aku hampir gila. Jauh sebelum hari ini, aku telah
memendam rasa itu. Tapi, aku terlalu pengecut untuk mengungkapkannya. Ndis,
maukah kau menikah denganku?”
Gadis itu hanya terpekur. Diam. Ada
perasaan canggung terlukis di wajahnya.
“Aku tahu, selama ini kau masih terus
menunggu. Menanti seandainya suatu pagi, akhirnya dia kembali. Apakah kau tak
sadar bahwa penantianmu itu adalah sebuah kesia-siaan, Ndhis?”
Jeda itu terlalu lama. Waktu seakan
terhenti. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir Gendhis. Jauh di dalam
hatiku. Aku bersedia menerimanya. Aku akan menikahinya. Termasuk menikahi masa
lalunya. Gendhis hanya menjawab dengan kebisuan. Bagiku itu sudah cukup
menjawab semuanya. Lebih dari sepuluh tahun kami bersahabat. Aku sudah terbiasa
menerjemahkan kediamannya.
Sore itu kami pulang dengan diam. Di
pertigaan jalan, Gendhis membeli koran. Membuka lembar demi lembar.
Mencari sudut rubrik kesukaannya. Cerpen itu berjudul Tangis Pemanggang roti
dan sepasang burung kolibri. Aku tak pernah benar-benar membaca ketika koran
itu disodorkannya kepadaku. Pada akhir kalimat cerpen itu. Kutemukan nama yang
tak asing bagiku. Nama yang selama ini aku selalu menjadi bayang-bayangnya.
Raditya Eka Wardhana.
Kusodorkan kembali koran itu pada Gendhis.
Kutunjuk alamat email yang ada. Bagi seorang pendamba. Tentu itu lebih dari
sebuah harapan. Kini aku menyadari satu hal. Jika reinkarnasi itu ada. Aku tak
mau menjadi bayangannya. Aku akan menjadi apa saja. Asal dia bahagia.
Hidup memang tak semudah mengisi
teka-teki silang. Tapi aku percaya pada satu hal. Bahwa hati itu tentu akan pas
terisi sesuai jumlah kolom yang tersedia. Tidak lebih-tidak kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar