Kau melenguh ketika sleeping
bag-mu kutarik dengan paksa. “Cepatlah, atau perjalanan kita sia-sia.”
Dengan malas kau merapikan tutup kepala. Aku hanya tersenyum melihat bekas
liurmu. Tapi aku suka. Kau malah terlihat cantik seperti itu. Apa adanya. Tanpa
polesan. Betapa bodohnya diriku, bukankah selama ini memang tak secuilpun make up kau sapukan.
“Buruan!” satu tanjakan lagi.”
Kau terengah-engah. Ada kepulan hawa panas dari mulutmu.
Seperti para jungkies penghisap ganja
amatir. “Mestinya kita pindahkan saja gunung dan angin di sini ke Jakarta. Biar
tak ada lagi orang yang merokok.” Kau tertawa sambil memonyongkan mulutmu.
Mengepulkan hawa lebih banyak lagi.
“Untuk apa kita jauh-jauh, berjam-jam berjalan kaki, kalau
hanya untuk melihat Matahari?”
“Ssst....”
Kukatupkan telunjukku tepat di depan bibirku. Mengunci dua
mulut sekaligus. Tak usah kujawab. Nanti kau akan melihatnya sendiri. Kau dan
aku terdiam. Menghadap ke timur. Menanti sang Mentari. Sepi. Hanya desisan
kecil terdengar sesekali. Benarkah Tuhan juga menciptakan malaikat-malaikat
yang bertasbih di waktu fajar. Aku tidak tahu.
“Mas, Kau jahat sekali.”
Aku lihat genangan air mata di kedua ekor matamu. Bukankah
selama ini selalu begitu. Gadis lugu, naif dan terkadang terlalu ekspresif.
Benar seperti kata cerpenis itu. Aku biarkan saja seluruh air matamu tumpah.
Entah itu air mata bahagia, sedih atau apa pun itu. Biarkan puncak Gede
menyimpan seluruh kisahmu. Tak perlu bagiku untuk bertanya. Itu air mata apa.
“Kenapa baru sekarang ngajak aku ke sini?”
“Iya, baru sempet. Males sih, sebenarnya. Yang ada nanti
cuma nyusahin.”
“Ih... Dasar Jelek. Tanduknya keluar tuh.”
“Haha... Biarin.”
Saat itu aku hanya ingin bersimpati padamu. Seorang gadis
lugu yang hampir dua bulan menghilang dari dunia. Mengurung diri dalam kamar.
Gadis lugu yang selalu berprasangka baik, bahwa kekasihnya, cerpenis yang
brengsek itu akan berubah. Sayangnya tidak sama sekali. Seperti kata pepatah
bahwa ekor anjing yang bengkok tak dapat diluruskan kembali.
Adakah hal yang menyakitkan selain
terjebak di dalam kenangan? Mungkin ada. Tapi sampai saat ini aku belum
menemukannya. Kadang aku sedikit heran. Kau itu seperti sebuah sindiran bagi
Jakarta. Tepatnya mungkin sebuah lelucon. Kenapa gadis lugu, polos, ehmm...
mungkin sedikit “bodoh” sepertimu itu bisa tumbuh di Jakarta. Bukankah ini
seperti sebuah ironi. Seperti kau melihat sekuntum mawar merekah di atas
kotoran sapi. Kenapa Jakarta yang keras, ambisius, kejam, dekil dan naif ini
bisa menciptakan makhluk selugu dirimu. Ah, aku tak tahu. Mungkin saja masa
lalumu lebih banyak kau habiskan dalam kamar bersekat. Penjara suci yang diciptakan kedua orang
tuamu. Tak heran, ketika kau pada akhirnya keluar dari istanamu itu. Kau
hanyalah sesosok kambing kecil yang keluar dari kelompoknya. Sedang puluhan
serigala telah mengintaimu dari segala penjuru mata angin. Kau adalah mangsa
empuk bagi pria hidung belang.
“Ayo buruan turun.”
“Mas, sebentar lagi... Pliss...”
“Nggak! Kau tahu, sebentar lagi bisa
saja turun hujan.”
“Mana mungkin?”
Kutarik lenganmu. Aku kira sebentar
lagi akan turun hujan. Awalnya aku juga tak mengira akan mendapati terbit
mentari. Aku hanya berpikir, mungkin hanya sebuah keberuntungan dapat melihat
mentari di antara kebut tebal semalam. Bukankah begitu. Gunung itu menyimpan
banyak misteri dalam kediamannya. Termasuk juga cuaca di puncaknya.
Tiga puluh menit kemudian, kami
telah sampai di Kandang Badak. Benar saja. Tak lama waktu berselang hujan turun
deras. Kami terburu-buru masuk ke dalam tenda. Dari dalam tenda kuraih kompor
dan nesting. Memasukkan sisa air tadi malam.
“Mau kopi atau teh nona kecil?”
“Request boleh nggak, Mas?”
“Apa...?”
“Hehe... Aku mau coklat panas”
“Ah, Kau ini selalu saja merepotkan.
Mana ada coklatnya. Kemarin aku nggak beli.”
Belum selesai ocehanku. Kau malah tersenyum
menyeringai. Senyuman licik yang selalu membuatku tambah kesal.
“Hihi... Ini ada dua batang Silver queen.”
Aku hanya menghela nafas. Kemudian
menyambar sebatang coklat dari tanganmu. Kutuang kembali setengah air yang tadi
kumasukkan dalam nesting. Kupatahkan batang coklat itu. Memasukkan sedikit air.
Setelah agak lumer, kupisahkan kacang mede dari dalamnya. Lalu kutambahkan air
secukupnya.
“Nih, mau nggak? Kacang mede lagi
mahal, lho. Sekilo mentahnya seratus ribu.”
“Hehe... Mas buka lapak di mana? Sampai hapal harganya gitu?”
“Hehe... Mas buka lapak di mana? Sampai hapal harganya gitu?”
“Dasar... Pengacau kecil.” Aku pura-pura melempar sendok di
tanganku.
“Ih.... Mas jahat. Kan becanda doang.”
Mungkin menikmati secangkir teh dan coklat panas di Jakarta
adalah hal biasa saja. Tapi, entahlah. Semua hal yang biasa-biasa saja di kota
selalu menjadi luar biasa ketika dinikmati di gunung.
“Boleh request lagi, nggak, Mas?”
“Boleh, tapi ada tarifnya?”
“Ih... Matre amat jadi cowok.”
“Hidup di Jakarta mahal, Cyin... Akika kan butuh beli bedak
sama maskara.”
“Hihihi... Uhuk... Uhuk. Ah, gara-gara Mas nih, jadi
kesedak. Mana tumpah lagi coklatku. Tapi, bagus juga, Mas. Besok-besok mangkal
di taman lawang aja, buat sampingan. Hihihi...”
“Minta apalagi?”
“Itu... Pintunya tolong dibuka dikit aja.”
Aku hampir lupa. Bukankah kau menggilai hujan. Atas alasan
apa kau mencintai hujan, aku tidak tahu. Mungkin saja suatu hari kau pernah
menyamarkan air matamu di bawah rinai hujan. Bukankah sekali dayung dua tiga
pulau terlampaui. Ketika kesedihan itu begitu memuncak, aku juga pernah
melakukan hal yang sama. Aku berharap air hujan adalah peluru yang menembus
kepalaku. Menghilangkan beberapa kenangan masa lalu.
“Kreeek.... Kijang satu posisi sudah di Kandang Badak. Macan
satu harap lapor kondisi terakhir.”
Dari HT di luar tenda, kudengar dua orang Ranger sedang bercakap-cakap dengan
kawannya. Rupanya ada dua orang yang tersesat. Sepasang pengantin baru dari
Jakarta yang merayakan bulan madu. Memang tak bisa dipungkiri hujan lebat
seringkali membuat panik beberapa pendaki.
“Kreek.... Kijang satu boleh tahu identitasnya, ganti”
“Kreeek... Agus dan Dewi, ganti.”
“Kreeek... Asal?, ganti?”
“Kreek... Mampang.”
Mendengar nama kota itu wajahmu langsung pucat. Setelah itu
kau merengek dengan segala alasan. Aku tahu, semua tak mudah bagimu.
“Mas, biarkan aku ikut membantu mencari?”
“Nggak! Kau diam di sini. Bisa-bisa kau malah menyulitkan
pencarian.”
“Mas... Plis....?”
“Nggak...! kali ini nggak ada kompromi! Kenapa? kau masih
peduli padanya. Dasar gadis bodoh. Kenapa kau masih saja terbelenggu masa lalu.
Sadarlah. Kau juga harus melanjutkan hidupmu.”
“Aku mau menolongnya karena dia manusia, bukan karena dia
mantan kekasihku!”
Matamu nanar, ada kepedulian, marah dan cemas bercampur di
sana.
“Diam di situ. Jangan kemana-mana, tunggu sampai aku
kembali.”
Aku sendiri menyerah pada keinginanmu. Ikut mencarinya. Aku
bergabung dengan beberapa Ranger.
Kami telusuri tebing, mengamati celah-celah yang kira-kira bisa dimasuki.
Melongok ke bawah kawah, seandainya mereka berdua tergelincir dan jatuh ke
sana. Hujan yang lebat membuat medan semakin sulit. Pencarian dilanjutkan.
Menjelang Maghrib tim evakuasi berhenti sebentar. Menelan beberapa potong roti
kering, dan menghangatkan badan dengan sesapan kopi pahit dari dalam thermos kecil yang dibawa seorang Ranger.
Kabar baik itu akhirnya datang. Tim evakuasi pertama telah
menemukan pasangan pengantin itu, meski dalam kondisi mengkhawatirkan. Sang
gadis mengalami hypothermia.
Buru-buru beberapa orang memangkas kayu. Membuat tandu. Mereka berencana
merawatnya di Kandang Badak. Menunggu masa kritis berlalu. Setidaknya sampai si
gadis dalam kondisi memungkinkan.
*****
Malam itu kami mengurungkan niat untuk turun. Setidaknya
menunggu besok pagi. Aku buru-buru mematikan lampu senter yang tergantung di
tengah-tengah tenda. Kami butuh istirahat. Mengumpulkan tenaga untuk perjalanan
besok pagi.
Malam menyelimuti hati yang resah. Dalam rinai hujan yang
tidak terlalu deras. Aku masih mendengar kau menangis sesenggukan. Aku biarkan
semua itu. Benar kata ibuku. Kesedihan itu membutuhkan tempat. Kesedihan itu
membutuhkan ruang. Dan bagimu ruang itu adalah kesendirian.
Pagi setelah kami berbenah. Mengepaki barang-barang ke dalam
carrier. Menaruh sleeping bag di
dalam tumpukan terbawah. Pakaian kotor di tengah. Kompor dan nesting di
atasnya, dan yang paling atas adalah
sisa remah-remah dan roti kering yang sengaja kami sisakan.
“Yakin, Kau tak mau menemuinya?”
Kau hanya menggelengkan kepala.
“Ayolah kalau begitu. Kita turun.”
“Hap...!”
Tak banyak yang bisa aku katakan sepanjang perjalanan turun.
Nampaknya sia-sia saja aku mengoceh. Membuat lelucon. Kau sendiri hanya
sesekali tertawa getir. Di beberapa tempat pemberhentian, aku memejamkan mata.
Menghirup udara yang mungkin besok takkan kutemui di Jakarta.
Tak sampai tengah hari. Kau dan aku sampai di warung Mang
Idi. Kuambil handuk dan sabun dari dalam carrier.
Kau? Entahlah, masih saja kau diam seperti gunung di belakangmu. Setidaknya aku
bangga padamu. Bahwa kau bukanlah gadis lugu seperti yang dikatakan cerpenis
itu. Karena aku menemukan keteguhan hati di dalam sikapmu.
“Bang, makasih bantuannya semalam.”
“Hehe... Iya, Mas, santai saja.
“Keren! Habis mandi, Bang? Nggak kedinginan?”
“Hehe... Biar seger. Gimana istri sudah mendingan?”
“Sudah Bang. Itu lagi minum bendrek.”
“Oh, Iya ini kenalkan teman saya”
“Riri...”
“Agus...”
Sesaat mukamu langsung padam. Tatkala kau menyadari
kenyataan. Bahwa kau telah masuk dalam jebakan. Aku buru-buru pamit. Memasukkan
handuk dan sabun ke dalam carrier. Sesegera mungkin menjauhi hukuman apa yang
akan kau timpakan padaku nanti. Karena telah mengusilimu. membuatmu cemas
semalaman. Iya, dia memang bukan Agus mantanmu itu. Bukan cerpenis itu. Karena
dia Agus yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar