Kita tinggalkan cerita sedih beberapa
minggu ini “terpampang” di grup . Dari postingan saudara saya Azam yang “tertjintah.”
Sebuah hal yang wajar, kalau yang namanya patah hati atau apa pun namanya,
perlu sebuah tempat untuk meluapkannya. Dengan cara apa pun, sah-sah saja. Asal
tidak merugikan siapa pun. Termasuk diri sendiri. Karena patah hati, saya pernah
menulis sebuah kisah pribadi saya itu hampir 60 halaman. Namun, karena saya
pikir, hidup saya harus berlanjut. Cukup dengan satu tombol di keyboard (Dell) dan
satu penegasan, “apakah anda mau menghapus file ini?” Saya menekan tombol
enter. Dan masa lalu itu saya anggap selesai. Meski tidak dipungkiri bahwa
tidak semua bisa dihapus secepat memformat flash disk. (Perlu anda tahu,
menulis 60 halaman adalah rekor yang belum dapat saya pecahkan sampai saat
ini).
Sebab patah hati juga saya pernah
mengarang lagu (Terinspirasi dari pernikahan yang saya hadiri. “Oh, kalau lagu
seperti ini saya juga bisa”). Sebenarnya dua lagu yang saya tulis. Namun, untuk
lagu yang pertama, saya tidak sempat merekamnya di ponsel, jadi lupa. Untuk lagu
ke dua, baru kemarin saya melengkapi chord gitarnya. Itu pun saya lengkapi
sebagai sebuah tanda syukur saya. Karena kemarin saya harus datang ke kondangan
satu geng dengan ah... “mantan” saya dulu. Saya berdoa agar tidak bertemu
dengannya. Dengan alasan apa pun. Alasan yang sebenarnya merupakan sebuah
pembenaran bagi diri saya pribadi. Sebab saya juga butuh melanjutkan kehidupan
saya.
Dulu sewaktu kuliah, saya pernah
berucap dalam hati. “Saya membenci seorang lelaki yang memutuskan seorang
cewek.” Mungkin karena seringnya saya, waktu itu menjadi teman yang selalu ada
ketika beberapa cewek menjadikan bahu saya sebagai sandaran. Jiah... (GR banget Guweh... :P) mungkin
karena itu merupakan alternatif terakhir. Namun, pada satu titik saya menyadari
bahwa, itu adalah cara terbaik yang saya pilih di antara pilihan yang terburuk.
Saya menjadi seorang yang paling saya benci; memutus seorang cewek.
Karena patah hati, seorang kawan
pendaki saya. Mendirikan sebuah kedai. Semacam angkringan. Untuk membuktikan
bahwa dia hidup. Dia bangkit dari keterpurukannya. Perlu anda ketahui. Bahwa sahabat
saya itu mengetahui pacarnya menggandeng orang lain tepat di hari ulang tahun
sang gadis. Saat itu dia berada di puncak Mahameru. Dan Gadis itu ada di sana
bersama cowok lain. “Waktu itu gue niat lompat, Bro. Tapi ternyata, Gue rasa,
hidup Gue lebih berarti dari pada sakit hati Gue.” Begitu tutur kalimatnya pada
saya. Ketika sesi curhat beberapa waktu yang lalu di toko.
Karena patah hati. Teman yang sudah
saya anggap sebagai kakak sekaligus “musuh” (dalam permainan Play Station) lebih fokus
pada toko yang dia bangun. Dan minggu ini teman saya itu melepas kepergian
kedua orang tuanya umroh. Salah satu cita-citanya beberapa malam ketika curhat
dengan saya.
Well, untuk saudara saya yang “tertjintah”.
“Wake up, Bro. Kowe ki cah lanang.” Kalau urusan patah hatimu itu masih sekedar
cinta yang tak sampai. Atau penolakan karena sesi yang dianggap “Syar’i” itu. Masih
banyak kisah sedih yang lebih dahsyat. So... Woles, Bro. Santai kayak di pantai.
Tadi sewaktu saya berkendara di atas
motor, perjalanan menuju toko, saya berfikir. Masih banyak waktu yang saya
habiskan dengan “mantan” saya itu. Waktu yang saya habiskan dengan senang,
gembira, dari pada masa sedihnya. Begitu juga dengan hidup. Masih terlalu
banyak kesenangan yang saya dapati dari pada masa susahnya. Tapi, kenapa yang
sering saya ingat adalah masa sedih saja? BETAPA NAIFNYA SAYA. Begitu saja sodarah... Sodarah. Mari kita
ceria, seperti Senin ceria di grup ini. Wa salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar