“Apakah aku bisa meraih titik itu?”
“Percayalah. Tapi, butuh usaha yang
lebih. Yang namanya riyadhoh itu melakukan hal yang kita benci dengan senang
hati.”
Sepenggal
percakapan itu terlintas kembali. Selepas sholat Jum’at. Aku sendiri menyadari
satu hal. Kekurangan terbesar yang dapat kulihat dari diriku adalah
inkonsistensi. Selalu saja gagal menjadi murid dari siapa saja. Terlalu besar
jiwa berontak yang ada di kepalaku. “Sabar. Bahkan, ketika kamu berada di
posisi yang benar sekalipun. Itu namanya tawadhu’.” Ucap Mas Ma’ruf.
Nasehat-nasehat
itu selalu mengalir. Menentramkan jiwa. Sayangnya hanya sesaat saja. Ketika akhirnya
aku mencoba untuk kembali berguru pada orang yang sama. Kalimat yang terlontar
pertama kali adalah kalimat menghakimi (lagi-lagi). Dan sejak saat itu. Aku berjanji
pada diriku sendiri. Aku akan mencari jalan bagi diriku sendiri. Aku akan
mencari Mursyid yang lain. Titik.
Setahun
lebih aku berontak dalam diam. Diam dalam arti yang sebenarnya. Tak jarang
kurasai bahwa tiap akun twitter dan facebook dari nama itu selalu saja seperti
sebelumnya. Menasehati dengan nada nyinyir. Pun jika nanti aku berhasil pada
posisi itu. Semoga ini adalah pelajaran yang sangat berharga bagi diriku
sendiri. Tak jarang sms dan WhatsApp kuterima. Aku tahu maksud guru-guru itu
baik. Hanya saja, aku merasa bahwa ada beberapa hal yang sampai saat ini tak bisa
kupaksakan dalam pemikiranku. Aku menyebutnya idealisme.
Aku
percaya pada pemikiran universal. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa
kebenaran itu bisa datang dari apa dan siapa saja. Hal yang paling tidak
kusukai dari guru yang mulia itu adalah seringnya beliau memaksakan apa yang
menjadi pemikirannya. Aku tahu bahwa beberapa orang yang sudah mencapai maqom
tertentu, diberi kelebihan tertentu. Misalnya bisa membaca pikiran, masa lalu
dan hati seseorang lewat tatapan mata. Aku sempat berfikir mau memposting link
cerpen Gus Mus yang berjudul Gus Ja’far. Tapi, aku urungkan saja niat itu. Aku tak
mau dicap lagi sebagai murid yang tak tahu diri. Nglunjak dan mblunat. Jalan terbaik
yang ada sekarang adalah menghabiskan sisa kontrakan yang ada. Kemudian pergi
dari tempat tinggalku sekarang.
Jatuh,
bangun, berdiri, kemudian jatuh lagi adalah hal yang selalu terulang. Benar sabda
nabi, pertempuran yang paling besar adalah melawan diri. Aku sendiri tak tahu
kapan perjalanan yang kumulai ini akan bermuara. Tak ada titik terang. Semua masih
samar dan gamang. Setidaknya jika nanti aku berhasil berdiri pada pencapaian
yang berhasil kuraih. Tak ada orang yang ngaku-ngaku berjasa pada titik itu.
Kenapa
tidak pernah mencoba untuk cek dan ricek. Bahasa kerennya mungkin tabayun. Kenapa
tidak pernah ada kalimat kenapa? Langsung saja ini dan itu. Salah. Marah. Tapi itu
kan hak dia sebagai orang yang mulia.
Well,
sekian saja. Apa yang kulakukan mungkin adalah hal kesekian. Hal yang kurasai
sebagai kebencian yang tak bisa kuluapkan. Malu juga rasanya kalau sampai
kusampaikan pada orang lain. Cukuplah menjadi sebuah peristiwa tanpa diketahui
pelaku utamanya. Semoga Tuhan menjadikan tugas utama kita. Menjalankan pengabdian
menjadi manusia yang menyadari kemanusiaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar