Social Icons

Halaman

21 Feb 2014

Kue Cucur Di Hari Jum'at (Curhat)



“Apakah aku bisa meraih titik itu?”
“Percayalah. Tapi, butuh usaha yang lebih. Yang namanya riyadhoh itu melakukan hal yang kita benci dengan senang hati.”

            Sepenggal percakapan itu terlintas kembali. Selepas sholat Jum’at. Aku sendiri menyadari satu hal. Kekurangan terbesar yang dapat kulihat dari diriku adalah inkonsistensi. Selalu saja gagal menjadi murid dari siapa saja. Terlalu besar jiwa berontak yang ada di kepalaku. “Sabar. Bahkan, ketika kamu berada di posisi yang benar sekalipun. Itu namanya tawadhu’.” Ucap Mas Ma’ruf.

            Nasehat-nasehat itu selalu mengalir. Menentramkan jiwa. Sayangnya hanya sesaat saja. Ketika akhirnya aku mencoba untuk kembali berguru pada orang yang sama. Kalimat yang terlontar pertama kali adalah kalimat menghakimi (lagi-lagi). Dan sejak saat itu. Aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan mencari jalan bagi diriku sendiri. Aku akan mencari Mursyid yang lain. Titik.

            Setahun lebih aku berontak dalam diam. Diam dalam arti yang sebenarnya. Tak jarang kurasai bahwa tiap akun twitter dan facebook dari nama itu selalu saja seperti sebelumnya. Menasehati dengan nada nyinyir. Pun jika nanti aku berhasil pada posisi itu. Semoga ini adalah pelajaran yang sangat berharga bagi diriku sendiri. Tak jarang sms dan WhatsApp kuterima. Aku tahu maksud guru-guru itu baik. Hanya saja, aku merasa bahwa ada beberapa hal yang sampai saat ini tak bisa kupaksakan dalam pemikiranku. Aku menyebutnya idealisme.

            Aku percaya pada pemikiran universal. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa kebenaran itu bisa datang dari apa dan siapa saja. Hal yang paling tidak kusukai dari guru yang mulia itu adalah seringnya beliau memaksakan apa yang menjadi pemikirannya. Aku tahu bahwa beberapa orang yang sudah mencapai maqom tertentu, diberi kelebihan tertentu. Misalnya bisa membaca pikiran, masa lalu dan hati seseorang lewat tatapan mata. Aku sempat berfikir mau memposting link cerpen Gus Mus yang berjudul Gus Ja’far. Tapi, aku urungkan saja niat itu. Aku tak mau dicap lagi sebagai murid yang tak tahu diri. Nglunjak dan mblunat. Jalan terbaik yang ada sekarang adalah menghabiskan sisa kontrakan yang ada. Kemudian pergi dari tempat tinggalku sekarang.

            Jatuh, bangun, berdiri, kemudian jatuh lagi adalah hal yang selalu terulang. Benar sabda nabi, pertempuran yang paling besar adalah melawan diri. Aku sendiri tak tahu kapan perjalanan yang kumulai ini akan bermuara. Tak ada titik terang. Semua masih samar dan gamang. Setidaknya jika nanti aku berhasil berdiri pada pencapaian yang berhasil kuraih. Tak ada orang yang ngaku-ngaku berjasa pada titik itu.

            Kenapa tidak pernah mencoba untuk cek dan ricek. Bahasa kerennya mungkin tabayun. Kenapa tidak pernah ada kalimat kenapa? Langsung saja ini dan itu. Salah. Marah. Tapi itu kan hak dia sebagai orang yang mulia.

            Well, sekian saja. Apa yang kulakukan mungkin adalah hal kesekian. Hal yang kurasai sebagai kebencian yang tak bisa kuluapkan. Malu juga rasanya kalau sampai kusampaikan pada orang lain. Cukuplah menjadi sebuah peristiwa tanpa diketahui pelaku utamanya. Semoga Tuhan menjadikan tugas utama kita. Menjalankan pengabdian menjadi manusia yang menyadari kemanusiaannya.
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates