Kutitipkan
Jakarta padamu. Sejenak akan kutinggalkan riuhnya. Aku bosan dengan
kemunafikanya. Biarlah politisi sibuk berdebat dengan segala persoalannya. Ke gunung
aku akan pergi merenung. karena yang tampak di kota hanya kepalsuan. Senyum,
simpati dan iba yang penuh kamuflase
Aku titipkan
janda-jandaku yang tak pernah kutalak. Istri-istri yang tak pernah bersuami.
Karena tiap malam suaminya selalu berganti.
Beberapa
hari ini aku sedang senang bermonolog. Salah satu monologku adalah sebuah
kalimat, "Di jalan dakwah, aku akan menikah." aku terus googling,
pakai google map, nyari jalan dakwah itu di Jakarta timur atau Jakarta selatan.
Nggak ketemu. ternyata kecerdasan spasial saya memang jelek. :D
Lagi, aku
tergelitik dengan kata syar’i. Aku ini manusia cap apa? aku sendiri tidak tahu. Yang aku tahu kalau
islam itu ya sholat. Bagiku sholat itu kewajibannya orang yang ingat. Orang
yang sadar. Bukankah kitab suci mengajarkan jangan pernah kau dekati sholat
dalam keadaan mabuk. Pertanyaanku, rasanya tak pernah sekalipun aku sholat
dalam keadaaan ingat Tuhan. Yang sering kuingat adalah pekerjaan yang masih
menumpuk, perut lapar, mimpi-mimpi yang berlum tercapai.
Ingat sih,
paling pas takbiratul ihrom. Selebihnya Tuhan hilang dalam rukuk, dalam sujud.
Ke gunung
aku akan bertanya. Tentang cinta. Aku percaya. Bahwa, Tuhan menciptakan segala
sesuatu itu tak ada yang sia-sia. Bahwa, setiap benda punya makna.
“Belajarlah membaca kitab basah.”
“Kitab basah itu apa, Mas?”
“Asal kau rajin mencari, suatu hari kau akan
menyadarinya.”
Aku
tinggalkan kitab basah dengan teka-tekinya. Beberapa update status di
timelineku beberapa hari ini cukup menggoda imanjinasiku. Banyak yang sekedar
copy paste. Ada juga yang serius bicara tentang cinta. Ah, lagi-lagi tentang
cinta. Jangan pernah tanya padaku apa itu cinta. Cinta sendiri adalah ayat
Tuhan yang sepertinya takkan habis digali dan ditafsiri.
Cinta
barangkali adalah ayat yang mutasyabihat. Seringkali menimbulkan perdebatan
yang hebat. Seringkali menimbulkan multi tafsir.
Cinta
sebenarnya adalah cerita usang. Namun tetap saja menarik dari masa ke masa.
Bukan karena ceritanya yang itu-itu saja. Tapi lebih karena “pencerita” skenarionya yang luar biasa.
Seperti komedian yang bercerita dua puluh kali dengan cerita yang sama. Pada
kesempatan yang berbeda kita tetap saja terbahak-bahak.
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
Kata
Sapardi, mencinta itu seperti itu. Sederhana. Sesederhana masakan di warteg
dekat kontrakanku. Masakannya itu-itu saja.
Jangan
tanya definisi cinta padaku. Bagiku cukup para penyair dan pencipta lagu yang
menjelaskannya padamu. Bertanyalah pada mereka. Barangkali mereka lebih fasih.
Begitu saja. Hidup itu enjoy saja kaya iklan rokok. Jangan dibuat rumit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar